Bab 6

1624 Words
Asia mengambil foto selfie dirinya bersama dengan Cakra dan Kalila yang duduk di samping kiri dan kanannya. Setelah itu, ia mengunggah foto tersebut di IG story. Tak lupa Asia menyematkan nama akun milik Cakra dan Kalila di atas kepala kedua temannya itu. “Beneran tugas lo nggak diterima sama Pak Shan?” tanya Cakra. Asia menarik napas dalam seraya melirik ke arah Kalila yang saat ini sudah menyengir lebar. Kenapa juga, Kalila harus bercerita kepada Cakra? Asia kan malu! “Iya,” jawab Asia menganggukkan kepala. “Lo nggak mau coba bicara ke Pak Shan? Kali aja Pak Shan mau nerima tugas lo.” “Kayak Pak Shan punya telinga aja diajakin bicara,” balas Asia sebal sendiri mengingat sikap kejam dosennya itu. “Mana mau denger dia penjelasan gue.” “Coba dulu, Asia,” kata Cakra lagi. “Nggak mau,” balas Asia menggelengkan kepala. “Capek nanti mulut gue. Udah susah payah jelasin, tapi nggak dianggap sama Pak Shan. Makin nyesek nanti gue.” “Pak Shan nggak mungkin sejahat itu,” ucap Cakra penuh dengan sikap positif. “Pak Shan bisa lebih jahat dari itu,” timpal Asia dengan sikap negatifnya. Cakra mencondongkan badannya ke depan sambil menoleh ke arah Kalila. “Kal?” tanyanya meminta pendapat Kalila. “Kalau gue sih, mau Pak Shan dengerin atau nggak, akan tetap gue samperin lah. Kapan lagi coba, gue bisa berlama-lama menatap wajah tampan Pak Shan. Walaupun gue harus jelasin sampai mulut gue berbusa pun, kayaknya bakal gue jabanin,” kata Kalila dengan senyum lebar. “Pendapat Kalila nggak bisa diharapkan, Cakra. Otaknya isinya cuma cogan semua.” “Dosgan, Asia,” ralat Kalila. “Dosen Ganteng,” lanjutnya yang membuat Asia memutar bola mata dengan bosan. Saat ini mereka bertiga sedang berada di kantin untuk makan siang. Setelah selesai kelas, Asia dan Kalila pergi menuju kantin. Lalu, di tengah perjalanan menuju kantin, mereka berdua bertemu dengan Cakra. Alhasil, Asia mengajak Cakra untuk pergi ke kantin bersama dengan mereka. Beruntungnya Cakra mengiyakan. Dan tentu saja hal ini membuat Asia senang. “Eh, Asia, itu…,” kata Kalila dengan cepat seraya menepuk paha Asia sambil menunjuk ke arah jalanan di depan mereka. “Itu apa, sih?” tanya Asia seraya mengusap pahanya yang ditepuk Kalila. “Pak Farez,” jawab Kalila menunjuk seorang pria yang tengah berjalan di jalanan depan mereka sambil membawa beberapa dokumen di tangannya. Beberapa mahasiswi tampak menyapa pria itu yang membuat pria itu tersenyum lalu menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Ganteng kan?” Asia mengamati pria yang memiliki tubuh yang cukup tinggi dengan postur tubuh yang tegap. Dosen bernama Farez itu memiliki wajah yang memang cukup tampan. Namun, jika dibandingkan dengan Cakra, Asia pasti akan mengatakan jika Cakra lah yang tertampan. “Biasa aja,” jawab Asia tak acuh. “Ganteng, Asia,” ralat Kalila. “Menurut gue ya, dia tuh ganteng yang macho gitu loh. Sayang banget Pak Farez nggak ngajar kita. Kata kakak tingkat yang diajar Pak Farez sih, dia dosen yang baik dan pengertian. Enak kayaknya diajar sama dosen macam itu.” “Iya kali. Enak diajar dosen yang baik dan pengertian. Nggak kayak Pak Shan,” kata Asia sewot sendiri. “Ah, nilai gue gimana,” ucap Asia kembali lesu mengingat nasib nilainya yang tampaknya akan terjun bebas ke jurang. “Semoga Pak Shan dapat hidayah mau nerima tugas lo,” ucap Kalila seraya menepuk-nepuk punggung Asia. “Meskipun kayaknya mustahil, tapi tetap gue aminin deh,” balas Asia dengan helaan napas dalam. “By the way,” kata Cakra tiba-tiba yang membuat Asia dan Kalila menoleh ke arah cowok itu. Saat ini Cakra tampak tengah fokus menatap layar ponselnya. “Ini akun IG saudara lo bukan, sih?” tanyanya menunjukkan layar ponselnya ke arah Asia. Asia mengamati layar ponsel Cakra yang tengah menunjukkan sebuah akun ** dengan nama claradeone. Akun itu tampak tengah mengikuti akun ** milik Cakra. Hal ini membuat Asia membelalakkan mata tak percaya seraya menyambar ponsel milik Cakra untuk melihatnya lebih teliti. Asia membuka akun milik Clara dan melihat foto Clara di sana. “Benar punya Clara,” katanya dengan nada tak percaya. “Tiba-tiba dia ngefollow gue,” ucap Cakra terkekeh pelan seraya mengambil ponselnya dari tangan Asia. “Akun ** gue aja nggak difollow,” balas Asia menatap Cakra dengan bingung. Cakra hanya terkekeh sambil mengangkat kedua bahunya. “Jangan difolbek,” kata Asia cepat-cepat sebelum Cakra khilaf mengikuti akun milik Clara. “Please,” tambahnya memelas. Cakra tertawa mendengar ucapan Asia itu. “Kenapa?” “Iya, kenapa harus difolbek. Nggak usah,” jawab Asia tidak tahu harus memberi jawaban rasional seperti apa. “Iya. Nggak akan gue folbek. Santai.” Asia tersenyum seraya menganggukkan kepala mendengar jawaban dari Cakra itu. Asia merasa lega Cakra mengatakan hal itu. Karena bagaimanapun juga, Asia kan takut kalau tiba-tiba saja Cakra diembat oleh Clara. Mana Clara pakai follow akun Cakra segala. Clara punya maksud tersembunyi apa itu coba? *** Sore harinya, Asia pergi ke rumah Lavanya untuk memberi gadis kecil itu les privat. Kali ini Lavanya meminta untuk diajari matemarika. Dengan sabar Asia menjelaskan serta membantu Lavanya mengerjakan PR sekolahnya. Asia cukup senang memiliki murid les yang penurut, pintar dan juga menggemaskan seperti Lavanya. “Udah paham belum yang Miss jelaskan?” tanya Asia kepada Lavanya. Lavanya menganggukkan kepala. “Udah, Miss.” Asia tersenyum lebar ke arah gadis itu. “Miss happy banget punya murid pintar kayak kamu,” katanya. Lavanya balas tersenyum lebar yang membuat gadis cilik itu tampak sangat manis. “Lavanya juga happy punya guru les kayak Miss. Miss baik, terus cantik,” ucapnya. Asia menutup mulutnya yang tengah tersenyum lebar dengan kedua tangannya ketika mendengar ucapan Lavanya. “Kamu bilang Miss cantik?” tanyanya yang membuat Lavanya menganggukkan kepala dengan segera. “Kamu bisa aja mujinya. Miss jadi seneng banget ini dibilang cantik,” lanjutnya seraya pura-pura pingsan yang membuat Lavanya tertawa. “Oh ya, Miss,” kata Lavanya yang membuat Asia kembali duduk tegak. “Iya?” “Miss Asia mau nggak bantuin aku buat pilih baju untuk pergi ke mal bareng Papa besok Minggu?” “Boleh,” kata Asia. “Nanti akan Miss pilihin outfit yang cantik buat ke mal bareng papa kamu.” “Asyik!” seru Lavanya senang. Kemudian, setelah selesai jam les matematika, Asia dengan senang hati membantu Lavanya memilihkan pakaian untuk Lavanya jalan-jalan bersama papanya besok Minggu. Melihat antusias Lavanya, Asia bisa menebak jika Minggu besok adalah hari yang sangat dinantikan oleh murid lesnya itu. “Ini Miss,” kata Lavanya memperlihatkan jaket jins yang mirip punya Asia. “Sama punya kayak Miss kan?” Asia menganggukkan kepala. “Iya, sama,” katanya. “Oh, kalau gitu aku mau pakai jaket jins, celana jins biru sama kaos putih kayak pakaian Miss sore ini,” ucap Lavanya menunjuk setelan yang dipakai oleh Asia. Asia tersenyum lebar mendengar ucapan Lavanya itu. “Ide bagus,” katanya. “Nanti kamu pasti akan keren banget kayak Miss.” Asia memberi Lavanya jempol dua. “Iya,” balas Lavanya dengan semangat. “Kalau gitu, aku mau cari kaos putih dulu di lemari, ya, Miss. Terus aku mau pakai outfitnya dan kasih lihat Miss. Ya?” “Oke. Miss tunggu di sini, ya,” kata Asia. “Iya, Miss. Sebentar ya, ya, Miss.” Asia hanya menganggukkan kepala melihat Asia yang sudah berlari keluar dari ruang belajar menuju kamarnya sendiri. Karena merasa gerah, Asia melepaskan jaket yang dipakainya lalu menyampirkan jaket itu ke punggung kursi di sampingnya. Kini Asia mulai mengamati sekitar. Di meja belajar Lavanya, terdapat sebuah pigura foto seorang wanita yang tengah menggendong bayi perempuan. Wanita itu tampak sangat cantik dengan senyuman yang manis. Kalau tidak salah menebak, sepertinya itu mamanya Lavanya. Kini mata Asia mulai jelalatan mencari foto lain yang memperlihatkan kedua orang tua Lavanya. Jika mamanya saja sangat cantik, Asia tebak, papanya Lavanya juga ganteng. Dan mungkin juga masih muda. Namun, di ruang belajar Lavanya, Asia tidak menemukan foto papanya Lavanya. Hanya ada foto mamanya saja. Mungkin Asia bisa melihat foto keluarga Lavanya di ruang keluarga, tapi, karena Asia merasa tidak sopan jika matanya harus jelalatan, jadi dirinya selalu menahan diri untuk mengamati sekitar setiap kali berjalan menuju ruang belajar Lavanya. “Miss,” kata Lavanya yang saat ini sudah kembali memasuki ruang belajarnya. Saat ini Lavanya sudah mengenakan celana jins dan kaos putih yang dibalut dengan jaket jins. “Gimana, Miss? Bagus?” Asia tersenyum lebar seraya menganggukkan kepala. “Bagus,” kata Asia. “Kamu kelihatan cantik dan imut banget.” Lavanya terkekeh senang mendengar pujian dari Asia itu. “Makasih, Miss.” Tak lama kemudian Bi Darsiah datang ke ruang belajar Lavanya. “Neng Asia, udah hampir jam setengah delapan. Neng, mau makan malam sekalian di sini?” tanya Bi Darsiah kepada Asia. “Sebentar lagi Papanya Neng Lavanya juga udah pulang. Makan malam saja sekalian. Ya?” “Ah, nggak usah, Bi. Ngrepotin nanti,” kata Asia buru-buru bangkit dari duduknya. “Saya permisi dulu, aja. Udah malam juga soalnya.” “Miss, makan malam aja, di sini,” ucap Lavanya seraya memegangi tangan Asia. “Kapan-kapan aja, ya.” Asia mengelus rambut Lavanya dengan lembut. “Miss pulang dulu. Bye,” katanya seraya melambaikan tangan ke arah Lavanya lalu menyambar tasnya yang ada di meja. Setelah berpamitan, Asia langsung pergi meninggalkan rumah Lavanya. Ketika sampai di teras rumah, Asia melihat sebuah mobil melaju memasuki halaman hingga masuk ke dalam garasi yang ada di samping rumah. “Kayaknya papanya Lavanya. Sapa nggak, ya?” gumam Asia yang saat ini sudah berjalan meninggalkan teras. Asia memanjangkan leher untuk mengintip arah garasi. Berhubung papanya Lavanya tidak muncul-muncul akhirnya Asia berjalan meninggalkan halaman rumah Lavanya begitu saja. “Sapa kapan-kapan aja lah kalau ketemu,” tambahnya seraya berjalan melewati gerbang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD