Bab 4

1539 Words
Asia menatap rumah yang cukup mewah di hadapannya. Rumah bertingkat itu di kelilingi pagar hitam yang menjulang tinggi. “Rumah nomor 20,” kata Asia menatap angka yang tertera pada tembok di sebelah pagar. “Kayaknya benar ini.” Asia menganggukkan kepala yakin. Tanpa ragu-ragu Asia langsung memencet bel yang berada di hadapannya. Saat ini dirinya sedang berada di depan rumah calon murid lesnya. Setelah berkomunikasi dengan Tisha, Asia diminta untuk datang ke rumah ini setelah pulang dari kampus untuk bertemu orang tua murid yang akan diajarnya. Awalnya Asia ragu untuk datang hari ini karena hari ini cukup menyedihkan dan mengesalkan bagi Asia. Dan tentu saja penyebabnya adalah dosen galaknya yang amat sangat menyebalkan, yaitu Shankara. Namun, Asia pun malas pulang ke rumahnya. Jadi, Asia rasa tidak ada salahnya datang ke sini sore ini. Tak lama kemudian pintu gerbang terbuka. Seorang pria paruh baya yang tampaknya adalah penjaga rumah ini menyambut kedatangan Asia. “Nyari siapa, ya?” tanya pria itu. “Saya Asia, Pak. Apa benar ini rumah Lavanya Filia?” “Benar. Ada keperluan apa, ya, kalau boleh tahu?” “Saya tadi diminta untuk datang ke sini guna membahas soal jadwal les Lavanya,” jawab Asia. “Saya calon guru les privatnya, Pak. Apa orang tua Lavanya ada?” “Oh, guru lesnya Neng Lavanya, ya. Silakan masuk, Bu.” “Makasih, Pak,” ucap Asia seraya berjalan memasuki halaman rumah. “Panggil Asia aja. Nggak perlu panggil Bu.” “Neng Asia aja ya, kalau begitu.” Asia menganggukkan kepala. “Iya.” “Nah itu ada Bi Darsiah,” kata pria paruh baya itu seraya menunjuk wanita yang tampaknya seumuran dengan pria tersebut. Wanita bernama Darsiah itu saat ini sedang berada di depan pintu ruang tamu seraya menatap Asia penuh tanda tanya. “Langsung aja bicara sama Bi Darsiah, ya, Neng.” “Iya, Pak. Makasih,” ucap Asia lalu berjalan mendekat ke arah Darsiah. “Bu Asia, ya?” tanya Darsiah kepada Asia ketika Asia sudah berada di hadapannya. “Iya. Saya Asia.” Asia tersenyum kecil ke arah Darsih. “Mari silakan masuk, Bu,” kata Darsiah mempersilakan Asia masuk ke dalam rumah. “Panggil Asia aja. Nggak perlu pakai Bu,” balas Asia. “Ah, iya. Baik, Neng. Omong-omong saya Bi Darsiah, pembantu di rumah ini.” “Salam kenal, Bi,” ucap Asia. “Apa saya bisa bertemu dengan orang tua Lavanya?” “Kebetulan papanya Lavanya masih belum pulang,” kata Darsiah mempersilakan Asia untuk duduk di sofa. “Neng Asia bisa langsung berbicara sama saya. Nanti biar saya sampaikan ke papanya Lavanya.” “Oh gitu. Iya, Bi.” “Oh ya, Neng mau minum apa?” “Apa aja boleh.” “Ya udah, tunggu sebentar ya, Neng. Biar Bibi buatin dulu, habis itu kita bisa ngobrol soal jadwal lesnya Neng Lavanya.” “Iya, Bi,” ucap Asia seraya tersenyum kecil ke arah Darsiah. Kemudian Darsiah pergi meninggalkan Asia sendirian di ruang tamu untuk membuatkan minuman untuk Asia. Asia sendiri saat ini sibuk mengamati sekitarnya. Di ruang tamu ini Asia tidak menemukan foto keluarga. Jadi, Asia benar-benar tidak tahu rupa calon muridnya dan juga orang tuanya. Tiba-tiba saja dari arah pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah muncul seorang gadis kecil berambut panjang. Gadis kecil itu menatap Asia dengan ekspresi penasaran. Sontak saja Asai tersenyum lebar ke arah gadis itu. “Hai,” sapa Asia seraya melambaikan tangan ke arah gadis itu. “Lavanya, ya?” Gadis itu menganggukkan kepala. “Hai Lavanya, salam kenal. Aku … Ka …,” kata Asia menggantung. Mendadak saja Asia bingung harus memperkenalkan diri sebagai Kak atau Bu, karena kan status mereka guru dan murid. “Miss Asia,” lanjut Asia. “Guru les kamu.” “Miss Asia,” ucap Lavanya pelan. “Iya,” balas Asia menganggukkan kepala. Perlahan Lavanya berjalan mendekat ke arah Asia. Gadis kecil itu tampak ragu-ragu. “Aku punya jaket kayak punya Miss,” ucapnya menunjuk ke arah jaket jins yang saat ini sedang dikenakan oleh Asia. “Oh ya?” Lavanya menganggukkan kepala. “Iya. Tapi, bagian lengan sininya robek,” katanya menunjukk lengan bawah tangan kirinya. “Habis itu disulap papa dan malah ada gambar beruangnya.” “Wah beruang ya? Keren.” “Iya. Papa juga bilang keren,” kata Lavanya beresemangat. “Besok minggu mau aku pakai buat jalan ke mal sama papa.” “Besok Minggu mau jalan-jalan ke mal sama papa dan mamanya? Enak dong.” “Aku nggak punya mama, Miss,” kata Lavanya polos. “Hah?” balas Asia kaget dan juga bingung. “Mamaku udah nggak ada. Papa bilang, mama udah ada di surga. Tapi, beberapa temanku pada bilang kalau aku memang aslinya nggak punya mama.” Mendadak saja Asia jadi merasa bersalah sudah menyinggung soal mama di hadapan Lavanya. Seharusnya Asia lebih bisa menjaga lisannya sebelum mengatakan sesuatu. Padahal, sejak tadi Bi Darsiah dan juga Lavanya hanya menyebut kata papa. Seharusnya Asia lebih peka jika kemungkinan mamanya Lavanya memang sudah tidak ada. “Maaf, ya,” kata Asia tidak enak hati. “Maaf kenapa, Miss?” “Miss udah nyinggung soal mama kamu. Miss Asia benar-benar minta maaf, ya.” Lavanya tersenyum lalu menggelengkan kepala. “Aku nggak marah kok, Miss. Miss kan nggak tahu.” “Iya. Miss nggak tahu,” ucap Asia masih merasa tidak enak hati. “Omong-omong, mama Miss juga udah nggal ada.” “Nggak ada gimana, Miss?” “Mama Miss udah ada di surga kayak mama kamu.” “Mungkin kalau mereka sama-sama ada di surga, mereka bakal bertemu kayak kita.” Asia tersenyum lalu menganggukkan kepala. “Iya. Mungkin mereka memang bertemu kayak kita.” Lavanya tertawa kecil. “Mama punya satu teman baru,” katanya tampak senang. Asia jadi sedih melihat kepolosan Lavanya yang tampaknya masih belum benar-benar mengerti konsep sebuah kematian. Karena bagi Asia yang sudah dewasa, tidak ada yang bisa membuatnya senang ketika mengingat mamanya yang sudah meninggal. “Oh ya, Miss. Apa kita akan mulai les hari ini?” tanya Asia. “Apa kamu mau les hari ini?” Asia balik bertanya. Asia menganggukkan kepala. “Iya,” katanya bersemangat. “Oke, kita tanya dulu ke Bi Darsiah, ya.” “Iya, Miss.” Lavanya tersenyum lebar ke arah Asia. *** “Papa!” seru Lavanya senang seraya berlari ke arah Shankara yang sedang berjalan memasuki ruang tengah. “Hai, Baby,” balas Shankara menyambut Lavanya ke dalam pelukannya. “Bagaimana tadi di sekolah?” “Biasa aja, Pa,” jawab Lavanya yang membuat papanya terkekeh. “Biasa aja?” tanya Shankara seraya menggendong Lavanya dan membawanya pergi ke ruang makan. Lavanya menganggukkan kepala. “Iya,” jawabnya. “Oh ya, Pa. Lavanya udah mulai les.” “Oh, ya?” “Iya. Tadi guru les Lavanya datang ke rumah. Terus Lavanya minta buat mulai les hari ini,” katanya tampak senang. “Jadi gimana guru lesnya?” “Seru!” kata Lavanya bersemangat. “Missnya baik banget! Lavanya suka. Terus tadi Missnya juga bantuin Lavanya ngerjain PR yang Lavanya nggak bisa.” “Kalau begitu berarti kamu harus lebih rajin lagi belajarnya, ya.” “Lavanya kan selalu rajin, Pa. Nggak kayak Papa,” balas Lavanya seraya menjulurkan lidah ke arah papanya sambil terkikik geli. Shankara ikut tertawa. “Papa juga rajin tahu.” Lavanya tertawa sambil menggelengkan kepala. “Nggak. Rajinan Lavanya daripada papa,” katanya. “Baru pulang, Den,” sapa Darsiah yang baru saja muncul di ruang makan. “Iya, Bi,” balas Shankara seraya menurunkan Lavanya ke kursi meja makan. “Oh ya, Den, tadi guru les privatnya Neng Lavanya udah ke sini.” “Iya, Lavanya udah cerita, Bi,” balas Shankara seraya melirik Lavanya. “Dia bilang guru lesnya baik banget.” Shankara tersenyum ke arah putri kecilnya itu yang saat ini tengah mengangguk setuju. “Iya, Den. Neng Lavanya semangat banget tadi belajarnya.” “Besok Missnya datang lagi buat ngajarin Lavanya matematika,” kata Lavanya. “Lavanya udah nggak sabar buat belajar bareng sama Missnya.” Shankara mengelus rambut panjang putrinya itu dengan penuh sayang. “Papa ikut seneng lihat kamu jadi punya hobi belajar,” ucapnya. Ponsel Shankara tiba-tiba berbunyi. Segera ia mengambil ponselnya yang berada di saku celananya. Dilihatnya nama Sarah terpampang di layar ponselnya. Sontak saja Shankara tersenyum kecil. “Siapa, Pa?” tanya Lavanya tampak pensaran. “Tante Sarah,” kata Shankara. “Papa angkat telepon dulu, ya.” Lavanya menggelengkan kepala. “Papa makan dulu aja,” katanya seraya menggenggam erat lengan kemeja papanya. “Papa kan baru pulang, belum makan. Makan dulu.” “Nanti, ya. Habis terima telepon dari Tante Sarah, papa bakal makan bareng kamu.” “Sekarang, Pa. Aku udah laper banget,” rengek Lavanya. “Neng kan udah makan tadi, bareng sama Missnya,” sahut Darsiah. “Biar papa angkat telepon dulu aja, ya.” “Bentar doang, Lavanya. Tunggu sini, ya,” kata Shankara seraya mengangkat panggilan dari Sarah dan berjalan menjauhi Lavanya. “Papa nyebelin tahu, Bi,” kata Lavanya kesal. Padahal kan papanya baru saja pulang. Mereka pun baru saja mengobrol sebentar. Namun, Lavanya tidak mengerti kenapa Tante Sarah harus mengganggu waktu papanya di rumah. Lavanya benar-benar tidak suka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD