"Berapa lama seorang manusia biasanya tidur?"
Alisku berkerut saat sebuah suara menyadarkanku dari alam bawah sadarku, mataku mengerjap bersamaan dengan ringisan yang berhasil meluncur dari bibirku, kelopak mataku terbuka, mengabaikan rasa pusing yang masih kurasakan saat ini. Suara itu bukan suara Mike ataupun suara Liam, namun kurasa aku pernah mendengar suara ini sebelumnya.
Aku mencoba menyesuaikan pandanganku dari cahaya yang menerobos untuk masuk dari celah jendela, mencoba memperjelas penglihatanku saat ini.
Rumah ini benar-benar indah.
Pada dasar dindingnya, aku dapat melihat beberapa tanaman hias yang tumbuh menjalar, dengan pot-pot bunga yang terlihat menggantung dari atas. Tak ada lampu yang menjadi penerangan di tempat ini, aku hanya melihat dua buah lentera yang menempel di sudut ruangan.
Aku merasa sedikit kejanggalan,
Ini bukan rumahku, ‘kan?
"Kau baru sadar ini bukan rumahmu?"
Aku menoleh ke samping, memandang seorang lelaki yang kini duduk di kursi kayu dengan salah satu kaki yang bertopang pada kaki lainnya. Raut wajahnya datar, dengan sorot mata yang dingin—mengintimidasi.
Kedamaian yang kurasakan saat pertama kali aku membuka mataku hilang. Ia lelaki itu. Lelaki kejam yang menangkapku di hutan siang itu.
"Kau?" tandasku. Mencoba untuk menemukan suaraku, "Kenapa aku di sini? Apa lagi yang kau lakukan padaku?"
"Mengapa pertanyaanmu banyak sekali?" sahutnya dengan dahi yang berkerut. "Bila tau seperti ini kau lebih baik tidur"
Aku merutuk dalam hati, perkataannya menyebalkan sekali.
"Apa yang kau lakukan padaku? mengapa aku berada di sini?"
Aku beranjak bangkit dari tempat tidur walau keseimbanganku belum kembali seutuhnya, mataku memutar bermaksud mencari jalan keluar dari rumah ini. Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku, namun berada di tempat ini bersama dirinya tentu merupakan hal yang buruk. Aku masih ingat semua tentang lelaki ini dan teman-temannya, ia menakutkan.
"Duduklah, tenangkan dirimu. Kau seharusnya berterimakasih karena aku menolongmu," ujarnya kesal dengan kedua tangan yang bersidekap—menunjukkan ia tak menyukai reaksiku saat ini.
"Bisa kau katakan sekarang apa yang terjadi padaku?" tanyaku sekali lagi.
Ini sedikit menyeramkan, aku tak tahu apa yang terjadi padaku dan kini aku terbangun di rumah seseorang yang sampai saat ini—masih kuyakini bukan orang yang baik. Aku masih percaya ada cita-cita besar dalam dirinya untuk membunuhku.
"Kau mencoba bertingkah seakaan kau tidak mengerti atau kau betul—" Perkataan pria ini terpotong ketika seorang wanita berambut biru laut muncul dari balik pintu, sorot matanya menunjukkan bahwa ia terlihat sangat lelah, namun raut wajahnya berubah drastis saat pandangan matanya terjatuh padaku.
Apa? Apa aku aneh?
"Demi tuhan ... " Wanita ini menatapku dengan mata yang membulat, ia diam tanpa merubah posisinya sedikitpun, seakan masih belum bisa mempercayai apa yang ia lihat saat ini. "Siapa dia Lean? Dia—manusia?"
Manusia.
Manusia.
Manusia.
Mengapa aku merasa asing di planetku sendiri? Aku terganggu dengan kata 'Manusia' yang mereka ucapkan. Berada di antara mereka membuatmu merasa bahwa menjadi Manusia adalah suatu hal yang aneh.
"Seperti yang kau lihat." Lelaki yang kini kuketahui bernama Lean—membuka suara, "Gadis ini menguping pembicaraan kita dan ... "
"Kau menyekapnya?" sela wanita tersebut histeris.
"Oh tuhan, mengapa wanita selalu bersikap dramatis?" Lean berdecak dengan kesal, ternyata sikap menyebalkannya berlaku untuk semua makhluk, bukan pada diriku saja.
Aku masih memandang mereka secara bergantian. Aku tak tahu mereka siapa, aku tak tahu mengapa aku bersama mereka dan aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Bila ada satu pihak yang pantas merasa kacau di sini—jelas hanya diriku.
"Bisakah kalian jelaskan padaku apa yang sebenarnya ter—”
"Diam,” sela Lean dingin—memotong perkataan yang ingin kuucapkan. "Aku tidak memintamu berbicara"
Ia beralih dan beranjak bangkit dari kursinya, memandang gadis berambut biru—yang kini belum bergerak dari tempatnya. Gadis berambut biru itu masih diam, matanya memandangku, meneliti penampilanku saat ini.
"Aku ingin kau mendengar penjelasanku Waren. Gadis ini mendengar pembicaraan kita secara diam-diam, aku memberinya perisai untuk memastikan bahwa ia tidak akan membicarakan semua yang ia lihat pada manusia lain, aku tak bisa mempertaruhkan keamanan kita di tempat ini"
Lean mengambil jeda. Pandangannya kembali terjatuh padaku.
"Ketika perisai itu bereaksi, aku mencarinya dan menemukannya tak sadar di sisi jalan, lalu aku membawanya ke sini—apa sekarang jelas?"
Lean kembali duduk setelah ia menjelaskan semuanya, salah satu kakinya bersilang, tubuhnya bersandar nyaman pada kursi di belakangnya. Lagi—ia menjatuhkan pandangan matanya padaku.
"Apa yang terjadi denganmu?" tanyanya.
Aku meneguk salivaku, mencoba mengingat apa yang terjadi padaku sebelumnya. Yang kuingat saat itu, aku ingin mengembalikan buku yang kupinjam dari Liam.
"Aku pergi keluar, kemudian aku bertemu seorang wanita—"
"Apa ia memiliki warna rambut putih?"
Aku menatapnya, raut wajahnya benar-benar serius.
"Ya, ia mengenakan pakaian aneh seperti kal—"
"Alexa.” Lagi, lelaki ini memotong perkataanku, namun kali ini raut wajahnya lebih serius—bahkan ia terlihat marah sekarang. "Gadis s****n"
Mataku membulat saat mendengar umpatannya. Lean tampak sangat kesal. Sama seperti pertama kali aku melihatnya di hutan. Pandangannya tajam dan berapi, seakan bisa membunuh siapa saja yang menatap matanya saat ini. Aku tak tahu seseorang dapat terlihat menakutkan hanya dari sorot mata yang ia tunjukkan.
"Lean, kau membuat manusia ini takut"
Waren menyenggol tanggan Lean, namun lelaki itu mengabaikan. Lean berjalan menuju pintu, melangkah keluar meninggalkan aku dengan gadis yang ia sebut dengan 'Waren'. Aku tak mengerti apa yang terjadi, aku tak mengetahui apapun dan satu satunya hal yang ingin kulakukan adalah kembali ke rumah.
"Dia memang sedikit emosional ... maaf bila semua ini membuatmu takut"
Wanita itu—yang kuketahui bernama Waren meraih—tempat di sisi ranjang. Jemari tangannya terangkat, memberikan usapan yang lembut pada jemariku. Aku masih diam, mencoba bersikap tenang sekalipun aku tahu banyak sekali pertanyaan yang berputar di kepalaku saat ini.
"Siapa namamu?" Ia kembali berucap dengan lembut, suaranya terdengar sangat lembut dan lemah. Dengan tutur kata yang amat halus. Sifat dan tingkah lakunya sangat berbeda dengan Lean. Walau pada dasarnya aku masih tak mengerti siapa sosok yang ada di hadapanku saat ini.
"Rose," ujarku dengan mengabaikan beberapa hal yang berputar dikepalaku. "Namaku Rose"
~¤~
Waren mengantarku tepat setelah perdebatan dramatis yang terjadi antara ia dan Lean, sebenarnya wanita berambut biru ini menolak, mengingat langit mulai gelap, namun aku tak mungkin tetap berada di sana. Aku masih merasa asing dengan mereka semua.
Aku mengatakan aku tak bisa pergi karena aku meninggalkan adikku sendiri di rumah. Namun alasan lain—yang menjadi alasan utama—adalah karena aku masih tak bisa mempercayai mereka begitu saja.
Kami terus melangkah keluar dari hutan, sesekali aku merapatkan jaketku karena dingin, aku bingung melihat Waren. Ia tampak santai dengan gaun biru tanpa lengan. Apa ia tak merasa dingin sedikitpun?
"Kau kedinginan?"
Waren melirikku tanpa menghentikan langkah kakinya, aku mengamati langkah kakinya, ia tak memakai alas kaki apapun. Namun aku berani bertaruh kakinya tetap terlihat jauh lebih indah dari kakiku.
"Sedikit ." Aku berucap singkat membalas perkataannya, "Bila boleh aku bertanya ... aku pernah melihat seorang lelaki yang bersama kalian, rambutnya perak dan—"
"Namanya Ares, ia satu-satunya yang memiliki sayap. Kau menyukainya?"
Aku mendelik dengan menggeleng mantap, aku hanya penasaran dengan mereka semua. Tepatnya, mengenai sayap di punggungnya.
"Tidak. Aku saja tidak mengenalnya, mana mungkin aku menyukainya," ujarku dengan menatap wanita di sampingku. "Aku melihat dia mempunyai sayap"
"Ya, Ares memilki sayap. Indah bukan?"
Aku mengangguk. Sayapnya memang indah, sangat indah, terlihat lembut dan sangat halus. Tapi caranya berucap seakan ‘sayap’ adalah suatu hal yang tak asing di tempatku membuatku semakin bingung. Aku penasaran dengan siapa mereka sebenarnya.
Keheningan kembali tercipta sekarang, hanya suara binatang liar yang mengisi kekosongan malam di hutan saat ini. Langkah kami terus berjalan seiring dengan semak belukar yang semakin berkurang.
"Aku sudah melihat tentang kalian, dan aku—aku mengerti betul kalian bukan manusia, Sebenarnya— "
Perkataanku kembali terpotong setelah melihat seorang anak lelaki berlari kencang ke arahku dan menghambur dalam pelukanku. Ia mendekapku dengan erat. Ia Mike, adikku.
"Kakak! Kau dari mana saja?"
Aku menegang, apa yang ada difikirannya hingga menyusulku ke dalam hutan?'
"Mike ," ujarku dengan membalas dekapannya pada tubuhku. "Apa yang kau lakukan di sini ?"
"Aku mencarimu, aku ke rumah Liam dan kau tidak ada, apa yang kau lakukan di sini?" tuntutnya meminta penjelasan.
Mike menatap ke arahku dan Waren secara bergantian—tentunya dengan dahi yang berkerut, penampilan Waren sedikit aneh, lagi pula selama ini hanya Liam temanku yang ia ketahui. Aku tak pernah menunjukkan aku memiliki teman lain.
"Aku hanya … bertemu temanku sebentar—sudahlah, ayo kita pulang!"
"Rose tunggu sebentar!"
Tanganku diraih cepat oleh Waren, wanita ini menarikku mendekat—mendekatkan wajahnya pada kupingku. "Apapun yang lihat hari ini, rahasiakan dengan baik. Aku akan memberi tahu semua yang ingin kau ketahui dilain waktu"
Aku mengangguk. Tanpa ia memintapun, aku tak akan membicarakan hal ini pada orang lain, orang akan berfikir aku gila bila aku menceritakan semua yang kulihat. Tak akan ada yang mempercayai perkataanku.
"Sampai jumpa Rose!" teriak Waren. Ia melambaikan tangan padaku, "Kau bisa datang kapanpun kau mau!
Aku melanjutkan langkah kakiku. Aku tak ingin masuk dan mengetahui lebih dalam tentang kehidupan mereka, namun aku tak dapat membohongi kata hatiku. Aku penasaran dengan mereka semua.
.
.
.
》》》》 To be continue《《《《