Anak, menantu, dan cucu mereka sudah ke luar dari kamar mereka. Steven menatap Tiara dengan mata berkaca-kaca, dikecupnya kening Tiara.
"Terima kasih sudah menemani langkahku, dalam suka, dan duka, selama dua puluh lima tahun ini. Tetaplah menemaniku, hingga akhir hidupku nanti," pintanya lembut. Tiara memeluk Steven erat.
"Terima kasih juga sudah menjadi imam yang baik, yang selalu memahami aku, memberi kebahagian buatku, juga keluargaku, i love you, Aay."
Steven merenggangkan pelukannya.
"Sekarang saatnya kita mengucap syukur, kepada yang memberi kita kesempatan bisa hidup bersama, selama dua pukuh lima tahun ini, ayo kita shalat malam, Sayang." Steven kembali mengecup kening Tiara.
Tiara mengangguk, ia berjinjit dengan kedua dua kakinya, lalu mengecup pipi Steven.
"I love you so much, Aay."
"I love you too, Sayang."
***
Braaakkk!
Suara benturan terdengar, saat Andrew menabrak mobil di depannya, yang berhenti mendadak. Seorang gadis, usia dua puluh tahunan, putih, tinggi semampai, dengan rambut coklat, ke luar dari mobil di depannya. Gadis itu menggedor kaca mobilnya.
"Heyy ke luar, lo harus tanggung jawab, sudah nabrak mobil gue!"
Suara cemprengnya terdengar marah. Andrew ke luar dari dalam mobilnya.
'Oh Tuhan ....
Baru satu minggu kembali ke Indonesia, sudah dapat masalah.'
"Oohh ... om-om ternyata. Eeh, Om, tanggung jawab lo, sudah menabrak mobil gue. Lo harus ganti rugi!" Suara gadis di depannya, membuat Andrew ingin menutup kuping. Cempreng minta ampun, apa lagi bahasanya tidak ada sopan-sopannya bicara dengan orang tua.
'Apa begini gambaran gadis jaman sekarang, beda jauh dengan jamanku dulu?'
Sekilas Andrew teringat Tiara.
"Adek kecil, saya menabrak mobil kamu, karena kamu ngerem mendadak, jadi itu salah kamu, seharusnya kamu yang ganti rugi ke saya." Suara lembut Andrew berusaha meredakan kemarahan gadis bule di depannya.
"Pokoknya gue nggak mau tahu, lo mesti ganti rugi, atau lo mau kita berurusan di kantor Polisi. Di sini nggak ada saksi, atau bukti, kalau gue ngerem mendadak ya, yang jelas lo yang nabrak gue, bukan gue yang menabrak lo!" seru gadis itu sambil tangannya menunjuk ke arah bekas tabrakan di mobilnya.
Sebenarnya mobil Andrew juga tak kalah rusak, dari mobil gadis bule di depannya,t api Andrew malas berurusan dengan polisi. Ia baru seminggu pulang ke tanah air, tidak ingin ada urusan di kantor polisi.
"Oke ... saya akan tanggung biaya perbaikan mobilmu, ini kartu nama perusahaan tempat saya bekerja. Nama saya Andrew, catat nomer kontak saya."
Andrew menyebut nomer kontaknya, saat gadis bule itu mengeluarkan ponselnya.
"Oke, saya akan tagih janji, Om."
Gadis itu memasukan ponsel ke dalam tas yang menyampir di atas bahunya.
Saat gadis bule itu berbalik ingin pergi, Andrew teringat sesuatu.
"Hei, Miss cempreng, siapa namamu?" tanyanya.
"Emi ... Emilia!"jawabnya, seraya masuk ke dalam mobil.
"Emilia ...." guman Andrew pelan mengeja nama gadis itu.
'Mungkin seperti ini, gambaran gadis masa kini, blak-blakan, tanpa saringan, tanpa sopan santun.'
Tiba-tiba Andrew menyadari sesuatu, di sini, di tempatnya berdiri saat ini, kejadian hampir dua puluh empat tahun lalu terjadi. Meski keadaan di tempat ini sudah banyak berubah, tapi kejadian itu menyisakan bekas tidak hanya di dalam hatinya, tapi juga di tubuhnya. Bekas dua tusukan itu tak mau hilang, seperti cintanya pada Tiara yang tak menghilang, meski ia sudah pergi jauh menyeberangi lautan.
'Dua puluh empat tahun lalu, itu artinya putra Tiara, dan Steven sudah berusia dua puluh empat tahun, siapa namanya? Aku bahkan lupa menanyakan, siapa nama putra mereka, karena terlalu tergesa untuk melarikan diri, karena aku tak mau menunggu Tiara bangun pasca operasi. Aku takut, tatapan matanya akan melumpuhkanku, hingga membuatku membatalkan kepergianku. Tapi pelarian itu ternyata sia-sia, dua puluh empat tahun di sana, tetap saja aku tak bisa melupakannya. Tapi, kepulanganku tidak untuk menemuinya, aku pulang karena aku merasa sudah saatnya aku untuk pulang,' batin Andrew.
***
Sakti makan siang bersama Randi di katornya, hari ini lumayan banyak pekerjaan mereka, hingga memutuskan untuk makan di kantor saja.
"Bagaimana hubungan lo dengan Emi, Ran? Apa dia masih suka menuntut ini itu ke lo?" tanya Sakti, sambil mengamati wajah Randi di hadapannya.
"Nggak lagi, sejak dia ikut sibuk bantu papanya di kantor, waktu kami bersama jadi makin berkurang.
Kadang gue kangen sama kemanjaannya, tapi disatu sisi, gue juga sadar, kalau dia memang harus merubah sedikit sifat manjanya," jawab Randi pelan.
"Dia harus lebih mengerti lo, Ran, jangan biarka lo di bawah perintah dia. Kita laki-laki, kita yang harus pegang kendali, ada saatnya kita menarik tali, ada saatnya kita melonggarkannya. Cewek terlalu dikekang susah, terlalu dilepas juga susah, jadi kita harus selalu tahu apa yang harus kita lakukan, pada waktu yang tepat. Kapan harus menarik, kapan harus diulur, seperi main layangan."
Randi terkekeh kecil
"Secara umur bolehlah gue lebih tua dari lo, Boss, tapi secara pengalaman soal cewek, lo jagonya. Gue menyerah kalau soal itu, gue harus banyak belajar dari lo."
"Boleh saja lo belajar dari gue, asal jangan jadi playboy seperti gue. Awas saja lo menyakiti ponakan gue, meski Si Cempreng menyebelkan, tetap saja dia cucu kesayangan orang tua gue."
Randi terkekeh lagi.
"Boss ... Boss, meladeni satu keponakan lo saja gue ngos-ngosan, bagaimana mau punya selingkuhan. Sadar diri lah gue, Boss, nggak punya modal komplit seperti lo, yang bikin cewek-cewek meleleh, dan takluk di kaki lo."
"Lo memuji atau menyindir gue, Ran?"
Randi tertawa.
"Terserah lo menganggap apa, Boss."
"Eeh ... Sekar sudah kembali belum dari liburan di kampung Teh Euis?" tanya Randi tiba-tiba.
"Hari ini Pak Asep yang akan menganter mereka ke sini, kenapa?" Sakti balik bertanya.
"Tidak apa-apa, tapi gue rasa lo lebih hati-hati jagain anak angkat lo yang gemesin itu."
Kata-kata Randi membuat Sakti bingung.
"Maksud lo? Gue nggak ngerti, Ran. Setahu gue, Sekar anak baik, rajin sekolah, pintar, nggak banyak tingkah seperti Si Cempreng kesayangan lo itu."
"Kenapa ke Emi lagi siih, gue nggak bilang Sekar nggak baik, Boss. Tapi, anak lo itu sudah remaja, cowok-cowok ABG di sekolahnya, dan di sekitar perumahannya, sudah mulai melirik dia. Karena, anak ketemu gede lo itu, cantik sekali!"
"Apa lo bilang tadi, Sekar cantik? Lo mulai tertarik sama anak kecil ya, Ran. Jangan bilang lo ikut-ikutan naksir Sekar ya. Mau lo digantung Si Cempreng di pohon mangga samping rumahnya?!"
"Ke Emi lagi. Hhhhh ... kita sedang membicarakan Sekar, Boss. L jangan menganggap sepele omongan gue. Nanti lo menyesal, karena nggak bisa menjaga amanah almarhum bapaknya dengan baik."
"Gue kira itu hal wajarlah, Ran, kita dulu juga begitu. Suka naksir-naksir, pepet-pepet cewek."
"Itu lo ya, gue enggak!" protes Randi. Sakti tertawa keras, seakan membenarkan kata-kata Randi.
Sakti mewarisi jiwa playboy dari ayahnya. Steven juga playboy kelas berat, sebelum menikah dengan Ibu Emira. Untung keplayboyannya sirna seketika setelah menikah. Sakti juga bertekad, kalau sudah menemukan seseorang yang tepat untuk dinikahi, akan berhenti jadi playboy, ia ingin hidup bahagia sampai tua, seperti orang tuanya.
"Boss, lo kok melamun sih. Jangan-jangan lo lagi yang mulai suka sama Si Kecil Sekar!" goda Randi.
"Jangan gila lo, Ran, masa gue suka sama dia, umur gue sama dia itu bedanya sebelas tahun, Ran. Lagipula dia sudah gue anggap anak, makanya gue suruh dia manggil gue Ayah."
"Anak ketemu gede. Ibu gue juga manggil Ayah gue, Ayah, Boss. Hati-hati saja, witing tresno jalaran suko kulino, cinta datang karena terbiasa."
"Eeh Ran, yang kita bicarakan ini anak kelas dua SMP, yang masih bau kencur, mana bisa lo ngomong gue bakal jatuh cinta sama bocah ingusan. Lo nggak melihat, tipe cewek-cewek yang dekat sama gue seperti apa?"
Randi terkekeh
"Lo lupa perjalanan cinta orang tua lo, selisih umur mereka saja dua puluh tahunan. Lo sama Sekar cuma sebelas tahun."
"Ya ampun, kita ini membicarakan apa, Ran? Ngalor ngidul, ke sana ke mari, nggak jelas! Sudah sana, kembali ke ruangan lo!" usir Sakti, Randi terkekeh, lalu berdiri dari duduknya, ia berjalan menuju pintu.
"Terima kasih, Boss, makan siangnya lumayan ngirit, karena dapat makan gratisan," katanya, sebelum menutup pintu. Sakti ingin menjawab, tapi Randi sudah menghilang di balik pintu yang di tutupnya.
***
Sakti duduk di teras kontrakan Sekar, kata Teh Euis, Sekar sedang ke warung, ada yang dibeli. Teh Euis tidak mengatakan, Sekar beli apa. Sakti melihat Sekar menuntun sepeda, di sebelahnya seorang remaja lelaki juga menuntun sepedanya. Terdengar jelas gelak tawa mereka di telinga Sakti. Sekar menatap ke teras rumah, seketika tawanya terhenti saat melihat Sakti, yang berdiri dengan tangan bertolak pinggang.
"Sore, Om, kenalkan saya Rama, tetangga sebelah," sapa cowok ABG itu dengan berani. Tidak ada ketakutan di matanya saat menatap Sakti.
"Hmmm ... sore," jawab Sakti.
"Saya permisi, Om, sudah sore. Sekar aku pulang dulu ya, nanti kalau ada pelajaran yang nggak kamu mengerti, tanya saja ke aku ya." Rama sudah naik ke atas sepedanya. Sekar hanya mengangguk, pikirannya sedang dipenuhi rasa takut, karena melihat wajah Sakti yang terlihat tidak selembut biasanya.
"Dari mana?" tanya Sakti, suaranya terdengar sedikit keras.
"Warung," jawab Sekar singkat, kepalanya menunduk dalam, tangannya mencengkram kuat bungkusan plastik hitam di tangannya.
"Beli apa?" tanya Sakti lagi, tanpa menurunkan nada suaranya.
"Ini," Sekar mengacungkan bungkusan plastik di tangannya.
"Apa itu?" tanya Sakti sedikit penasaran. Bungkusan plastik itu terlihat cukup besar, tapi ringan. Wajah Sekar tiba-tiba merona merah, terlihat jelas merah sampai ke kupingnya karena kulitnya yang putih.
"Ini ... ini, eeh ... ini ...." Sekar seperti enggan menunjukan barang yang dibelinya.
"Buka, Ayah ingin melihat apa yang kamu beli!" perintah Sakti. Dengan ragu, dan wajah masih merah, Sekar mengeluarkan isi kantong plastik. Satu bungkusan lebih kecil berwarna pink, satu lagi yang lebih besar berwarna hitam. Sakti mengambil bungkusan itu, tiba-tiba ia melemparkannya begitu saja. Sekar melongo menatap Sakti tak mengerti.
"Itu pembalut'kan?!" Sakti menepuk-nepukan kedua telapak tangannya, seakan ingin membersihkan tangannya dari bekas bungkusan pembalut yang dipegangnya. Sekar mengangguk, sambil memungut dua bungkusan pembalut yang dilemparkan Sakti tadi
"Punya Teh Euis?" tanya Sakti lagi. Kepala Sekar menggeleng. Sakti menyipitkan mata, memandang Sekar yang menundukan wajahnya yang merah merona.
"Punyamu?" tanya Sakti tidak percaya. Kepala Sekar mengangguk samar, tanpa berani mengangkat wajahnya.
"Sejak kapan?" tanya Sakti pelan. Sekar mendongakan wajah, kaget dengan pertanyaan Sakti. Pikirnya apa Sakti harus tahu, kapan dia mulai datang bulan.
'Ya ampun ....
Sungguh malu mengatakannya. Bagaimanapun Ayah orang lain, bukan orang tua kandungku,' batinnya.
"Kenapa diam, aku tanya dari kapan?" tanya Sakti mulai tidak sabar, menunggu jawaban Sekar.
"Bulan lalu," jawab Sekar pelan.
"Hmm ... masuklah, kita bicara di dalam." Sakti melangkah masuk lebih dulu, diiringi Sekar di belakangnya.
"Duduklah!" perintah Sakti.
Sekar duduk dengan wajah tertunduk.
"Angkat wajahmu, biasakan kalau bicara dengan orang, tatap orang yang mengajakmu bicara, biar orang tahu kalau kamu memperhatikan lawan bicaramu!" perintah Sakti lagi.
Sekar menurut, ia mengangkat wajahnya untuk menatap wajah Sakti. Sakti menatap Sekar tepat di matanya. Sekar mengalihkan pandangannya ke bungkusan kecil di atas meja.
"Rama, dia pacarmu?"
Sekar terjengkit kaget mendengar pertanyaan Sakti.
Kepalanya menggeleng kuat, matanya membalas tatapan menyelidik Sakti.
"Lalu?"
"Cuma teman," jawabnya.
"Kamu sudah punya pacar?"
Lagi-lagi Sekar kaget dengan pertanyaan Sakti, kepalanya kembali menggeleng kuat.
"Ada yang bercerita padaku, banyak cowok di sini, dan di sekolah yang mendekatimu!"
Sekar menatap mata Sakti, matanya membulat gusar.
"Siapa yang cerita?"
"Tidak penting siapa yang bercerita, Ayah sebenarnya tidak keberatan kamu menikmati masa remajamu, Sekar, tapi Ayah tidak mau kalau sampai pendidikanmu terbengkalai. Ayah tidak mau kamu sampai menikah muda, tanpa menuntaskan pendidikanmu sampai sarjana. Ayah ingin menjalankan amanah almarhum Bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jadi Ayah mohon, jaga dirimu dengan sebaik-baiknya, jangan mudah tergoda rayuan lelaki, kamu paham, Sekar?"
Sekar menganggukan kepalanya.
Sakti meraih bungkusan kecil di atas meja.
"Ini untukmu, nanti saja dibuka. Ayah pulang dulu, ingat pesan Ayah!"
Sekar mengangguk, lalu meraih, dan mencium punggung tangan Sakti. Sakti menyentuh kepala Sekar sesaat.
'Semoga aku bisa memenuhi janjiku, pada almarhum,' doa Sakti di dalam hatinya.
***Bersambung***