Part 1 : It's begin

1402 Words
Kakiku melangkah gontai menyusuri jalanan kota yang tampak sepi, melangkah di atas dedaunan pohon yang berguguran dan mulai memenuhi sisi trotoar. Pandanganku sesekali mengadah, menatap murungnya langit yang akan menangis dan membanjiri kota sebentar lagi, tak ada sinar matahari yang terlihat, langit benar-benar gelap dan suhu udara terasa dingin saat ini. Biasanya, daun berguguran saat musim semi tiba, suhu udara menurun drastis saat musim dingin yang datang, namun di kota ini, kondisi musim tak dapat dipastikan dengan baik. Tak ada yang percaya pada lembaga pemerintah yang biasa memberi peringatan tentang kondisi cuaca. Aku mulai meragukan kinerja mereka ketika aku mulai merasakan tubuhku menggigil di malam hari, dan tiba-tiba merasakan suhu udara yang terasa panas di pagi harinya. Pandanganku teralih pada rumah-rumah di sekelilingku, halaman yang dahulu dipenuhi bunga yang bermekaran kini dibiarkan tak terawat begitu saja, beberapa rumah tampak kosong tanpa penghuni. Mereka yang memiliki uang mungkin akan memilih untuk pergi dan tinggal pada kota dengan pemukiman yang lebih layak, namun bagi kami yang tidak memiliki banyak uang, harus membiasakan diri untuk bertahan dengan segala keterbatasan yang ada. Tempat ini sangat jauh dari kata layak, Kau tak akan sempat berfikir untuk mengikuti perubahan dunia atau sekedar bermimpi untuk menjadi apa yang kau cita-citakan sejak kecil, yang dapat kau lakukan adalah berfikir bagaimana kau bisa bertahan untuk hari ini, sehingga kau masih dapat bernafas di esok hari Pembangunan dan pemulihan yang dilakukan pemerintah belum berlangsung dengan sempurna. Atau mungkin, mereka masih sibuk dengan berbagai hipotesis dan perdebatan yang sama sekali tak membantu. Aku tak mengerti, yang aku tahu tak ada sedikit pun hal yang membaik saat ini. Rambut cokelatku bergoyang seiring dengan semilir angin yang menghembus, netraku menatap lelah dengan keadaan sekitarku, mungkin bukan hanya aku, tapi seluruh penduduk yang merasakan hal menyebalkan seperti ini. Penduduk yang tak dapat melawan semua perubahan yang terjadi. Kubenarkan letak ranselku di pundak untuk meringankan beban bawaanku, para pelajar bahkan sudah tak mendapatkan sebuah bus penjemput atau pun pengantar dari sekolah, walau itu bukan masalah bagiku. Namun masalah bagi kumpulan wanita cantik di sekolah yang tak ingin lelah karena berjalan. Mereka lebih memilih menumpang menaiki truk pemerintah, walau aku tau para supir itu meminta imbalan yang lumayan besar untuk ukuran kantong seorang pelajar. "Rose, Tunggu aku!" Telingaku menangkap sebuah panggilan dan langkah kaki yang mendekat, aku mendesah pelan, tanpa harus berbalik aku sudah tahu siapa sosok yang memanggilku dari kejauhan. Aku sangat mengenal suaranya. Liam. Teman sekolahku. "Kufikir kau pulang terlebih dahulu. Aku tak melihatmu sedari tadi," ucapku saat menatapnya yang kini berjalan tepat di sampingku. Dari sini, dapat terlihat jelas bahwa tinggiku hanya sebatas bahunya. Liam memiliki postur tubuh yang tinggi, dengan rambut cokelat terang yang sedikit ikal pada bagian ujungnya. "Aku justru berfikir dirimu yang tidak masuk hari ini, bila kita tak bertemu di sini—aku pasti sudah datang ke rumahmu Rose" Aku tersenyum kaku tanpa menghentikan langkah kakiku, Aku ingat—saat jam istirahat tadi aku tidak meninggalkan kelas sedikitpun. Aku memilih untuk diam di kelas dan tidak beranjak ke luar. Aku bosan dengan menu makan siang yang disediakan di sekolah tadi. "Kau tak pernah terlihat bersemangat, apa harimu selalu menyebalkan seperti ini?" Aku mendengus kecil saat merasakan tepukkan ringan pada bahu kananku. Aku menatap Liam dengan mata menyipit, sejujurnya aku heran, mengapa ia selalu terlihat ringan tanpa beban? Maksudku, aku tak pernah melihatnya murung atau resah dengan semua yang terjadi di sekeliling kami. Liam melangkah tepat di sampingku, netraku menatapnya dengan sengit. Bukan salahku bila aku terlihat murung. Sebelum semua ini terjadi, hidupku terasa menyenangkan, aku masih bisa tersenyum tanpa beban seperti biasanya. Namun situasi ini semakin buruk, kebahagiaanku seakan menghilang saat anggota keluargaku berkurang satu demi satu. "Rose Julian Keneth, aku berbicara denganmu," tegur Liam, menyadarkanku dari lamunanku. "Apa kau berfikir hariku akan menjadi lebih baik? Aku berangkat sekolah di pagi hari, kemudian belajar selama 6 jam—sekalipun aku tak tahu itu berguna untukku atau tidak, dan kembali ke rumah lalu tidur. Bagian terburuknya, aku harus mengulangi hal itu hampir setiap hari. Itu benar- benar membosankan Liam," keluhku. Membuatnya tertawa kecil dengan menggelengkan kepalanya. Aku memalingkan pandanganku darinya, memandang pada sebuah rumah bercat putih yang kini tampak sepi tanpa seorang penghuni satupun. Aku tahu, itu rumah keluarga Ellen. Kemarin, aku masih melihat mereka berada di sana, tapi rumah itu kini terlihat sepi—bahkan beberapa pot bunga dan kursi terlihat jatuh tak beraturan. Ada apa dengan keluarga Ellen? "Ellen dan keluarganya pindah ke Chicago, bila itu yang sedari tadi kau fikirkan,” ujar Liam, menyadari apa yang sedari tadi kufikirkan. "Secepat itu?" Aku berucap miris, "Hanya tersisa rumahku dan paman Daniel di block ini, kurasa lelaki itu juga akan pindah dari tempat ini" "Setidaknya kau masih bisa bertemu denganku setiap hari, ‘kan? Apa yang lebih membahagiakan dari hal itu?" candanya. "Seriously? Hanya itu bagian terbaiknya?" Aku mendengus dengan memutar bola mataku, sementara ia tertawa kecil. Dapat kulihat, ia menjalani semuanya tanpa beban. Aku menghembuskan nafasku, membuat kumpulan asap yang keluar dari mulutku mengepul di udara. Bila sudah seperti ini, aku dapat menebak bahwa nanti malam suhu udara akan menurun lagi. Malam nanti pasti sangat dingin. "Tunggu, ada sebuah perubahan yang terjadi padamu hari ini." Aku berhenti melangkah, memandang dengan serius pada Liam yang berucap di sampingku, "Kau tampak semakin cantik hari ini, tidak maksudku—semakin cantik hari demi hari, itu perubahannya!" Aku memutar bola mataku dengan jengah, ia selalu melakukan ini untuk membuatku tersenyum. Ini bukan caranya menggoda seorang perempuan, ia hanya mencoba membuat hariku terasa lebih baik. "Berhenti bertingkah i***t Liam," ujarku jengkel. "Lihat, setidaknya kau tersenyum Rose!" Lidahku mendecak, mengabaikan tingkah aneh yang ia lakukan sebelumnya. Kami melanjutkan perjalanan kami dengan sesekali mengobrol ringan. Angin berhembus kencang, menggoyangkan pepohonan di pinggir jalan, membuat beberapa daun kembali jatuh berguguran. Keadaan bumi memang semakin mengkhawatirkan, iklimnya sangat mudah berubah, cuaca buruk, dan populasi penduduk bumi berkurang separuhnya. Bahkan karena hal itu, aku dan adikku kehilangan kedua orang tuaku. Ibu dan ayahku tak bisa bertahan saat musim dingin tiba, suhu saat it menurun drastis dan orang tuaku mengalami hipotermia. Di umurku yang baru menginjak 18 tahun, aku harus hidup berdua dengan adik lelakiku yang masih berusia 13 tahun. Aku tak punya pilihan untuk menangis atau mengeluh. Satu-satunya hal yang masih dapat menjadi sumber kehidupanku dan adikku adalah uang bantuan dari pemerintah—walau kuakui uang itu tak akan cukup. Kadang Liam mengantar beberapa kebutuhan makanan bila persediaan makan kami sudah habis. "Rose? Kau melamun lagi" Aku tersentak dari lamunanku, kemudian menoleh memandang Liam yang kini tengah menatapku dengan lekat. "Ada apa? Apa yang kau fikirkan?" tanyanya. "Aku baik-baik saja, hanya berfikir tentang beberapa hal. Tak masalah" "Kau akan mencari kayu bakar lagi?" Aku menoleh memandangnya, kemudian mengangguk. "Persedian kayu di rumahku menipis. Dan kurasa nanti malam akan sangat dingin, lebih baik aku mempersiapkannya dari sekarang," ujarku dengan mengusap kedua bahuku. "Perlu aku temani?" Aku menggeleng, memberi isyarat bahwa aku tidak perlu ditemani olehnya. Aku biasa melakukan ini sendiri. Aku tak mau terus menerus bergantung pada Liam dan keluarganya. Sekalipun aku tahu bahwa aku butuh, namun hidup dengan ketergantungan merupakan hal yang aku hindari. "Kalau begitu aku duluan, mungkin besok aku akan datang berkunjung ke rumahmu dan Mike. Jaga dirimu Rose!" Aku mengangguk, kemudian berlalu memasuki hutan, bermaksud mengambil beberapa ranting untuk membuat kayu bakar di rumah nanti, Beruntungnya—kami masih memiliki perapian di rumah kami, walau hanya sebuah tungku tua yang menjadi satu-satunya penghangat yang di rumah. Penghangat ruangan di rumahku sudah tidak bekerja dengan baik, dan aku juga belum memiliki cukup uang untuk membelinya. Mungkin bila ada sekalipun, uang itu akan kupakai untuk memenuhi kebutuhan harianku dan Mike. Kakiku melangkah memasuki hutan semakin dalam, secara perlahan rerumputan kecil yang sebelumnya kupijak mulai berganti dengan semak belukar liar yang tumbuh di hutan ini. Jemariku terulur untuk mengambil satu persatu ranting yang kurasa mudah untuk kubawa. Aku tak berharap dapat membawa kayu bakar yang banyak hari ini, aku hanya berharap kayu bakar yang kubawa ke rumah nanti dapat sedikit menghangatkan suhu tubuhku dan adikku. Tapi aku jauh lebih berharap bila semua ini dapat berakhir, tak ada lagi suhu ekstrem, tak ada lagi perubahan cuaca yang dastris dan tak ada lagi bencana alam yang terjadi tanpa adanya pertanda apapun. Aku hanya ingin semua ini berakhir. . . . 》》》》 To be continue《《《《 a/n: jangan lupa tap love!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD