Part 2 : Catching

2886 Words
Kakiku terus melaju semakin dalam memasuki hutan—bila terbesit pertanyaan apa aku takut untuk pergi ke dalam hutan seorang diri? Aku akan menjawab ya. Perlu waktu beberapa lama untuk membuatku terbiasa berada di tempat seperti ini sendirian. Terkadang desiran angin yang kencang masih membuat jantungku berdegup, aku takut bila secara tiba-tiba angin berhembus terlalu kencang dan menyebabkan beberapa pepohonan jatuh menimpa tubuhku. Lupakan. Aku terlalu berlebihan. Aku memutuskan untuk melanjutkan langkah kakiku dalam diam, Bunyi dedaunan dan ranting ranting yang kuinjak terdengar bersautan dengan suara hewan-hewan liar di hutan ini, suara itu jelas bukan suara yang nyaman untuk kudengar. Namun setidaknya masih ada suara yang bisa kudengar selain keheningan. Aku akan lebih takut bila sunyi tanpa suara sama sekali, seakan hanya akulah satu -satunya makhluk di dunia ini. Aku membungkuk sesekali, meraih ranting demi ranting pohon kering yang kutemukan dalam hutan ini. Beruntung hutan ini tidak lembab, ranting pohon yang kuambil tidak basah dan tidak perlu kukeringkan terlalu lama saat sampai di rumah nanti. Brak! Aku hampir tersentak saat mendengar suara pintu yang terbuka secara kasar, pandanganku teralih, netraku terjatuh pada sebuah rumah sederhana yang terlihat sekilas dari celah semak belukar. Sebuah rumah. Rumah itu terbuat dari kayu, tidak besar namun tidak terlihat seperti rumah yang kumuh—kayunya kokoh dan mengkilat indah. Tapi siapa yang sudi tinggal di tempat seperti ini? Hutan bukan tempat yang aman, bila suhu di pemukiman dingin, suhu disini bisa berkali-kali lipat lebih dingin, belum lagi bagian terburuknya—banyak badai angin yang sering terjadi di tengah hutan, atau sambaran petir yang bisa meruntuhkan beberapa pepohonan yang berada di sana. Aku benar-benar heran, Orang bodoh mana yang sudi tinggal di dalam hutan? "Kalian bisa pergi, aku akan menjaga tempat ini, hutan ini akan aman ditanganku" Pandanganku mendongak menuju sumber suara, mataku terjatuh pada seorang Lelaki yang memiliki rambut coklat tua dengan warna bola mata yang senada dengan rambutnya. Ia berdiri dengan tegap, badannya jauh lebih tinggi dariku. Mungkin bila aku berdiri di hadapannya, tinggiku hanya sebatas dadanya saja. "Tempat ini tak jauh berbeda dari Epifron. Aku akan beradaptasi dengan cepat," ujar lelaki berambut cokelat yang sebelumnya bersuara. Aku tak tahu apa yang terlintas di fikiranku, tubuhku secara otomatis membungkuk di balik semak belukar yang cukup tinggi, aku tahu ini terdengar aneh. Aku seharusnya mencari kayu bakar dan kembali pulang mengingat hari akan semakin sore, namun aku justru berdiam dan menguping pembicaraan orang lain yang sama sekali tidak kukenal. "Kurasa Epifron jauh lebih baik" Kulihat satu orang lelaki berambut perak berucap dengan berjalan menjauh, diikuti dengan seorang wanita dengan rambut biru gelap, ia cantik. Maksudku sangat cantik, matanya berbinar dan bulu matanya lentik, kulitnya yang seputih porselin terlihat bersih tanpa goresan luka sedikitpun. Tapi semua ini membuatku bingung. Mereka ini siapa? pakaian mereka sangat bagus, kulit mereka putih dan bersih, seakan mereka tidak tersentuh kotoran sedikitpun. Aku mulai berfikir bahwa mereka merupakan salah satu orang berduit yang masih bisa merawat diri mereka dengan baik. Tapi mengapa mereka harus tinggal di tengah hutan? semua orang yang mempunyai uang memilih pergi dari tempat ini, pergi ke tempat yang lebih aman dan nyaman. "Bila kau menemukan gadis itu, beritahu diriku" Wanita berambut biru tua itu berlalu pergi, namun belum sempat ia melangkah lebih jauh—sebuah suara menghentikan langkah kakinya yang anggun. "Jangan sampai terlihat manusia!" Lelaki bermata coklat itu berteriak kecil, tampak sedikit raut kekhawatiran dari sorot matanya, alisnya bertautan. Menandakan bahwa perkataannya saat ini merupakan sesuatu yang serius. Tunggu. Apa yang ia katakan tadi? Jangan bertemu manusia? Pendengaranku yang bermasalah, atau kepala mereka yang terbentur terlalu keras? "Kau tak perlu sebenci itu kawan, bersikaplah seperti biasa. Semuanya akan baik-baik saja, tenanglah" Wanita berambut biru tua itu berujar singkat, kemudian berlalu meninggalkan lelaki berambut cokelat tersebut yang masih membisu di tempatnya berdiri sekarang. Wanita itu bergerak menjauh, namun aku merasa ia bergerak semakin dalam menuju hutan, aku tak bisa melihatnya lebih jelas, tubuhnya menghilang di balik pepohonan dan semak belukar. Aku masih berfikir akan perkataanya tadi. Jika mereka bukan manusia, lalu mereka siapa? kurasa mereka seorang pemain teater yang sedang berlatih peran. Atau lebih buruknya seorang manusia pengidap gangguan mental yang bercita-cita besar utuk menjadi penyelamat bumi. Kasihan. Tapi hal paling bodoh yang terjadi saat ini adalah—kenyataan bahwa diriku masih bertahan pada posisiku saat ini hanya untuk menatap sekumpulan orang yang terlihat sangat tampan dan cantik namun mengidap gangguan mental. Tapi sungguh, mereka benar-benar aneh. Bodoh bodoh bodoh. Kurasa aku seharusnya lekas kembali dan berbalik pulang ke rumah. "Kalau begitu aku juga akan pergi, aku duluan Lean. Aku akan kembali sebelum matahari terbit di sisi timur" Aku hampir beranjak bangkit dan berbalik pergi saat pandanganku terjatuh pada seorang pria berambut perak yang kini merentangkan tangannya dengan mata terpejam, alisku berkerut dengan cepat. Demi tuhan, drama apa lagi yang mereka lakukan? Kakiku terasa lemas saat pandanganku terjatuh pada punggungnya yang mengeluarkan tulang tulang kecil secara perlahan, aku meneguk salivaku dengan berat—mencoba meyakinkan diriku bahwa apa yang kulihat saat ini benar-benar sesuatu yang nyata. Tulang -tulang tersebut menyeruak keluar secara perlahan, membuat bunyi retakan kecil yang kini menjalar semakin lebar. Aku benar-benar merasa lemas, mencoba menguatkan diriku agar tidak kehilangan kesadaran atas diriku sendiri saat ini. Secara perlahan tulang tersebut mulai dilapisi bulu halus yang tipis, kemudian semakin lebat seiring bertambah panjangnya tulang tersebut. Itu sayap. Apa yang aku lihat di hadapanku saat ini adalah sayap. Sayap yang tumbuh di belakang punggung manusia? Oh Tuhan. Bila ini mimpi, aku benar-benar ingin mengakhiri mimpi ini sekarang juga. Aku mulai menarik perkataanku yang mengatakan mereka pengidap gangguan mental. Aku rasa kini kesehatan jiwaku yang mulai terganggu. "Aku pergi dulu" Lelaki itu menjauh lalu mengepakkan sayapnya perlahan. Ia berlari, hingga semakin lama, kakinya tidak lagi menyentuh tanah. Dia terbang. TERBANG. Aku terduduk di atas tanah dengan mata yang membulat sempurna, alisku bertautan dengan erat—aku benar benar tak bisa berfikir dengan jernih. Apa yang terjadi di hadapanku tadi terasa sangat mustahil untuk dijelaskan secara ilmiah. "Aku bermimpi, aku pasti bermimpi," bisikku kecil dengan meneguk salivaku dengan susah payah. Aku menampar kecil pipiku untuk menyadarkan diriku dari mimpi ini, tapi ini terasa nyata, pipiku terasa sakit saat aku menamparnya. "Semua tidak nyata, aku hanya kurang tidur, aku butuh istrahat," gumamku. Aku benar-benar tak bisa berfikir dengan jernih saat ini. Lelaki itu terbang! ayolah, ini sangat mustahil, dan aku yakin seratus persen aku akan terlihat t***l bila menceritakan hal ini di hadapan Liam. Ia akan menertawaiku dan menganggap diriku tidak waras. Aku yakin itu. "Ini mustahil, aku tidak gila, semua ini ilusi," ujarku berbisik dengan bersikeras untuk menetralkan degup jantungku. Badanku menegang saat merasakan tatapan yang tertuju ke arahku saat ini. Lelaki berambut cokelat—satu satunya lelaki yang tersisa di hutan ini menatap tajam ke arahku. Raut wajahnya datar, namun secara perlahan tubuhnya membungkuk dengan telapak tangan yang terulur menyentuh tanah. Aku tak tahu apa yang ia lakukan, namun melihat tindakan yang ia lakukan saat ini benar- benar membuatku tak nyaman. Aku merasa bahwa ini sudah waktunya aku untuk kembali, aku ingin cepat pulang dan mengompres keningku dengan air hangat. Aku merasa aku akan semakin gila bila bertahan lebih lama di sini. Aku melangkah mundur perlahan, menjaga jarak agar tidak memancing perhatiannya, aku memperhatikan langkahku dengan seksama, aku tak mau karena kecerobohanku aku tak sengaja menginjak ranting dan akan membuat diriku ketahuan. "Siapa disana?" teriak lelaki itu dengan lantang. Jantungku berdegup, wajahnya tampak sangat kesal, seakan menahan amarah yang akan meledak saat ini juga. Lelaki itu mengepalkan tangannya sampai jemarinya memutih—dari matanya—aku tahu ia mencoba menahan emosinya yang tersulut. Dan di sinilah aku, menunduk dan bersembunyi di balik semak belukar yang cukup tinggi, cukup mudah mengingat badanku yang kecil dan mungil. Kepalaku menunduk. Sesekali mengintip lelaki tampan tadi, berharap ia tak menemukan diriku yang amat lancang telah menguping pembicaraan mereka. "Keluar dari tempatmu, aku tahu kau disana," ujarnya dengan nada yang datar. Ia tidak berteriak, namun nada suaranya sangat dingin, menunjukkan jelas bahwa ia tidak suka dengan apa yang aku lakukan. Kukatupkan mataku rapat-rapat, hal yang selalu kulakukan bila aku merasa takut dengan apa yang terdapat di sekelilingku. Setidaknya jika aku mati, aku tak akan mati ketakutan karena melihat hal mengerikan yang terjadi padaku saat itu. Ini tidak berlebihan. Ini bagian dari caraku bertahan hidup. Bersembunyi dan menutup mataku serapat mungkin. "Aku tau kau di sana, aku bisa melihatmu sekarang. Cepat keluar!" Aku sedikit tersentak saat nada suaranya mulai naik, mataku kembali terbuka, entah bagaimana raut wajahku sekarang, aku yakin aku terlihat sangat bodoh, tapi persetan dengan hal itu, lelaki ini jelas mengetahui keberadaanku sekarang. Berlari dan kabur. Mungkin itu satu-satunya pilihan terbaik yang bisa kulakukan. "Bila kau masih berdiam di sana, aku yang akan datang mengham—" Kakiku melangkah mundur secara perlahan, lalu lekas berlari secepat mungkin, mencoba berlari semampu yang aku bisa. Aku tak peduli dengan ranting yang kubawa untuk kayu bakar, aku barlari tanpa membawa kayu yang kukumpulkan sedikitpun, aku harus pergi sejauh mungkin dan lekas kembali ke rumah. Aku tak ingin berurusan dengan lelaki itu, semua yang kulihat tadi benar-benar mengejutkan. "Ahh s**l!" rutukku kesal. Nafasku terasa sengal saat kakiku berlari semakin jauh, Aku buruk dalam olahraga, tapi aku bertahan dan tetap berlari melangkahkan kakiku sejauh yang aku bisa, langkah kakiku sangat kecil dan tak sebanding dengan lelaki yang mengejarku saat ini. Apalagi dengan caraku bernafas yang lebih terlihat seperti orang sekarat. "Kena kau manusia!" Aku terkejut dan menjerit kencang saat merasakan sesuatu mencengkram lenganku dengan erat. Mataku membulat sempurna, melihat pria berambut coklat itu menggenggam lenganku dengan kuat. Tanganku mencoba mendorong tubuhnya, tapi sia—badannya sangat keras, tangannya sangat kuat dan terasa kekar. Rontaan yang kukeluarkan seakan tak berpengaruh sedikitpun baginya. "Ma—maafkan aku, aku tidak mendengar atau mengetahui apapun! aku tak akan menceritakan tentang temanmu yang memiliki sayap kepada siapapun!" Pria itu menyeringai kejam yang lekas membuatku bergedik ngeri, badanku semakin meronta di bawah genggamannya yang semakin erat. Semua terasa sia-sia, sebanyak apapun aku meronta, ia tidak akan melepaskanku. "Apa semua manusia sangat buruk dalam berbohong?" Ia berucap dengan cemohan yang terlihat jelas di wajahnya, "Kau mengatakan kau tidak mengetahui apapun namun kau menjelaskan dengan jelas apa yang temanku lakukan, bukankah itu aneh?" Aku meneguk salivaku, aku memang benar-benar bodoh. "LE ... LEPASKAN!!" Aku berteriak, menutupi raut wajah konyolku dengan mencoba untuk terlihat lebih berani di hadapannya. Namun sialnya, suaraku bergetar, aku memang takut. Sangat takut. "Mengapa kau berteriak? aku belum melakukan apapun!" balasnya dengan gemas. Ia mendorong tubuhku ke pohon dan melingkarkan tangannya untuk mengurung tubuhku, membuat tubuhku tak dapat berkutik sedikitpun, Ia benar-benar mencegah kemungkinan diriku untuk kabur. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku, dan ini semakin membuat aku merasa terintimidasi. "Biarkan aku pergi!" Pandanganku mendongak, memandang rahangnya yang tegas dengan hidung yang mancung. Dan s**l, aroma tubuhnya benar benar menarik, rasa takut dan tertarikku seakan bergabung menjadi satu saat ini. "Apa yang kau lakukan di sini?" Nada suaranya datar, namun aku masih dapat merasakan tatapannya masih tajam. "A—aku mencari ranting pohon untuk kayu bakar," jawabku. Lelaki itu menatapku lekat-lekat, menelisik lebih dalam pada bola mataku seakan mencari kejujuran dari perkataan yang aku ucapkan. "Sungguh aku tak bermaksud mendengar pembicaraanmu, aku mohon lepaskan aku! aku akan melupakan apa yang aku lihat, aku hanya ingin pulang!" Aku mendorong tubuhnya, bermaksud kabur dari lelaki ini, namun belum sempat aku berlari—lelaki ini kembali menarik lenganku, membenturkan badanku ke sebuah pohon yang berada di belakang tubuhku. "Argh! Kau kasar sekali!" “Aku belum selesai berbicara denganmu!" desisnya tajam. "Apa yang kau mau? Aku harus pulang, aku harus menjaga adikku yang masih kecil, minta maaf. Kumohon jangan lukai aku, biarkan aku pergi!" Aku berucap dengan jujur, berusaha membendung air mataku sekuat mungkin. Aku hampir menangis saat ini. Hal yang ada di fikiranku sekarang adalah –aku akan mati di tangan lelaki asing yang baru kutemui saat ini. "Manusia memang lemah,” bisiknya setelah keheningan yang terjadi selama beberapa detik. Lelaki itu menatapku dengan tatapan yang mulai melunak. Ia membungkuk dan mengusapkan jarinya ke tanah, kemudian meletakkan dua jarinya di leherku. Aku tak tahu apa yang ia lakukan. Aku hanya dapat diam tanpa menjawab sepatah katapun. "Pulanglah, pergi dari sini sebelum aku kembali berubah fikiran. Dan jangan pernah coba memberi tahu apa yang kau lihat kepada manusia lain!" Kakiku melangkah mundur dengan ragu. Meliriknya sesekali dengan ujung mataku, sebelum berbalik dan lari meninggalkan lelaki itu dengan cepat. Aku bersumpah tak akan kembali ken hutan lagi. Aku tak ingin pergi ke sana sendirian, dan aku tak mau bertemu dengan lelaki itu lagi. Oh Tuhan, aku bahkan tak tahu apa yang kulihat sebelumnya nyata atau tidak. Semua ini hanya halusinasi. Semuanya hanya halusinasi. Tuhan. Ini gila. ~¤~ Bila aku dapat berkata jujur mengenai kejadian teraneh yang menimpa hidupku delapan belas tahun ini—aku tak akan pernah melupakan semua yang kualami dalam hutan tadi. Mengenai seorang lelaki yang mengeluarkan sayap dari belakang punggungnya, seorang lelaki yang terbang, dan diriku yang hampir berakhir mengenaskan karena tertangkap basah tengah menguping perbincangan mereka. Dan di sinilah aku sekarang, duduk meringkuk di atas kursi ruang tamuku dengan menetralkan deru nafasku yang masih memburu. Aku tak pernah berlari sejauh ini sebelumnya—namun karena rasa takut menguasai diriku. Aku berlari cepat dari hutan hingga ke rumahku. "Kakak, kau baik baik saja? Kau terlihat kelelahan" Aku tersentak saat Mike berucap padaku dari belakang, dari nada suaranya—terdengar jelas bahwa ia bingung. "Tidak ... tidak apa apa," balasku dengan meneguk salivaku gugup. "Dan maaf aku tidak sempat mengambil ranting pohon untuk kayu bakar tadi, kita tidak bisa membuat kayu bakar untuk hari ini" "Tidak apa-apa, aku bisa memakai selimut tebal. Tadi aku membuat sup kentang, kau mau?" tanya Mike yang kujawab dengan anggukan kepalaku. Mike berlalu ke dapur, meninggalkan diriku di tempat ini seorang diri. Aku mencoba mengatur nafasku dengan memejamkan mataku beberapa saat, nafasku masih terasa sengal karena aku berlari cepat dari hutan tadi. Aku beranjak dari dudukku dan berjalan perlahan melihat kaca, mataku menyipit saat menemukan bentuk daun berwarna coklat di leherku. Aku tak tahu apa ini, aku baru melihatnya. Tangaku bergerak perlahan menghilangkan ukiran tersebut dengan jemariku, namun sia-sia, ukiran ini seperti sebuah tatto yang tak dapat dihilangkan. Apa yang dilakukan pria itu? Dia hanya menyentuh leherku sedikit tapi bekasnya tidak bisa hilang. aneh. "Silahkan!" Aku menoleh kearah Mike yang kembali muncul sengan membawa semangkok sup dan segelas air, ia meletakkannya di atas meja. "Terimakasih, kau sudah makan?" tanyaku memastikan sebelum berlekas menghabiskan supku. Aku tak akan makan sebelum adikku maka terlebih dahulu. "Sudah," jawab Mike. Aku mulai memakan supku dengan lahap, walau isinya benar-benar hanya kentang, tak ada tambahan daging ataupun sayur di dalamnya. Tapi sup cukup lezat bagiku, setidaknya sup ini akan membuat perutku berhenti bergemuruh. "Bagaimana sekolahmu hari ini?" "Seperti biasa, kami dipulangkan lebih awal ketika awan mulai gelap," jawab Mike tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi. Aku menyelesaikan makanku dan membersihkan wajahku dengan tisu di meja makan, lalu menaruh wadah yang telah kupakai makan ke atas westafle dan lekas mencucinya. Aku tak akan memikirkan tentang semua hal yang kulihat di hutan tadi sore. Aku hanya bertingkah seolah semua itu tak pernah terjadi dalam hidupku. "Tadi kak Liam datang kesini, ia menanyakan catatannya yang kau pinjam. Kau lupa mengembalikannya, ya?" Aku menatap Mike tanpa berkedip. Aku ingat aku meminjam catatan lelaki itu beberapa hari yang lalu. Dan aku lupa mengembalikannya. Aku beranjak ke ruang tengah dan lekas mengambil jacket abu-abu yang biasa kukenakan. Kemudian bergegas menuju pintu utama untuk pergi ke rumah Liam. Bila boleh jujur aku lelah, kakiku terasa sedikit sakit karena berlari terlalu jauh tadi. Dan aku masih sedikit takut, bayangan apa yang kulihat dihutan tadi masih berputar dengan jelas dikepalaku, sekalipun aku bertingkah seakan itu semua telah berakhir. Namun aku masih merasa benar benar syok. "Kau mau kemana?" tanya Mike. "Kerumah Liam, mengembalikan catatannya," ucapku. "Baiklah, Hati-hati" "Aku tak akan lama" balasku cepat lalu berlalu pergi setelah menutup pintunya. Aku berjalan menuju rumah Liam, harusnya aku mengembalikannya tadi siang saat kami di sekolah, tapi sialnya penyakit pikunku kambuh. Aku mempersulit diriku dengan kecerobohanku sendiri. Kakiku masih terus melangkah, sebentar lagi aku akan sampai dirumahnya. Setelah itu aku akan kembali pulang dan istirahat. Aku benar-benar butuh tidur dan istirahat sekarang. Mataku menyipit saat pandanganku terjatuh pada seorang wanita yang bediri cukup jauh dariku. Ia mengenakan gaun putih yang menutup hingga lututnya, rambut putihnya terlihat mencolok dari sini, aku merasa aneh, aku memang tak bisa melihatnya denmgan jelas, namun aku dapat merasakan pandangan wajahnya yang terjatuh padaku sekarang. Mengapa ia memandangku seperti itu? Entah apa yang terjadi denganku, yang jelas kepalaku terasa pening. Badanku terasa semakin lemas dan kakiku terasa kaku, aku mencoba membuka mulutku, namun tak ada yang bisa kukeluarkan dari sana. Hingga perlahan semua berputar—mataku terasa berat—tak ada yang bisa kulihat selain kegelapan. . . . 》》》》 To be continue《《《《 . a/n : Bagaimana chapter kedua ini? Jangan lupa comment, dan add love untuk memasukkan cerita ini ke reading list kalian. Thank u!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD