Part 4 : Calux

1909 Words
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandanganku dengan cahaya yang menerobos masuk menyinari ruangan ini.  Kepalaku menoleh—melihat pada sebuah jam wecker kecil di samping meja tidurku. Pukul 6 pagi. Waktunya bangun, membuat sarapan dan berangkat ke sebuah tempat 'p********n' yang orang-orang kenal dengan nama sekolah. Persetan dengan sekolah, Aku heran  bagaimana bisa aku belajar dengan tenang di tengah situasi yang kacau seperti ini, aku bahkan tak mengerti untuk apa aku bersekolah, karena pada akhirnya aku mungkin hanya akan menghabiskan sisa hidupku dengan berkebun atau bekerja di kedai makanan kecil yang tersisa di sudut kota. Aku tak bermaksud pesimis, aku hanya mencoba lebih realistis dengan kondisi yang terjadi saat ini. Kulangkahkan kakiku untuk beranjak dari ranjang dan bergegas mengambil handuk di sandaran kamar mandi, kunyalakan shower dan mulai menuangkan shampo di telapak tanganku, mengusapkannya pada rambut coklatku. Pikiranku kembali melayang mengingat beberapa kejadian aneh yang kualami kemarin. Tertangkap basah menguping pembicaraan makhluk—aku tak tahu aku harus memanggil mereka dengan sebutan apa—bertemu dengan seorang wanita aneh, pinsan di sudut jalan, dan kembali bertemu dengan lelaki yang menangkapku sebelumnya. Satu hari kemarin benar-benar gila. Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar mandi kemudian mengeringkan rambutku dengan lembut, aku beranjak ke lemari—memakai sebuah kaus dan celana jeans panjang—kemudian mengikat rambutku dengan rapih. Tidak terlalu buruk. "Wake up sleepy head, kau harus sekolah sekarang,” ujarku saat menatap Mike yang masih tenggelam dalam bunga tidurnya.  "5 menit lagi" Ia bergumam kecil tanpa membuka kelopak matanya sedikitpun. Bocah kecil ini justru menggambil sebuah bantal—lalu menutupi kepalanya dan kembali tidur. Ia benar benar sulit dibangunkan di pagi hari. "Aku akan segera berangkat, ada roti tawar untuk sarapan pagi ini. Cepat bangun!" Tanganku terangkat dan menarik paksa bantal yang ia pakai untuk menutupi kepalanya, kemudian menarik tirai gorden pada jendela rumah kami. Ia akan bangun jika sudah begini, sinar matahari membuatnya tak nyaman untuk tertidur. Aku berlalu ke arah meja makan, meraih rotiku kemudian memakannya dengan cepat. Aku mendongak menatap Mike yang berjalan dengan alis yang berkerut, matanya masih setengah terpejam, aku tak yakin nyawanya sudah benar benar terkumpul. "Akhirnya kau bangun juga," ucapku sambil mengendus. "Ini rotimu cepat sarapan, kau bisa kesiangan" Aku meraih ranselku setelah menelan habis rotiku,  "Aku akan berangkat, habiskan sarapanmu dan kunci pintu saat kau akan pergi" Kakiku melangkah keluar dari rumah, berjalan membawa ranselku dengan mempercepat langkah kakiku, bukan karena aku takut terlambat, namun aku sedikit takut dengan kejadian yang terjadi kemarin. Aku telah mencoba untuk melupakan apa yang menimpaku dan bertingkah seakan semuanya baik-baik saja, namun jauh dilubuk hatiku aku merasa sedikit takut—sekaligus penasaran dengan semua yang terjadi. Waren yang terus-menerus menyebutku dengan sebutan 'manusia', Lean dengan emosi nya yang meledak-ledak, juga lelaki berambut perak yang mengeluarkan sayap di belakang punggungnya. Ah, jangan lupakan wanita berambut putih yang mereka sebut dengan nama—Alexis? Alexa? Aku lupa. Yang pasti aku benar-benar penasaran dengan mereka semua.  Srak. Aku mempertajam pendengaranku saat mendengar sebuah langkah kaki yang berjalan beberapa langkah di belakangku. Aku tak menoleh, hanya mempercepat langkah kakiku sebelumnya. Aku tak bisa membohongi perasaanku, jujur aku merasa sedikit khawatir. “Demi tuhan, kenapa kau lari?" "Liam?" Aku terpekik kaget dengan memukul lengannya kecil. Kini aku merasa bodoh, aku berlari dari Liam, temanku sendiri.  "Mengapa kau mengikutiku diam-diam?" "Kau yang lari Rose, aku mendekatimu tapi kau semakin jauh" Liam terlihat acuh sambil mengangkat kedua bahunya.  Ini memang bukan salahnya, aku terlalu takut untuk menoleh ke belakang dan memastikan siapa yang berada di belakang tubuhku. "Kemarin Mike ke rumahku mencarimu, kau pergi kemana Rose?" "Aku ada urusan di tempat lain. Ah—aku lupa mengembalikan catatanmu. Maafkan aku, apa kau membutuhkannya sekarang?" "Tak masalah dengan catatanku. Aku bisa mengambilnya nanti ... " Ia berdehem kecil. “Kau benar baik-baik saja?" “Aku baik baik saja. Lihat tak ada yang terjadi pada diriku" Aku tak mungkin berkata sejujurnya pada Liam. Kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu benar-benar sesuatu yang sulit diterima akal sehat. Liam memang seperti saudaraku sendiri, tapi manusia mana yang mau percaya bahwa ada makhluk aneh yang punya sayap dan bisa terbang? Gila. "Besok sekolah libur, aku akan datang ke tokomu, aku ingin membantu—tak masalah, ‘kan?" Aku melirik Liam di sampingku, ia menggeleng. "Tak perlu, kau bisa beristirahat besok. Lagi pula ada adikku yang menemaniku menjaga toko" "Liam aku serius ... kau sudah banyak membantuku, kau sering membawakan makanan ke rumahku. Dan aku tidak ingin bergantung padamu, anggaplah aku membantumu di toko  sebagai bentuk balas budiku, bagaimana?" "Baiklah, terserahmu. Tapi kau tak perlu datang bila merasa lelah” Aku mengangguk mendengar penuturannya. Setidaknya aku bisa membalas perlakuannya dengan ini.                                                                                     ~¤~ Aku berjalan memasuki hutan setelah meninggalkan pesan pada Mike di rumah, Aku tak tahu apa yang kulakukan saat ini benar atau tidak, aku kembali menuju rumah kecil di tengah hutan itu—mengabaikan fakta bahwa aku masih belum mengetahui siapa sebenarnya mereka semua. Logikaku mengatakan untuk lekas kembali dan melupakan semua yang terjadi padaku beberapa waktu lalu, namun egoku mengatakan bahwa aku harus datang ke sana, aku harus memenuhi rasa ingin tahuku, Waren mengatakan aku bisa datang kapanpun aku mau, ‘kan? Kakiku berhenti melangkah saat aku melihat sebuah rumah yang tak jauh dari tempatku berada saat ini, aku terdiam beberapa saat.  Menimbang apa aku harus masuk atau tidak—sesaat aku merasa sangat yakin, namun sedetik kemudian aku ragu dengan keputusanku sendiri.    Aku menyandarkan tubuhku pada sebuah pohon, menggigit bibirku mencoba untuk mengambil keputusan terbaik saat ini. Aku ingin menceritakannya pada Waren, tapi bagaimana bila yang kutemui justru Lean? "Mau sampai kapan kau duduk di situ?" Aku menoleh dan hampir menjerit saat menatap Lean yang muncul di samping tubuhku.  Matanya yang berwarna cokelat terlihat bersinar di bawah sinar matahari. Aku menggeleng, menyadari bahwa aku baru saja mengagumi sorot matanya beberapa detik lalu.   "Mataku memang indah, akui saja"   Ia tersenyum miring dengan melipat kedua tangan di depan d**a. Aku mendelik, mengapa ia bisa tahu apa yang aku fikirkan? "Kau terlalu percaya diri, sejak kapan kau di sana?" "Sejak kau bingung kau ingin datang ke rumah itu apa tidak,” ujarnya acuh, berjalan meninggalkanku yang masih terdiam di tempatku. Aku menatap punggungnya yang berjalan menjauh. "Apa kau baru saja membaca pikiranku?"  