Emilia datang ke kantor Andrew, namun Andrew tidak ada di kantornya, ia hanya menerima dua buah amplop, setelah menyerahkan nota perbaikan mobilnya, pada seseorang yang ditugaskan Andrew untuk menemuinya.
Emilia ke luar dari bangunan kantor Andrew, ia menuju tempat mobilnya diparkir. Ia masuk ke dalam mobilnya, lalu duduk.
Di buka amplop yang tipis, karena yang tebal ia yakin berisi uang. Emilia mulai membaca surat dari Andrew. Tidak hanya sekali membaca, ia mengulang satu kali lagi, dibaca pelan tiap kata, yang tertis dalam kertas di tangannya.
To: Emilia
Maaf aku tidak bisa menemuimu.
Aku tidak punya kontakmu, untuk menghubungi, terpaksa kutitipkan surat ini.
Aku harus segera kembali ke Belanda, kakak iparku mengalami kecelakaan.
Biaya perbaikan mobil bisa kamu ambil pada yang menyerahkan surat ini.
Pesanku, jadilah gadis yang baik, temukan, dan jangan pernah lepaskan cinta sejatimu.
Semoga kita bisa bertemu lagi Emi.
From
Andrew
'Semoga Om juga bersatu dengan cinta sejati, Om,' doa Emilia dihatinya.
***
Beberapa tahun kemudian.
Sekar mengayuh sepedanya, pulang dari sekolah.
Kini seragamnya bukan lagi putih biru, tapi sudah menjadi putih abu-abu.
"Sekar bisa berhenti sebentar."
Seorang pengendara motor mensejajari laju sepedanya.
"Kak Adyt!"
Sekar menghentikan sepedanya, begitu juga Adyt menghentikan motornya.
"Duduk di sana yuk, sambil makan bakso." Adyt menunjuk penjual bakso. Kepala Sekar mengangguk.
Mereka duduk menghadapi masing-masing, satu mangkok bakso, dan segelas es sirup.
"Kakak mau ngomong apa?" Sekar menatap Adyt, mereka sudah hampir tiga tahun berteman. Sejak kejadian motor Adyt menyenggol sepedanya, dan sejak hari itu juga, Sekar merasa ada yang berubah dari sikap ayahnya. Ayahnya seperti menjaga jarak, tak berusaha seakrab dulu. Kadang Sekar merasa, wajah Adyt, dan Sakti ada kemiripan.
"Aku mau kuliah ke Australia, Sekar," jawab Adyt.
"Ooh ... selamat ya, Kak, pasti senang bisa kuliah di negeri orang."
Adyt tersenyum
"Aku hanya ingin memastikan, apa kamu mau menungguku?"
"Menunggu ... maksud, Kakak?" Sekar menatap Adyt bingung.
"Aku ingin kamu menungguku untuk pulang, dan melamarmu," ucap Adyt, sambil tersenyum menggoda.
"Hah ... melamar? Ya ampun, Kak kita kan masih kecil, kita juga cuma berteman, masa mau melamar," protes Sekar, dengan mata melebar.
"Aku cuma bercanda, Sekar, meskipun aku tetap berharap, suatu saat nanti kita bisa lebih dari teman, seiring berjalannya waktu." Ucapan Adyt seperti gumaman.
"Maaf, Kak, tapi aku tidak bisa janji, aku ingin fokus memenuhi keinginan almarhum Bapak. Dan tidak mengecewakan Ayah angkatku, yang sudah menyekolahkan aku. Jadi untuk urusan yang lainnya, aku kesampingkan dulu," jawab Sekar dengan suaranya yang lembut.
"Nggak apa-apa, Sekar, toh aku juga baru mulai masuk kuliah, kita akan sama-sama meraih cita-cita dulu. Aku tadi hanya ingin memastikan, kalau kamu harus tau isi hatiku." Adyt tersenyum untuk menenangkan perasaan Sekar.
"Hahaha ... Kakak sekarang ngomong begitu, nanti kalau sudah di sana ketemu bule-bule cantik pasti langsung lupa punya teman kaya aku," Goda Sekar.
"Biar waktu yang membuktikan apa aku bisa lupa apa tidak," jawab Adytia sembari tertawa, Sekar juga ikut tertawa.
"Kapan kakak berangkat?"
"Dua hari lagi, jaga dirimu baik-baik ya Sekar, coba kalau kamu mau aku belikan ponsel kita bisa kabar-kabaran."
Sekar teringat ponsel pemberian Sakti yang masih tersimpan rapi dalam kotaknya,Sekar merasa tidak memerlukannya.
"Nggak perlu kabar-kabaran, nanti kalau Kakak pulang kan bakal jadi kejutan kita ketemuannya"
"Asal kejutannya jangan kamu sudah nikah saja saat aku pulang."
Sekar tertawa.
"Nggak mungkinlah Kak aku cepat nikah, aku juga ingin kuliah"
"Ya siapa tahu saja ada pangeran kaya dan tampan yang datang melamarmu"
"Memangnya aku putri raja, kok dilamar pangeran tampan segala."
"Yah aku berharap saat aku pulang masih ada kesempatan buatku mencuri hatimu."
Sekar tertawa lagi.
"Jangan-jangan yang ada Kakak pulang bawa istri bule."
Kali ini Adyt yang tertawa.
"Aku lebih suka yang Indonesia asli, Sekar"
"Dari tadi kita ngomongin apa ya Kak ngalor ngidul nggak karuan, sampai nggak berasa Kakak habis dua mangkok baksonya."
Sekar menunjuk dua mangkok kosong di depan Adyt.
"Maklum masa pertumbuhan."
"Aah Kakak bisa saja ngelesnya"
Sekar, dan Adyt tertawa bersama.
***
Steven terbangun dari tidurnya, mimpi itu begitu nyata, seorang lelaki berjubah putih datang menemuinya mengatakan bahwa waktunya tinggal sebentar lagi hingga tiba ia akan menjemputnya. Mimpi ini sudah datang beberapa kali.
Apakah itu malaikat yang mengingatkanku akan hari kematianku. Steven menatap Tiara yang tertidur pulas dalam dekapannya.
'Apa aku sudah ikhlas meninggalkannya.
Apa aku sudah ikhlas meninggalkan dunia.'
Pelan Steven melepas pelukannya, ia turun dari ranjang, lalu beranjak ke kamar mandi. Tiara terbangun, ia meraba tempat di sebelahnya.
Kosong!
Tiara bangun dari berbaring, dilihatnya Steven tengah sujud di atas sajadah. Tiara menunggu sampai Steven selesai berdoa, dan melipat sajadah.
"Aay kenapa aku tidak dibangunkan?"
Steven duduk di tepi ranjang, setelah melepas sarung peci, dan baju kokonya.
"Tidurmu pulas sekali, Sayang, tidak tega aku membangunkan," jawab Steven, kini ia berbaring di sebelah Tiara. Dibawa Tiara ke dalam dekapannya.
"Tiara."
"Ya, Aay."
"Boleh aku minta sesuatu."
"Apa?"
"Berjanjilah ku akan mengabulkannya."
"Bilang dulu Aay minta apa?"
"Janji dulu kamu akan mengabulkannya."
"Mana bisa begitu, Aay, aku harus tau dulu Aay minta apa?"
"Aku tidak akan minta sesuatu, yang tidak bisa kamu berikan, kamu pasti bisa mengabulkannya, berjanjilah!"
"Ya sudah aku percaya sama Aay, aku berjanji akan mengabulkan permintaan Aay."
"Jika aku pergi, aku tidak ingin kamu hidup sendiri. Jika aku pergi, aku ingin kamu menikah lagi, jika ada seseorang yang datang dengan cinta sejati." Permintaan Steven bagai petir disiang bolong bagi Tiara.
"Aay bicara apa? Aay tidak akan kuijinkan pergi kemana-mana!" seru Tiara marah.
Steven mempererat pelukannya.
"Setiap yang bernyawa, pasti akan kembali pada Sang Pencipta, Tiara."
"Tapi Aay sehat wal afiat, tidak akan pergi secepat itu Aay."
"Ini bukan soal cepat, atau lambat. Sehat, atau sakit, tapi ini adalah takdir yang pasti datang hanya kita tidak tau waktunya kapan."
"Jangan membuat aku takut, Aay."
"Kehilangan bukan sesuatu yang harus ditakuti, tapi harus diikhlaskan, Tiara. Aku hanya ingin, jika aku pergi, kamu tidak sendirian, saat anak cucu akan menikah, dan punya kehidupannya sendiri nanti. Aku mohon berjanjilah, agar hatiku tenang," pinta Steven. Tiara tidak bisa berpikir lagi, dia sangat takut Steven akan meninggalkannya, hingga Tiara hanya menganggukan kepalanya, dengan air mata menggenang di pipinya. Tiara menangis di dalam pelukan Steven.
"Terimakasih, Tiara."
BERSAMBUNG