Bab 5

1144 Words
Asia berlari kecil sambil menggerutu. Pagi ini, Papanya Asia kembali menyuruh Asia berangkat bersama dengan Clara. Alhasil, Clara kembali menurunkan Asia di depan komplek rumah, yang membuat Asia dengan sangat terpaksa harus naik ojol sampai ke kampus. “Astaga, rambut gue,” gumam Asia ketika melihat pantulan dirinya di kaca jendela mobil yang terparkir di sampingnya. Kini Asia mendapati rambutnya yang tergerai tampak berantakan dan kusut. Beberapa bagian rambutnya bahkan ada yang terangkat seperti habis dijambak orang. Melihat kekacauan di rambutnya, membuat Asia buru-buru merapikannya dengan cara menyisir jari. Dengan susah payah Asia menata rambutnya agar kembali rapi. “Kalau bukan karena terburu-buru, gue nggak akan lupa buat menguncir rambut gue sebelum naik ojol,” gerutu Asia sambil menyisir rambutnya dengan susah payah. “Ini juga karena Clara! Kalau emang nggak niat buat ngasih tebengan, bilang kek langsung nggak mau gitu. Pakai sok bilang iya di depan papa. Lain kali gue ogah nebeng lo. Beneran. Nyebelin banget!” lanjutnya dengan perasaan gondok. Perasaan sebal yang timbul karena Clara ini tidak serta merta muncul begitu saja. Perasaan sebal yang dirasakan oleh Asia pagi ini disebabkan oleh kelakuan Clara semalam yang menyetel musik kencang-kencang, yang membuat Asia sakit kepala sampai tidak bisa tidur. “Kenapa rambut gue juga repot gini, sih. Susah amat dirapiin! Apa nggak—” Ucapan Asia sontak berhenti ketika melihat kaca jendela mobil di depannya perlahan diturunkan. Sosok pria yang berada di balik kemudi kini tengah mengamatinya dengan senyum miring yang membuat Asia membelalak kaget sambil mundur beberapa langkah. “Pak Rasya,” sapanya salah tangkah sendiri dengan tatapan fokus menatap dosen muda yang berada di dalam mobil itu. Namun, karena fokus menatap arah depannya, Asia sampai tidak sadar jika saat ini tubuhnya telah menabrak seseorang yang berada di belakangnya. Ketika berbalik, Asia menadapati sosok Shankara tengah menatapnya dengan kernyitan di dahi. “Pak Shan,” kata Asia dengan perasaan ngeri. “Maaf.” “Asia,” ucap Shankara yang mendadak membuat tubuh Asia merinding ngeri. Tatapan mata Shankara membuat Asia menciut. “Maaf, Pak,” timpal Asia menatap Shankara dengan ekspresi merasa bersalah. Lalu, ia menoleh ke arah Rasya yang tampak tersenyum geli menatapnya. “Maaf,” ucap Asia kepada dosen itu. Kemudian, Asia melangkah menjauh dari kedua dosen itu sambil tersenyum canggung. “Saya permisi. Dan sekali lagi amaf,” tambahnya seraya buru-buru berlari meninggalkan kedua dosen itu. Pagi-pagi udah malu-maluin gini! Dasar Asia! Shankara menoleh ke arah perginya Asia dengan helaan napas dalam sambil geleng-geleng kepala. Seharusnya Shankara heran dengan tingkah mahasiswinya itu. Namun, karena terlampau sering melihat Asia yang ceroboh seperti tadi, Shankara sampai tidak heran lagi. “Itu siapa, Shan?” tanya Rasya sambil melipat kedua tangannya di atas jendela mobil yang terbuka. “Asia,” jawab Shankara singkat seraya berjalan mendekat ke arah Rasya. “Asia,” ulang Rasya seraya mengangguk-anggukkan kepala mengerti. “Bukannya lo ngajar dia juga?” “Iyakah?” “Seharusnya iya.” Rasya tersenyum lebar. “Gitu, ya. Jadi nggak sabar ketemu dia di kelas gue. Kayaknya anaknya lucu.” “Lucu?” Shankara mendenguskan tawa mengejek. “Menurut gue, lebih ke tidak disiplin, ceroboh, seenaknya sendiri. Nggak ada lucu-lucunya.” Ucapan Shankara itu membuat Rasya tertawa. “Kaku amat sih, lo, Pak,” timpalnya. Shankara hanya bisa memutar bola mata bosan mendengar ledekan Rasya itu. “Ya udah ayo masuk. Kita sarapan di luar,” kata Rasya yang membuat Shankara menganggukkan kepala lalu memutari mobil Rasya kemudian masuk ke dalam mobil, duduk manis di kursi penumpang. “Sarah nggak ikut?” tanya Rasya seraya menjalankan mobilnya meninggalkan parkiran. “Ada kelas pagi dia,” kata Shankara yang membuat Rasya menganggukkan kepala mengerti. “Lo sendiri nggak ada kelas pagi?” “Nggak ada.” “Lah, ngapain ke kampus jam segini?” tanya Rasya melirik jam di pergelangan tangannya yang tengah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. “Tadi nganterin Lavanya ke sekolah. Nanggung kalau nggak sekalian berangkat ke kampus.” “Juara sih, lo, Shan,” kata Rasya memberi Shankara jempol. “Emang,” balas Shankara tanpa malu. “Ya…, ya…, ya.” Rasya terkekeh sambil geleng-geleng kepala. *** “Lo bilang, kemarin lo telat ngumpulin tugasnya Pak Shan?” Asia menganggukkan kepala mendengar ucapan Kalila. “Kok bisa? Terus nilai lo gimana?” tanya Kalila lagi dengan ekspresi panik. Asia menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena frustrasi. “Nggak tahu juga gimana nilai gue,” rengeknya merasa sedih. “Padahal kemarin gue udah bolos kelas buat bela-belain ambil tugas gue di kampus Clara. Habis itu pas balik kampus, gue sampai lari-lari ke ruang dosen. Masih saja telat.” Asia menampakkan ekspresi nelangsa. “Ya Tuhan, padahal gue cuma telat enam menit doang, Kal. Enam menit! Tega nggak sih, itu si Pak Shan? Kesel gue.” Asia menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. “Terus ya, tadi pagi, waktu gue ngaca di kaca mobil orang, tahu-tahu kaca mobil itu turun dan ada Pak Rasya, Kal! Pak Rasya! Malu gue. Mana pas kaget dan gue mundur, gue nabrak orang. Dan lo tahu apa, yang tabrak itu Pak Shan, Kal. Pak Shankara! Sial banget nggak tuh gue pagi ini. Sebel gue,” gerutu Asia seraya menyandarkan dengan kasar punggungnya ke sandaran kursi yang berada deretan depan kelas. Kalila yang mendengar cerita Asia itu hanya bisa terkekeh pelan sambil menepuk-nepuk pelan pundak Asia, mencoba menghiburnya. “Gue mau girang karena pagi-pagi lo udah ketemu sama dua dosen tampan, tapi, cara ketemu lo sama mereka juga memalukan sekali. Mau sedih tapi, lo pagi-pagi juga udah cuci mata. Bingung kan gue ini,” balas Kalila di sela tawanya. “Udah, prihatin aja. Malu beneran gue tadi. Mana rambut gue kayak singa gara-gara naik ojol nggak gue kuncir dulu rambut gue,” lanjut Asia kembali menggerutu. “Ah, malu banget sumpah.” “Menurut lo ya, Pak Shan sama Pak Rasya itu, cakepan siapa?” Asia melirik ke arah Kalila dengan kernyitan di dahinya. “Pertanyaan macam apa itu, Kal?” “Ya kan mereka berdua terkenal sebagai dosen tampan. Oh masih ada lagi Pak Farez. Dia nggak kalah cakep sama Pak Shan dan Pak Rasya. Tapi, Pak Farez terkenal playboy. Gosipnya sih, punya hobi pacaran sama mahasiswinya.” Asia berdecak. “Ya bodo amat, Kal. Gue juga nggak tertarik sama mereka semua.” Bagi Asia, cowok yang paling tampan itu adalah Cakra. Ya, Cakra. Asia naksir sama cowok itu. selain tampan, Cakra juga baik. Mereka pun seumuran. Bukankah Cakra itu kandidat yang jauh lebih baik dari ketiga pria yang Kalila sebutkan? Hanya saja, sangat sulit menebak hati Cakra. Sampai saat ini Asia tidak tahu siapa yang Cakra sukai. Secara, cowok itu adalah tipe cowok yang baik ke semua orang. Jadi, setiap kali Cakra baik kepada Asia dan memberikan Asia perhatian, Asia jadi bingung sendiri. Apa kebaikan Cakra itu sebuah sinyal suka atau hanya sebatas Cakra sedang baik ke sesama manusia saja? Asia benar-benar tidak tahu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD