7. Alasan Menolong

1514 Words
"Kamu udah lulus SMA, 'kan? Jadi, kamu emang harus lanjut kuliah. Jangan kerja dulu," ujar Raka menanggapi pertanyaan Aira. Aira menelan nasinya keras. "Tapi Mas nggak perlu biayain aku kuliah. Itu mahal. Aku ...." "Kamu istri aku," potong Raka. "Dan aku mau kamu kuliah, jadi aku yang bakal tanggung biaya pendidikan kamu. Nggak usah mikirin uang. Kamu masih muda dan ... kamu pasti punya mimpi untuk dikejar." Aira meremang. Ia tak tahu lagi apa mimpinya. Mimpi terbesarnya adalah keluar dari rumah orang tuanya. Ia sudah lulus SMA dan ia selalu memiliki bayangan bahwa ia bisa bekerja di suatu tempat. Mungkin, menjadi pelayan di rumah makan atau tukang bersih-bersih. Apa saja, yang penting ia bisa mendapatkan uang dan membiayai kebutuhan hidupnya sendiri. Dan yang paling penting adalah menjauh dari rumah orang tuanya yang mengerikan. Raka menatap Aira yang terdiam. "Jangan katakan kamu nggak punya impian? Apa mimpi kamu, Ai? Kamu punya cita-cita?" Aira mengangkat dagu untuk menatap wajah serius Raka. Ia berdebar. "Aku ... aku selalu pengen pergi dari rumah." "Oke. Kamu udah pergi, kamu nggak akan kembali ke sana lagi. Aku janji," kata Raka sungguh-sungguh. "Tapi aku bicara tentang masa depan kamu. Pasti ada sesuatu yang kamu ingin lakukan. Bilang sama aku." "Ehm ... aku nggak tahu. Aku nggak pernah pengen kuliah soalnya ... Mas tahu sendiri, aku anak orang miskin dan aku pikir aku bisa kerja aja," ujar Aira. Ia mengaduk-aduk nasi bersama sambal ayam geprek lalu kembali makan. Raka membuang napas panjang. Aira mungkin sudah tak memiliki mimpi lagi gara-gara perlakuan ayahnya. Sungguh gadis yang malang. "Pasti kamu punya mata pelajaran yang kamu suka di sekolah. Apa itu? Kamu pilih itu aja buat referensi prodi yang mau kamu ambil kalau kuliah. Kamu masih bisa daftar." Aira mengerjap karena merasa ucapan Raka sangat sungguh-sungguh. Ia tak pernah bertemu orang seperti Raka, pria itu begitu baik. Apa pria itu memiliki niat lain di balik kebaikannya? "Kenapa Mas baik banget sama aku? Apa Mas mau aku kuliah biar suatu hari aku bisa balas budi?" tanya Aira. "Apa?" Raka membelalak, ia mendengkus keras dan berkata, "Tentu aja nggak. Apa kamu selalu begini? Nggak bisa percaya sama orang lain?" Ya, Aira memang tak mudah percaya. Setelah apa yang dilakukan ayah dan ibunya, oh, juga Miko yang pergi dari rumah, ia merasa tak memiliki siapapun yang bisa ia percayai. Bahkan dirinya sendiri. "Maaf," gumam Aira. "Jangan minta maaf." Raka terdiam selama beberapa saat dan memperhatikan Aira makan dengan perlahan. Barangkali ucapannya sudah membuat nafsu makan gadis itu sirna. "Aku mengerti kenapa kamu bersikap seperti ini. Aku nggak akan maksa kamu. Aku cuma mau kamu tahu, aku nggak punya niat jelek sama kamu." "Jadi, kenapa Mas begitu baik sama aku? Kenapa Mas mau bantuin aku hari itu?" tanya Aira dengan nada tertahan. Ia sudah sangat penasaran. Kenapa Raka mau membantunya? Kenapa Raka bahkan mau menikahinya ketika ia melayangkan tuduhan? Raka kembali terdiam. Mengingat hari itu membuat darahnya mendidih dan kini ia yang kehilangan nafsu makan. "Aku penasaran," gumam Aira. Raka membasahi bibirnya. Ia membuang napas berat. "Rain, adik aku mengalami pelecehan seksual beberapa tahun yang lalu." Kedua mata Aira melebar. Ia merasakan ketegangan di tubuhnya saat ini. Apalagi Raka tiba-tiba menatap ke arahnya. "Dia mungkin hampir seumuran sama kamu dan aku baru wisuda sarjana. Beberapa pria mabuk ngelakuin itu. Aku bersalah sama Rain karena aku nggak bisa jagain dia. Aku seorang kakak, tapi aku nggak ada di sana buat Rain," ujar Raka dengan nada pilu. Aira bisa melihat ekspresi getir di wajah Raka. Bahkan pria itu juga tegang seperti dirinya seolah itu adalah hal yang tak mau ia ceritakan. "Aku nggak bisa ngeliat pelaku pelecehan seksual begitu saja, Ai. Aku tahu kamu dalam bahaya. Jadi ... aku nolong kamu," ujar Raka setelah ia terdiam beberapa saat. "Jadi ... jadi gimana sekarang adik Mas? Apa dia ... baik-baik saja?" tanya Aira terbata. Itu kejadian yang sangat lama. Hampir 6 tahun yang lalu dan ia penasaran, apakah gadis itu hidup dengan baik? "Ya, dia baik-baik saja sekarang. Dia udah tenang," jawab Raka tanpa menatap wajah Aira. Ada kelegaan yang menyasar di hati Aira saat ini. Gadis itu baik-baik saja dan mungkin, ia juga akan seperti itu. Ia bisa melewati semuanya. "Apa dia udah nikah?" tanya Aira lagi. Raka menggeleng pelan. "Dia meninggal seminggu setelah kejadian." Aira kembali menegang dengan kedua mata melebar sempurna. Ia semakin berdebar ketika melihat wajah sedih Raka. Pria itu terlihat menggeleng pelan lalu mengusap wajahnya. "Tapi, aku yakin Rain udah tenang. Pelakunya mendapatkan ganjaran yang setimpal. Aku udah mukulin semua orang, mereka juga dipenjara," ujar Raka yang menyadari perubahan di wajah Aira. "Maaf, aku udah tanya banyak sama Mas," kata Aira tak tahan lagi. Ia tak bisa mengobrol seperti ini lagi. Ia tak ingin membuat Raka kesal dengan pertanyaannya yang membangkitkan luka lama pria itu. Jadi, ia segera mengosongkan piringnya. "Apa kamu udah kenyang?" tanya Raka. "Ya. Aku aja yang beres-beres sama cuci piring," ujar Aira seraya mengambil piring kosong Raka. "Makanannya masih. Apa mau disimpan di kulkas?" "Boleh aja. Aku juga udah kenyang," jawab Raka. "Oke. Aku makan besok pagi," timpal Aira. Raka mengangguk saja. "Aku tinggal kerja mulai besok pagi. Aku nggak bisa libur lagi." "Oke," tukas Aira. Ia segera membereskan meja makan sementara Raka mengambil makanan kucing lalu mendekatkan ke kandang Memei. Aira melirik Raka yang mengelus-elus kucingnya dengan penuh kasih. Lagi-lagi, ia merasa tak enak karena kucing itu harus dikurung gara-gara kedatangannya. Usai membersihkan semua peralatan makan, Aira kembali ke meja makan. Masih ada es boba yang belum tersentuh. Ia pun mengambilnya dengan ragu. Ah, ini cukup mahal dan butuh berhari-hari menyisihkan uang saku untuknya bisa membeli. "Minum aja," kata Raka yang baru saja berdiri dari depan kandang kucing. "Oh, ya. Makasih." Aira terkesiap karena ucapan Raka yang tiba-tiba. Ia tak bisa menipu dirinya sendiri, walaupun ia yakin Raka adalah pria baik, ada sebagian dari dirinya yang masih merasa takut karena ia hanya berdua saja di rumah itu bersama Raka. Raka bukannya tak menyadari hal itu, ia tahu penyebab Aira merasa takut. Pertama, ia korban kekerasan seksual. Kedua, mereka hanya orang asing yang terjebak dalam pernikahan. Dan ketiga, Aira belum bisa seratus persen percaya padanya. "Kamu mau nonton TV sambil minum itu?" tanya Raka. Aira menggeleng pelan. Ia tahu di ruang tengah ada televisi raksasa yang ia tak yakin berapa inchi ukurannya. Di rumah, ia memiliki televisi yang selalu dimonopoli ayahnya. Sebenarnya ia agak penasaran dengan sensasi menonton televisi seperti yang dimiliki Raka, tetapi akan lebih baik jika ia kembali ke zona nyamannya. Di dalam kamar, sendirian. "Oke. Kamu mau istirahat lagi?" "Ya. Besok pagi ...." "Aku kerja pagi-pagi banget. Abis Subuh, jadi kamu nggak perlu ikutan bangun pagi. Kamu nggak sholat, 'kan?" Raka menjangkau remote televisi dan menekan tombol On. "Kamu bisa bangun siang, santai aja. Kalau aku udah nggak di rumah, kamu pastikan aja semua pintu terkunci dan kamu bakal baik-baik aja di rumah ini." "Oke," gumam Aira. Ia melirik tayangan iklan di layar televisi yang begitu bening itu. Sontak bibirnya menggumamkan kata 'Wow' tanpa suara. "Kamu bisa duduk kalau mau nonton," ujar Raka menawarkan. Aira menggeleng. "Aku ke kamar aja, Mas." "Oke, kalau gitu aku mau keluarin Memei dulu," ujar Raka. Aira meninggalkan Raka lalu segera masuk ke kamar. Ia duduk di tepi ranjang, meneguk es boba dengan perasaan tak keruan. Ia tak pernah bertemu dengan pria sebaik Raka. Dan itu rasanya aneh. Ia memiliki seorang kakak yang baik, dulunya. Ia ingat Miko selalu menjaganya. Namun, semenjak pria itu tinggal di luar rumah dan lebih fokus dengan keluarga kecilnya, Miko tak bisa diharapkan. Aira membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia merasa tenang dan nyaman karena bahkan Raka tak mengusiknya dengan volume dari TV raksasa miliknya. Yah, Raka mungkin sengaja menonton dengan volume rendah agar ia bisa tidur. "Aku aman," gumamnya tanpa sadar. Aira mematikan lampu kamarnya lalu ia pun jatuh tertidur dengan cepat karena perutnya yang kenyang dan hatinya yang tenang. Aira terbangun beberapa jam kemudian. Ia merasa begitu haus dan memutuskan untuk mengambil air di dapur. Ia yakin Raka sudah tidur di atas, jadi tak masalah ia keluar kamar. Namun, ketika Aira membuka pintu kamarnya, ia bisa melihat televisi masih menyala dan Raka terlihat tidur di sofa. Kedua mata Aira mengerjap. "Mas Raka tidur di sini?" gumamnya seraya mendekat. Ia lebih kaget lagi ketika ia melihat Raka tidur dengan memeluk Memei, kucingnya. Aira menutup bibirnya, ia tak ingin menimbulkan suara yang akan membangunkan si kucing atau lebih buruk lagi si empunya. Ia hanya merasa aneh karena bahkan ketika tidur Raka terlihat sangat baik. Bahkan melihat bagaimana cara Raka memeluk Memei, terlihat bahwa ia begitu penyayang. Aira pun mengambil remote televisi dan menekan tombol Off. Ia membuang napas panjang lalu segera ke dapur. "Mas Raka aneh banget," gumamnya seraya menuangkan air ke gelas. Melihat Raka tidur seperti itu, ia tak hanya merasa bahwa Raka adalah pria baik dan penyayang. Namun, ia yakin Raka adalah pria yang kesepian. Ia tahu, Raka bercerai tahun lalu. Dan apapun penyebab perceraian itu, ia tak tahu. Barangkali, itu yang membuat Raka menjadi kesepian dan hanya tinggal dengan kucingnya. "Seharusnya aku nggak mikir yang aneh-aneh. Nggak usah kepo, Ai," gumamnya pada diri sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD