Pagi harinya ketika Aira bangun, ia menoleh ke jendela kamarnya. Ia butuh beberapa detik untuk mengingat bahwa ia tak lagi tinggal di rumah orang tuanya. Matahari sudah bersinar malu-malu di luar sana dan Aira pun akhirnya bangun. Ia membasuh wajahnya sebelum memutuskan untuk sekalian mandi.
Kamar mandi di rumah Raka sangat luar biasa. Jika di rumah orang tuanya ia harus bergantian ketika mandi atau buang air, kini ia bisa mandi dengan tenang. Tak ada gangguan. Yang paling mengganggunya hanyalah bahwa kamar mandi ini dilengkapi dengan alat-alat yang ia baru tahu cara menggunakannya setelah ia membaca di internet. Ia malu bertanya pada Raka.
Mengingat Raka, membuat Aira penasaran apakah benar pria itu sudah pergi bekerja? Jadi, usai mandi, Aira pun segera keluar dari kamar. Ia celingukan untuk mencari eksistensi Raka.
"Sepi," gumam Aira.
Aira segera ke dapur karena ia sangat lapar. Ia ingat ia memiliki beberapa makanan di kulkas. Sebelum ia membuka kulkas, ia melihat kertas memo yang ditimpa dengan magnet. Aira mengambil memo tersebut dan mulai membaca.
"Aku ninggalin kamu uang di atas kulkas. Kamu bisa pakai buat belanja sayur atau bahan makanan kalau kamu pengen masak. Biasanya ada tukang sayur yang lewat, tapi aku nggak apal jam berapa. Kalau kamu nggak mau keluar, kamu bisa order di aplikasi.
"Biasanya bu Safira bakalan datang buat bersih-bersih rumah sekitar jam 09.00 pagi. Kamu bisa kenalan, dia juga tetangga kita. Dan tolong, ingetin bu Safira buat kasih makan Memei. Aku bakalan pulang setelah Maghrib jadi aku nggak mau dia kelaparan.
"Kamu bisa istirahat dengan nyaman di rumah. Kunci aja pintunya kalau bu Safira udah pulang. Ini nomor ponsel aku. Kamu bisa simpan dan chat atau telepon aku kalau ada apa-apa di rumah. Tapi, aku harap nggak ada apa-apa. Kamu aman di rumah." Raka.
Aira mengerjap ketika membaca tulisan panjang dari Raka. Ia menatap deretan nomor telepon Raka lalu menyimpan kertas itu di kantong. Ia akan mengirim chat pada Raka nanti setelah sarapan, pikirnya.
"Mas Raka ninggalin uang," gumam Aira seraya mengambil dua lembar uang ratusan ribu di atas kulkas. "Banyak banget. Apa dia pengen aku masak buat dia?"
Aira kini membuka pintu kulkas. Ia melihat masih ada beberapa bahan makanan yang bisa ia masak, jadi uang dari Raka tak perlu ia gunakan dulu. Ia kembali meletakkan uang itu di atas kulkas lalu mengambil martabak tadi malam. Ia juga mengambil s**u UHT yang ada di sana. Rasa stroberi! Oh, ya ampun, Aira tak bisa lagi menebak bagaimana karakter Raka. Pria pecinta kucing itu bahkan minum s**u stroberi.
"Lebih baik aku sarapan dulu."
***
Di tempat lain, Raka baru saja membuka ponselnya. Ia melihat nomor baru di sana dan ia langsung menebak itu adalah Aira.
Aira: Ini nomor aku, Mas. Ai.
Raka tersenyum tipis. Ia langsung menyimpan kontak Aira lalu membalasnya. Ia hanya mengangkat dagu pelan ketika pintu ruangannya dibuka dari luar dan Sandy melambaikan tangan padanya.
"Kamu lagi ngapain?" tanya Sandy, teman sekaligus orang kepercayaannya.
"Baru bales chat," jawab Raka datar. "Apa ada masalah?"
"Nggak sih. Cuma mau ngasih laporan bulanan aja, Bos," tukas Sandy. Ia menatap curiga Raka yang berlama-lama mengetik di sana. "Kamu chat siapa? Serius amat."
"Istri aku," jawab Raka tanpa sadar.
"Apa? Istri?"
Raka mengerjap lalu ia meletakkan ponselnya. Ia tak memberitahu siapapun tentang pernikahannya dan sekarang ia keceplosan bicara dengan Sandy.
"Serius? Kamu udah nikah lagi?" tanya Sandy dengan nada sangsi. Ia melirik tangan kanan Raka dan menemukan cincin melingkar di sana. Sontak, pria yang sudah berteman dengan Raka sejak mereka SMA itu menutup bibir dengan telapak tangan. "Ya ampun! Harusnya kamu cerita, Ka."
"Ehm, nggak ada yang perlu diceritain," ujar Raka. Ia mengedikkan tangannya untuk meminta dokumen yang hendak diberikan oleh Sandy, tetapi temannya itu justru terlihat penasaran dengan pernikahannya.
"Serius, Ka. Aku seneng kalau kamu nikah lagi. Setelah Yumna ...." Sandy menutup bibirnya lagi ketika melihat ekspresi serius di wajah Raka. Selalu seperti ini! Raka akan sangat sensitif jika ia menyebut nama mantan istri Raka. "Sorry, maksud aku, aku ikut seneng. Akhirnya kamu bisa move on."
Sebenarnya, itu tidak terasa seperti ia sudah move on dari perceraiannya satu setengah tahun lalu, pikir Raka dalam hati. Ia bahkan tidak mencintai Aira, istri barunya. Ia bahkan tak tahu kenapa ia menikahi Aira. Untuk melindunginya? Ah, mungkin saja hanya seperti itu.
"Nggak usah cerita-cerita ke yang lain. Aku nikah lagi ... baru kemarin dan ... pokoknya gitu deh," ujar Raka.
"Tunggu! Kemarin? Ah, jadi kamu nggak datang ke kafe karena kamu baru nikah?" Sandy tampak antusias di seberang meja Raka. Apalagi ketika Raka mengangguk sekali. "Ya ampun, Ka! Kamu ... pengantin baru?"
Raka mendengkus ketika ia mendengar tawa keras Sandy. Ia bahkan tidak merasakan sensasi apapun tentang pernikahannya. Pengantin baru? Itu tidak berlaku baginya, apalagi bagi Aira. Ia bahkan tak berani menyentuh gadis itu.
"Harusnya kamu ambil cuti dong, Ka. Tiga hari gitu, apa seminggu. Biar puas. Kan udah lama kamu puasa," kata Sandy dengan nada menggoda.
Raka hanya menggeleng. Namun, membicarakan itu membuat darahnya memanas seketika. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia menikmati tubuh Yumna.
"Nggak usah ngomong aneh-aneh deh, buruan sini laporannya. Ini udah mau break duhur," kata Raka.
Sandy hanya mendengkus pelan. Ia masih sangat penasaran dengan pernikahan Raka, tetapi ia memberikan saja berkas yang ia bawa. "Istri kamu kayak apa, Ka? Aku penasaran. Apa dia lebih cantik dari Yu ... mantan istri kamu?"
Raka berhenti membaca laporan Sandy. Ia tak bisa membandingkan Yumna dengan Aira. Mereka makhluk yang berbeda meskipun sama-sama wanita.
"Apa ada fotonya? Foto pernikahan kamu! Biar lebih valid," goda Sandy lagi.
"Nggak ada. Aku belum dapat fotonya," jawab Raka. Ia membuang napas panjang. Ia hanya mengambil beberapa foto dengan Aira, hanya ketika akad nikah dan setelahnya Aira pingsan. Mengingat itu membuat Raka merasa pilu. Itu bukan adegan pernikahan yang yang menyenangkan.
"Ya ampun, Ka. Serius kamu nikah lagi? Aku harus tahu kamu nikah sama cewek baik kali ini," kata Sandy berapi-api. "Dia baik, 'kan? Kamu kenal di mana? Berapa lama? Kenapa aku nggak tahu kamu pacaran sama cewek? Aku kira kamu cuma pacaran sama kucing."
Raka mendesis kesal dan ia melayangkan tatapan tajam pada Sandy. "Kita masih kerja, jangan lupa kamu adalah asisten aku di kantor."
"Oh, jadi kamu sedang mode bos," ledek Sandy. "Oke, Bos. Aku kita makan siang bareng dan lanjutin obrolan ini. Aku mau tahu semua tentang istri baru kamu."
"Itu bukan urusan kamu. Aku baik-baik aja jadi kamu nggak usah ribut," gerutu Raka.
Sandy berdecak jengkel. Ia meletakkan kedua tangannya di meja Raka lalu menunduk pada pria yang menjadi atasan sekaligus sahabatnya itu. "Aku tahu gimana kamu selama ini, Ka. Kamu patah hati gara-gara mantan istri kamu dan kamu kehilangan banyak hal setelah itu. Jadi, aku nggak mau kamu terluka lagi karena wanita dan cinta. Aku cerewet karena aku peduli sama kamu makanya aku tanya wanita kayak apa yang jadi istri kamu sekarang?"
"Tenang aja, Aira cewek baik," jawab Raka cepat.
"Aira? Namanya Aira?" tanya Sandy.
Raka mengangguk. "Nggak usah tanya-tanya lagi. Pokoknya, dia baik. Udah. Aku bisa jaga hati dan perasaan aku. Dan tolong, nggak usah bahas dia lagi."
"Oke. Oke!" Sandy menepuk bahu Raka keras-keras. "Selamat atas pernikahan kamu. Kalau kamu bahagia, aku juga ikut bahagia. Oke!"
Raka membuang napas panjang. Ia baru mengenal Aira sejak kemarin dan ia berkata gadis itu baik. Oh, ia tak tahu sebenarnya, tetapi ia yakin begitu. Aira hanya gadis polos.
Namun, ia tak yakin dengan pernikahannya. Ia tak merasa bahagia atas pernikahan itu. Ada banyak hal merepotkan yang harus ia lakukan. Ia juga harus keluar dari zona nyamannya sejak kemarin. Ia bahkan tidur di depan kamar Aira karena ia takut Aira akan bermimpi buruk atau histeris. Setidaknya, dulu adiknya seperti itu setelah insiden pelecehan itu.
"Kita makan sekarang aja, San," ujar Raka yang tiba-tiba merasa ia harus menepis bayang-bayang Aira dari benaknya.
"Oke."
"Aku mau sekalian ke cabang, jadi kita makan di luar aja," ajak Raka.
"Siap, Bos. Aku mau kita ngobrol lebih lanjut," goda Sandy yang merangkul bahu Raka.
"Nggak usah ngarep. Aku nggak mau bahas masalah ini," tegas Raka.
Raka meninggalkan ponselnya tanpa sengaja. Ia tak tahu bahwa beberapa jam kemudian, Aira meneleponnya karena panik akan kedatangan seseorang di rumahnya.