Aku melangkahkan kakiku menuju toko Roti Liam, aku sudah berjanji dan berniat akan membantu Liam di toko kuenya hari ini, hitung-hitung sebagai rasa terimakasihku atas kebaikan yang ia dan keluarganya lakukan selama ini.
Aku beruntung hari ini suhu udara tidak terlalu dingin, namun aku tetap membawa mantelku kapanpun dan kemanapun aku pergi, tak ada yang dapat mengetahui dengan pasti sampai kapan situasi ini akan bertahan. Mempersiapkan dirimu untuk kemungkinan terburuk adalah hal terbaik yang dapat kau lakukan sekarang.
Aku menatap toko Roti Liam yang mulai terlihat di persimpangan jalan.
Banyak pengunjung yang sudah datang berbelanja di toko ini, padahal jam baru menunjukan pukul 9 pagi.
Apa aku yang terlambat?
"Selamat pagi," ujarku dengan mendorong pintu utama toko, pandanganku tertuju pada seorang Liam yang tengah memakai celemek, ia terlihat sedikit sibuk membungkus beberapa kue pilihan pelanggan.
"Hai Rose? Kau datang juga?" Ujarnya beriringan dengan senyum lebar yang tercetak di wajahnya.
"Aku sudah berjanji aku akan datang hari ini, apa yang bisa kulakukan sekarang?"
"Tolong kau ambilkan beberapa kue pesanan pelanggan, mereka sudah mulai berdatangan"
Aku mengangguk dengan antusias kemudian meletakkan tas dan jacketku di kursi belakang, bergegas melayani beberapa pelanggan dengan cekatan. Toko Rotinya sangat ramai mengingat hanya toko roti inilah satu satunya toko yang berada di kota ini, dahulu pernah ada toko roti lain disini, namun kini pemiliknya telah pindah dan sisa bangunannya hanya dibiarkan terbengkalai begitu saja.
"Kau bisa duduk beristirahat bila kau lelah"
Aku mengangguk, mulai memasukkan roti pesanan pelanggan ke dalam kantung makanan dan memberikannya dengan cekatan.
Menit menit berganti menjadi jam, beberapa pelanggan mulai pergi meninggalkan toko, beberapa dari mereka terlihat duduk di kursi luat toko ini dan memakan roti mereka dengan santai.
Aku duduk di kursi belakang kasir sesekali menghela nafas karena sedikit lelah, pandanganku beralih pada jam coklat di tanganku saat ini jam 3
"Here you go,"
Liam menghampiriku dengan membawa dua cangkir s**u dan beberapa potong cake coklat, lalu meletakkannya di atas meja.
"Silahkan Rose, terimakasih telah membantuku hari ini"
"Terimakasih," ujarku dengan menyeruput s**u hangat yang ia suguhkan, "Ini enak, akhirnya kau memiliki bakat sekalipun hanya membuat s**u hangat"
"i***t," Liam berdecak denga memutar bola matanya, "Omong-omong bagaimana kabar Mike?"
"Kau baru bertemu dengannya dan kini kau kembali menanyakan keadaan adikku?" Aku menatapnya dengan dahi berkerut, "Jangan katakan kau memiliki obsessi kecil dengan adikku"
"Nope, your i***t" Ia berucap dengan mata membulat, "Ia seperti adikku, dan ia lebih waras dibanding dirimu, wajar aku menyayanginya"
"Dia baik baik saja. Kau harus tahu bahwa ia mulai mengenal perempuan sekarang," jawabku dengan menggelengkan kepalaku heran, akhir akhir ini Mike mulai mengenal perempuan, ia sangat sibuk dengan ponselnya dan mulai sering pulang terlambat akhir-akhir ini.
"Bagus bukan? Biarkan dia menikmati masa mudanya Rose. Aku tak ingin ia seperti kakaknya yang masih galak dan kaku "
Aku hanya mendengus dam memutar bola mataku kesal, merapihkan beberapa barang di tasku, kemudian memakai jacket biru lautku dengan santai. Sudah terlalu sore dan aku akan kembali pulang
"Sudah sore, aku akan pulang," ujarku dengan beranjak bangkit dari kursiku.
"Perlu kuantar?"
"Tidak, aku bisa sendiri," ujarku dengan berjalan ke arah pintu keluar.
"Terimakasih telah membantuku Rose, kabari aku ketika kau sampai di rumah."
Aku mengangguk, kemudian berjalan keluar dari toko Liam dengan merapatkan jacketku mengingat suhu udara yang terasa semakin dingin, angin berhembus dengan cukup kencang, membuat helaian rambutku turut bergoyang mengikuti desiran angin. Aku hanya berharap aku dapat sampai di rumah sebelum badai datang.
"Rose,"
Mataku tertuju pada seseorang yang tampak tak asing bagiku. Seorang lelaki berambut perak, dengan netra yang senada dengan warna rambutnya. Ia bersandar pada salah satu pohon di belakangnya dengan tangan yang bersidekap di depan d**a. Ia tersenyum, ia memang selalu tersenyum, namun kini ia tak memperlihatkan sayap peraknya yang indah seperti waktu itu.
"Ares?"
"Ini aku, Ares"
Ia melambaikan tangannya padaku, bibirnya masih mengukir sebuah senyuman. Ini terasa menggelikan, maksudku--kau kembali dari toko kue temanmu dan bertemu dengan salah seorang temanmu yang berasal dari dimensi lain. Fakta itu benar benar menggelitik perutku.
"Ares, kau--" Mataku melirik bagian punggung Ares yang kini terlihat tertutupi baju yang ia kenakan, punggungnya rata, tertutup dengan baju yang ia kenakan saat ini. Bagaimana ia bisa menutupi sayapnya?
"Jangan terkejut manis, Aku bisa memilih kapan aku membutuhkan sayapku dan kapan aku memilih untuk tidak menggunakan sayapku. Kau tidak benar-benar berfikir aku akan bersantai di tempat seperti ini dengan sayap besar di belakang punggungku kan?
Aku mengangguk kemudian membulatkan mulutku membentuk huruf 'o'. Ia benar. Mana mungkin ia berdiri di tempat seperti ini dengan sayap di punggungnya, bodoh.
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Aku hanya bersantai, mengamati kalian--manusia"
Aku mengangkat alisku, memberikan raut wajah ragu dengan perkataan yang ia lontarkan. "Benarkah?"
Ares menatapku dengan sorot mata yang menunjukkan keraguan. Lelaki ini m******t permukaan bibir bawahnya beberapa kali, sebelum membuka suaranya untuk menjawab pertanyaanku tadi.
"Sejujurnya, aku hanya ingin berbicara denganmu, aku menunggumu sedari tadi," ujarnya dengan menghela nafas panjang.
"Mengapa kau ingin bertemu denganku?
"Kau bertemu Alexa kan?" Ares bertanya.
Aku mengangguk, membenarkan perkataan yang ia tanyakan.
"Bagaimana keadaannya sekarang? Maksudku.. seperti apa dia sekarang ?"
Alisku bertautan, aku tak mengerti mengapa Ares menanyakan hal ini padaku.
"Aku tidak pernah berbicara padanya bahkan aku lupa apa yang dilakukannya padaku saat itu," jawabku jujur. "Dia cantik, rambutnya berwarna putih, memakai gaun putih polos terlihat anggun, walau tatapan matanya sangat menusuk dan taja--"
"Dia memang cantik"
Ares tersenyum dengan bergumam dengan kecil, namun aku masih bisa mendengarnya dengan Jelas. Ia mengatakan Alexa cantik bukan?
"Apa semuanya--" perkataanku terhenti saat aku mendengar derap langkah lain yang terdengar mendekat.
Aku memutar tubuhku, memusatkan perhatianku pada sumber suara di belakangku.
"Ares? Apa yang kau lakukan disini?"
Aku menatap jengah saat seorang lelaki dengan rambut cokelat berjalan ke arah kami. Makhluk paling menyebalkan yang pernah kutemui selama hidupku.
Lean.
Dari ketiga Calux yang kukenal, aku sangat malas bertemu dengannya, mungkin karena ia satu-satunya Calux yang selalu berucap kasar padaku. Belum lagi kesan pertama yang kudapat dengan Lean sangat buruk. Semua pengalaman yang kumiliki dengannya terlampau jauh dari kata menyenangkan.
"Aku berjalan-jalan, dan aku bertemu dengannya disini. Jadi kami sedikit berbincang tadi," ujar Ares.
"Aku meragukan jawabanmu" Lean berucap dengan kedua alis yang terangkat, "Kau tidak benar- benar menggodanya kan?"
Lagi. Aku memutar bola mataku. Apa lagi yang akan ia katakan selanjutnya? 'Jangan menggodanya Ares ia mudah terbawa perasaan' atau 'Ares bila ia menyukaimu, ia akan mengikutimu seperti anak anjing setiap saat'.
Sial, Aku mulai memikirkan kata-kata buruk yang akan keluar dari mulutnya.
"Lalu kau, apa yang kau lakukan? Mengikuti kami hem?"
Ares memiringkan sudut bibirnya dengan tangan yang bersidekap,
Lelaki i***t di hadapannya kini berdecak kesal, dengan ekspresi menjijikan dramatis yang ia buat. Kadang ia lucu, namun jauh lebih banyak sisi menyebalkan darinya.
"Bicara konyol sekali lagi dan aku akan mematahkan sayapmu," ujar Lean, "Aku memiliki kegiatan yang jauh lebih bermanfaat dibanding mengikuti apa yang kalian lakukan"
Aku menahan senyumku, sedangkan Ares tertawa hambar.
"Kau marah padaku karena dugaanku benar atau karena kau kesal aku menemuinya lebih dulu dibanding dirimu?"
Aku menatap Lean yang mendelik tajam dengan perkataan yang Ares lontarkan. Belum sempat Lean berjalan cepat ke arahnya, Ares sudah berlari mengeluarkan sayapnya, mengepak sayap nya dengan cepat hingga membuat kakinya mlayang diatas tanah. Aku meneguk Salivaku, aku belum terbiasa dengan semua ini.
Beruntung tak ada siapapun disini, bila seseorang melihat Ares seperti tadi, aku yakin orang itu akan pingsan ditempat.
"Kembali kau s****n!"
Lean memekik dengan kesal. Bila aku memiliki sayap seperti Ares, mungkin aku akan menghujat Lean sesuka hatiku dan menghujaninya dengan batu kerikil tanpa takut ia akan menangkapku. Ia hanya dapat marah dan mengumpat tanpa bisa menyentuhku. Atau lebih baiknya ia mati di tempat karena ribuan batu kerikil yang kulempar. What a perfect life.
"Khayalanmu terlalu tinggi. Dasar psikopat"
Imajinasiku hancur saat Lean menatapku dengan sengit, ah--aku lupa ia dapat membaca isi fikiranku.
"Bukan urusanmu," ujarku dengan berdehem kecil "Aku akan pulang, see ya!"
Aku memutar tubuhku dengan mengabaikan respon dari Lean, aku ingin kabur dari lelaki itu. Berada terlalu lama dengannya membuatku naik darah, jadi aku lebih memilih pulang sekarang.
Kakiku masih terus berjalan ketika aku mendengar langkah kaki lain di belakangku, aku tau itu Lean. Namun langkah kakinya sama seperti merunut di belakangku, Mengapa arah perginya sama sepertiku?
"Kenapa kau mengikutiku?" Aku memutar tubuhku, Memandangnya yang kini menatapku dengan satu alis yang terangkat. s**l, ia memang menarik, namun sifatnya benar-benar menyebalkan.
"Aku hanya berjalan jalan, apa yang salah? Dasar aneh"
"Kau ini menyebalkan, tidak seperti Ares"
Aku mendengus kesal, lelaki ini sangat dingin dan cuek, jarang sekali menampakkan senyumnya. Jangankan untuk senyuman, berkata normal tanpa mengumpat saja tidak bisa. Aku heran apa ia masih bisa tersenyum.
"Apa yang ditanyakan Ares padamu?"
Kini ia berjalan disampingku, menyamai langkah kakinya dengan kakiku.
"Ia menanyakan gadis ... " Aku mengkerutkan alisku, mencoba kembali mengingat namanya, "Alexa, Ares menanyakan Alexa. Gadis yang menyeramkan itu"
"Otakmu benar -benar bekerja lambat, padahal baru tadi kau membicarakannya dengan Ares"
Aku mencubit lengan Lean kesal, mengapa ia benar-benar menyebalkan? Andai aku lebih kuat, aku akan memukul wajahnya sekencang mungkin.
Maksudku, andai aku berani, menatap matanya saja kadang aku takut.
"Cubitanmu sakit, hentikan"
"Kau menyebalkan," gumamku dengan kembali melanjutkan langkah kakiku.
Aku melangkah semakin cepat saat aku dapat melihat rumahku, rumahku sudah dekat. Bersyukur aku akan lekas terpisah dengannya.
"Aku sudah sampai, aku dul--"
"Kau tidak memintaku untuk mampir? Bukankah itu yang selalu dilakukan manusia?"
Aku memutar bola mataku terang terangan. s****n.
"Itu hanya basa-basi, memang kau mau mampir?"
"Tidak"
Aku membelalakkan mataku dengan menghentakkan kakiku kesal, lelaki ini benar-benar membuatku darah tinggi. Sedetik lalu ia menanyakan seakan ia ingin aku menawarinya berkunjung, tapi setelahnya ia bersikap seakan tak sudi berkunjung ke rumahku. Apa sih yang ia fikirikan?
"Kenapa kau harus memintaku menanyakannya? Terserah padamu, aku duluan"
Aku berlalu dari hadapannya dan berjalan memasuki pekarangan rumahku. Baru beberapa detik, aku dapat mendengar langkah kaki yang menyusulku di belakang tubuhku.
"Aku berubah fikiran, aku ingin melihat seperti apa rumah manusia"
Terserah apa maunya. Aku tak menoleh sedikitpun. Berbicara dengannya benar-benar membuatku kesal. Mengabaikan lelaki i***t di belakangku, kini tanganku bergerak membuka pintu rumahku perlahan, masih dikunci.
Kalau seperti ini, berarti Mike belum sampai dirumah. Aku bergerak untuk merogoh tas ranselku dan mencari kunci rumahku.
Kakiku melangkah memasuki rumah, aku meletakkan tasku di atas meja secara asal, menyalakan lampu ruangan, dan duduk menyandarkan tubuhku di sofa rumahku.
"Kau bisa duduk disana," ujarku saat aku menatap Lean yang menatap sekeliling rumahku seperti sebuah museum.
"Kau tidak berniat untuk menawariku minum?" Tanya Lean yang menyandarkan tubuhnya di sofa rumahku dengan santai. Kedua tangannya bersandar pada penyangga, dengan mata yang sesekali memandang kesekeliling ruang tamuku.
"What?" ujarku dengan alis berkerut.
"Bukankah manusia..."
Ok. Mulai menyebalkan lagi. Aku bangkit dari dudukku sebelum ia kembali membuka suaranya.
"Apa yang kau minum, kau mau teh hangat?"
"Biar aku yang buat sendiri"
Lean berlalu dari tempat duduknya dan melangkah tanpa rasa kikuk sedikitpun menuju dapur, Aku menatapnya dengan menarik nafas dalam.
Lihat siapa yang jadi tuan rumah sekarang.
Aku mengabaikan apa yang Lean lalukan kemudian beranjak mendekat ke jendela, menyingkap tirai di sana dengan memandang keluar jendela. Awan mulai gelap tapi Mike belum juga pulang, kurasa anak itu bermain dan akhirnya lupa waktu. Walau ia jarang seperti ini sebelumnya.
Kuhela nafasku jenuh dan beranjak melangkahkan kakiku menuju dapur, melihat apa yang dilakukan lelaki berambut coklat itu pada dapurku.
"Godammit Lean, apa yang kau lakukan?"
Pekikku keras saat melihat Lean yang sedang memanaskan beberapa dedaunan dalam sebuah teflon, aku tak tau ia mendapat dedaunan itu dari mana. Karena aku tak melihat ia menggenggam apapun saat masuk kerumahku, dan aku yakin daun daun itu tak berasal dari rumahku.
Lean mengambil daun yang telah ia sangrai, sedikit menumbuknya dengan tumbukan lalu memasukannya ke cangkir dan menuangkannya sesikit air hangat.
"Sudah jadi!" Ia mengangkatnya, menyodorkannya tepat di depan wajahku.
"Tidak pakai gula?"
"Coba saja, ini daun lexsa , tak akan kau dapat di belahan bumi manapun," ucapnya memberikan tehnya dan berjalan ke ruang tamu sambil menyeruput teh buatannya sendiri.
Aku mengikutinya duduk di sofa yang berhadap hadapan dengan Lean, lalu meletakkan teh buatan Lean di atas meja, kualihkan pandanganku menatap Lean yang asik menikmati tehnya sendiri.
Sungguh. Aku ragu untuk meminumnya,
Siapa yang dapat menjamin bahwa ia tak berniat jahat padaku? Bagaimana bila ada racun di cangkir milikku?
Batinku menjerit.
"Bisakah kau hentikan pemikiran anehmu? Pertama, aku tidak menaruh racun atau obat bius diminumanmu. Kedua, Aku meninum teh dengan racikan yang sama, jadi bila kau mati aku juga akan mati bodoh"
Ia memandangku sengit, aku mulai kesal. Mengapa ia selalu membaca fikiranku dengan mudah?
"Jangan baca pikiranku lagi!"
"Memang kau bisa berfikir? lagi pula pemikiranmu itu aneh," ucapnya santai dan mulai menyeruput tehnya lagi
Aku menatap teh buatan Lean dan mencoba meminumnya sedikit. Menyeruputnya dengan ujung bibirku.
"Tak buruk" Aku bergumam, sebelum meneguknya lebih banyak "Maksudku, ini enak. Sungguh"
Lean tersenyum tipis mendengar perkataanku, kepalanya hanya menggeleng beberapa kali.
"Aku pulang!"
Pandanganku tertuju Mike yang terlihat membawa ranselnya dan meletakkan tasnya sembarangan, pandangannya beralih kearahku dan Lean secara bergantian,
Aku tau ia akan terkejut. Aku bukan anak populer, dan temanku selama ini hanya Liam. Melihat Lean berada dirumahku pasti membuatnya bingung.
"Hei, Apa ini pacarmu? Kenapa ia mau denganmu? Ia tampan"
Aku hampir tersedak dengan perkataan terlalu jujur yang ia ucapkan. Bagaimana ia bisa mengucapkan kalimat itu tanpa rasa bersalah sedikitpun? Aku merutuk kesal, sedangkan Lean kini tersenyum dengan ramah. Eh--ia tersenyum?
"Bukan, ia temanku, hentikan pemikiran bodohmu," ujarku dengan beralih menatap Lean, "Lean bukankah kau mengatakan kau ingin pulang? Kau harus menyalin catatan yang kau pinjam kemarin kan?"
Lean terkekeh kecil kemudian memandangku dengan tatapan 'seriously?' . Ia jelas mengetahui kebohongan yang kubuat, ini pengusiran yang manis.
"Kau benar, aku akan segera pulang," ucapnya sopan dengan beranjak bangkit dari kursinya, berjalan ke arah pintu keluar. "Terimakasih atas jamuannya"
Aku memutar bola mataku, mengantarnya hingga di depan pintu rumahku, ia menatapku selama beberapa detik, sebelum berbalik dan berjalan menjauh dari rumahku.
Belum sempat aku menutup pintu rumahku, aku kembali mendengar suaranya dari ujung jalan.
"Terimakasih sudah mampir! Lain kali datang lagi ya!"
Sialan.
"Aku tak harus mengucapkan itu untukmu!" Balasku sengit saat teesadar bahwa ia menyindirku terang-terangan. Makhluk itu benar-benar menyebalkan.
Aku menutup pintu rumahku, akhirnya aku benar-benar terbebas dari makhluk seperti Lean. Beruntung semua Calux tidak memiliki sifat sepertinya, bila ya, aku tak pernah Sudi bertemu dengan mereka lagi.
"Kakak!"
Aku berbalik saat mendengar teriakan kecil dari arah dapur, itu jelas suara Mike. Dia memecahakan piring lagi atau memasak sesuatu hingga gosong? Anak itu ribut sekali.
"Mike, ada apa?"
Aku melangkah menuju dapur, namun aku tak menemukan siapapun disini. Hanya segelas air yang tumpah membasahi meja makan, walau beruntung gelas itu tak jatuh di atas lantai dan pecah.
Aneh.
"Mike, kau menumpahkan airmu. Mengapa kau tidak membereskannya?" Aku berteriak kecil dengan memutar pandanganku.
Aku tak mendapatkan jawaban. Hening, tak ada suara sedikitpun.
"Mike, kau dimana?"
Aku mulai merasa aneh, kemana bocah itu pergi? jantungku mulai berdegup dengan cepat mengingat hal terakhir yang kudengar adalah teriakan kecil darinya. Aku takut ia terluka karena pisau atau benda dapur lainnya.
"Mike, kau dimana? Jawab aku"
Aku berjalan memasuki kamar mandi, kamarku, dan kembali ke ruang tamu. Namun Mike tak ada. Anak itu tak ada dimanapun.
"Mike, bila kau bercanda ini tidak Lucu"
Aku menautkan alisku erat, aku yakin ia tak mungkin pergi keluar rumah mengingat aku yang terakhir menutup pintu utama, aku baru mengantar Lean dan Mike tidak melewatiku sedikitpun.
Kemana bocah itu pergi?
"Mike, dimana kau?"
》》》》 To be continue《《《《
Next to chapter 6 :)