Aku berlari mengejar Lean, sebenarnya Lelaki itu tidak berlari—Ia berjalan cepat—namun karena langkah kakiku yang kecil aku harus sedikit berlari untuk menyamai langkah kakinya. Aku menggerutu kesal saat ia tak juga berhenti. Ia justru terus berjalan semakin cepat, seakan mengabaikan eksistensiku di belakang tubuhnya. "LEAN BERHENTI!" Kaki lelaki itu berhenti melangkah, membuat diriku turut menghentikan langkah kakiku. Ia diam—kemudian memutar tubuhnya—berhadapan dengan tubuhku. Matanya memandangku datar, dengan salah satu alis yang naik ke atas. "Keberanian apa yang kau milikki untuk membentakku seperti itu?"  Aku mendongak menatapnya, ia lebih tinggi dariku. Dan aku kembali merasa terintimidasi sekarang. "Aku ingin berbicara, tapi kau justru terus berjalan" Lean berlalu masuk ke dalam rumah—aku mengikutinya. Duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengannya. s**l, aku merasa menyesal datang ke sini, kufikir yang kutemui Waren. Lelaki itu duduk dengan menyandarkan punggungnya di kursi, tangannya yang seputih porselin mengusap dagunya dengan pandangan mata yang terjatuh padaku. Aku memperhatikan apa yang ia lakukan, aku harus mengakui netra cokelatnya dapat terlihat indah sekaligus mengintimidasi disaat yang bersamaan. Bibirnya sedikit memerah, sangat kontras dengan kulitnya yang terlihat putih. Mungkin bila ia datang bersekolah di sekolahku, akan ada sekelompok wanita fanatik yang membentuk kelompok menjadi penggemarnya. “Berkedip,” ujarnya membuyarkan lamunanku. “A—apa?” "Aku tau kau mengagummiku dari tadi,” tukasnya. Aku merutuk di dalam hati. Perkataannya benar-benar telak dan berhasil membuat pipiku memanas. Aku tak tahu bahwa benar-benar bisa membaca semua yang aku fikirkan. "Aku ingin bertanya" Aku berdehem, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Perempuan yang kutemui kemarin, apa mungkin ia akan kembali datang menemuiku?" "Alexa" Lean bergumam. Ia mendongak menatapku, kali ini sorot matanya terlihat serius. “Mengapa kau menanyakan hal ini, apa kau kembali bertemu dengannya?” Lean memajukan badannya yang tadi bersender di bangku, kedua sikunya bertumpu pada lututnya. "Tidak, aku berharap aku benar-benar tak bertemu dengannya,” jawabku dengan cepat. “Aku hanya khawatir, aku—aku sedikit merasa takut setelah kejadian itu. Aku tidak sengaja terlibat dan aku tidak mengetahui apapun” Pandangan kami teralih saat pintu rumah kembali terbuka, menampilkan seorang lelaki yang muncul dengan sayap perak di punggungnya, sayapnya membentang dengan indah, namun sedikit merapat saat memasuki rumah. Aku terdiam dengan meneguk salivaku, berusaha untuk tidak berteriak dan tetap bersikap normal saat ini. Aku kembali melihat sosok manusia yang memiliki sayap. Berdiri tepat di hadapanku. Tuhan ... Tampar aku bila ini mimpi. "Hei ... inikah manusia yang diceritakan Waren padaku?" Lelaki itu menatapku dengan senyuman hangat, kubalas senyumannya. Mengabaikan fakta bahwa ia kembali memanggilku dengan sebutan 'manusia'. “Jangan terlalu lama tersenyum padanya Ares, gadis ini mudah dibuat terpesona,” cela Lean. "Bukan urusanmu!" Lelaki yang ia sebut dengan nama Ares  terkekeh kecil, ia benar-benar ramah dan murah senyum, jujur aku jarang melihat makhluk sepertinya. Lebih tepatnya, aku baru melihat makhluk seperti mereka semua. "Siapa namamu manusia?" tanya Ares dengan duduk di kursi  sebelah Lean. "Rose," jawabku mengabaikan kata ‘manusia’ yang kembali ia ucapkan. Aku di bumi dan aku terlihat asing di planetku sendiri. "Ada hal yang ingin kutanyakan sekarang,” ujarku dengan mengabaikan tatapan mata Lean yang masih memandangku penuh keintimidasian. Aku tak peduli, ia benar- benar menyebalkan. "Apa yang ingin kau tanyakan?" Ares membuka suara, memberikan kesempatan bagiku untuk bertanya tentang semua yang tidak kuketahui. Aku berdehem, memberanikan diriku untuk  membuka suara sekalipun tatapan tajam Lean sama sekali tak beralih dariku. Ia seperti memberiku isyarat ‘jika kau bertanya hal yang konyol, aku akan mencekik lehermu’. Seperti itu. "Maaf bila pertanyaanku membuat kalian tak nyaman. Tapi semakin lama aku merasa semua semakin aneh. Sebenarnya kalian ini apa? Kalian jelas bukan manusia—"  "Calux. Kami Calux, makhluk dari dimensi lain dan kami tidak berasal dari bumi." Aku memandang Lean yang memotong perkataanku. Makhluk dimensi lain? Aku berhadapan dengan makhluk dimensi lain? "Aku, Waren, dan Ares ditugaskan kebumi untuk menyelesaikan semua kerusakan yang terjadi di tempatmu. Kurasa  bukan hanya makhluk dari dimensi kalianlah yang terlibat dalam kekacauan ini, tapi makhluk dari dimensi kami juga" Aku terdiam dengan menautkan alisku, mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan Lean tadi. "Lalu wanita itu? Wanita berambut putih yang pernah menemuiku?" Lean menghembuskan nafasnya dengan berat, matanya melirik pada Ares sesaat, sebelum kembali menjatuhkan pandangannya padaku. "Dia Alexa, ia berasal dari dimensiku. Pada awalnya aku tak yakin bahwa kaumku terlibat dengan semua ini. Namun saat aku tahu Alexa berada disini. Aku mengerti bahwa Calux turut bertanggung jawab mengenai semua yang terjadi” "Apa dia jahat ?" Kata-kata ini meluncur dari bibirku. Lean menatapku dengan mendelik, seakan aku menanyakan suatu hal yang konyol. "Dia akan jahat bila sesuatu menghalangi keinginannya" Kini Ares membuka suara, tetap dengan senyum yang ia pertahankan dbibirnya. Jemariku bergerak memijat pelipisku pelan, aku masih bingung dengan ucapan Lean dan Ares. Siapa yang tak akan bingung bila bertemu dengan makhluk dimensi lain yang mempunyai sayap, bisa terbang dan mungkin memiliki sejuta keajaiban lainnya? Aku mengalihkan pandanganku dan menatap sayap Ares lekat. "Apa hanya kau yang mempunyai sayap? Mengapa Lean tidak memilikinya?" Ares dan Lean terkekeh sesaat, namun Lean kembali kewajah datarnya dengan cepat, kembali tanpa ekspresi dan sorot mata yang tajam. "Aku adalah calux air, atau udara, seperti namanya aku dapat terbang, berteleportasi dengan cepat dan banyak keahlian lainnya yang kumiliki saat aku menyatu dengan langit." Ares beralih menatap Lean, kemudian melanjutkan perkataannya yang terpotong tadi. "Sedangkan Lean, Ia merupakan Calux Land, Calux darat. Ia bisa membuat perisai pelindung, memata-matai dari getaran tanah, membaca pikiran. Dan masih banyak yang tidak aku ketahui tentangnya" Aku mengangguk. Pantas ia mengetahui semua yang aku fikirkan. s****n. "Lalu Waren, wanita dengan rambut birunya yang indah. Ia adalah Calux Water, ia bisa bernafas di air, dan—" Ares baru saja ingin membuka mulutnya kembali ketika terpotong saat Lean mengangkat tangannya, memberi isyarat agar lelaki berambut perak itu berhenti bicara. “Kau memberi informasi terlalu banyak. Dia tak akan mengerti, kinerja otaknya kurang bagus" "Tak ada yang salah dengan otakku !" Aku berteriak dengan kesal dan  melemparnya dengan bantal yang ada di belakang tempat dudukku sekarang. Lelaki itu tertawa dan beranjak pergi, menghindari beberapa buah bantal yang akan mendarat di tubuhnya bila ia masih bertahan di sini.   . . . 》》》》 To be continue《《《《
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD