Bab 3

2110 Words
Ponsel Shankara bergetar. Shankara segera mengangkat panggilan dari kontak Bi Darsiah, pembantu yang sudah bekerja dengannya sejak dulu. Shankara sampai lupa sudah berapa tahun Bi Darsiah bekerja di rumahnya. “Halo, Bi,” sapa Shankara. “Halo, Den,” balas Darsiah. “Saya mau tanya apa Neng Lavanya jadi dicarikan guru les?” tanyanya. Shankara menganggukkan kepala. “Iya, sebaiknya begitu. Teman-temannya juga sudah pada les kan?” “Iya, Den,” kata Darsiah. “Teman-teman Neng Lavanya kebanyakan sudah dilesin sama orang tuanya. Kalau begitu biar Bibi coba carikan guru les privat buat Neng Lavanya, ya.” “Iya, Bi. Tolong ya,” balas Shankara. “Apa Den Shankara ada permintaan khusus buat guru les Neng Lavanya?” “Carikan aja yang sabar sama kompeten,” kata Shankara. “Baik, Den.” “Oke, terima kasih, Bi.” “Iya, Den, sama-sama.” Setelah itu Shankara memutuskan sambungan telepon mereka. “Bibi, ya?” tanya Sarah yang saat ini duduk di kursi yang berhadapan dengan Shankara. Shankara menganggukkan kepala. “Iya,” jawabnya. “Jadi, gimana? Minggu jadi jalan bareng? Kita bisa ke Ragunan. Sekalian ajak Lavanya. Udah lama banget aku nggak ketemu sama dia,” kata Sarah tersenyum lembut. “Kayaknya nggak bisa, deh,” balas Shankara. “Lavanya ngajakin ke pergi mal.” “Aku nggak boleh ikut, ya?” tanya Sarah tampak kecewa. “Sorry,” kata Shankara tampak tidak enak hati. “Lavanya masih nggak merestui hubungan kita, ya, Shan?” “Bukannya nggak, tapi, belum,” timpal Shankara. “Kamu tahu sendiri, sudah lama kami hanya hidup berdua. Bagi Lavanya, agak susah untuk menerima orang baru di hidup kami. Aku harap kamu bisa ngerti.” Sarah menyunggingkan senyum lalu menganggukkan kepala. “Aku ngerti kok,” katanya. “Dan tentu aja aku nggak akan nyerah bikin Lavanya menerimaku. Aku kan sayang juga sama dia.” Shankara balas tersenyum. “Thanks, ya, Sar,” ucapnya. Sudah sekitar lima bulan Shankara mengenalkan Sarah kepada Lavanya. Awalnya Lavanya tampak gembira ketika bertemu dengan Sarah. Lavanya pun terlihat menyukai Sarah yang cantik serta anggun. Tapi, ketika Lavanya tahu jika Sarah adalah kekasih Shankara, sikap Lavanya kepada Sarah sontak berubah. Lavanya jadi uring-uringan setiap kali Shankara meminta izin untuk pergi bersama dengan Sarah. Meskipun begitu, Shankara paham akan sikap Lavanya itu. Lavanya hanya tidak ingin perhatian Shankara terbagi. Lavanya ingin Shankara hanya fokus saja ke Lavanya. “Oh ya, mau makan siang di bawah apa delivery aja?” tanya Sarah kepada Shankara. “Delivery aja.” Sarah menganggukkan kepala. “Oke. Sushi?” “Boleh,” jawab Shankara seraya bangkit dari duduk. “Aku ke toilet bentar, ya.” Kemudian Shankara meninggalkan ruang dosen untuk pergi ke toilet yang berada di ujung lorong ruang dosen. Ketika Shankara tengah berjalan menuju toilet, tiba-tiba saja seseorang menabraknya yang membuat Shankara terdorong ke belakang. Orang yang menabrak Shankara kini sudah jatuh terduduk di lantai. Shankara menghela napas dalam ketika mengetahui siapa mahasiswi yang tadi menabraknya. “Sakit,” ucap mahasiswi yang sedang berusaha bangkit dari posisi duduknya. Tangan kanannya kini mengusap pantatnya yang tadi membentur lantai. “Asia,” kata Shankara dengan nada lelah. “Apa perlu saya mengingatkan kamu untuk tidak berlari di koridor yang ramai oleh orang?” Perempuan bernama Asia itu mengangkat kepala lalu membelalakkan mata. “Pak Shankara,” gumamanya tampak terkejut. “Maaf, Pak. Saya beneran nggak sengaja,” katanya buru-buru. “Maaf, ya, Pak.” Asia menundukkan kepala dalam. Shankara menghela napas dalam lalu berjalan melewati Asia yang masih mengoceh meminta maaf kepadanya. Asia Chitra Adinata, salah satu mahasiswi Shankara yang cukup membuat Shankara kerepotan karena kurangnya disiplin waktu. Beberapa kali Asia hampir terlambat datang ke kelasnya. Terkadang Shankara menginginkan jika Asia benar-benar datang terlambat ke kelasnya agar Shankara lebih leluasa memarahinya. Shankara memang tidak mengukai orang yang kelewat santai dan tidak disiplin. *** Asia celingukan mencari sosok Clara. Saat ini Asia sudah berada di kampus tempat Clara menempuh pendidikannya. “Udah bilang sama Clara?” tanya Cakra. Asia menganggukkan kepala. “Udah,” jawabnya. “Tapi, nggak tahu deh, dia di mana.” Ya, Asia ke kampus Clara ditemani oleh Cakra, teman kampus Asia sekaligus cowok yang Asia taksir. Kebetulan sekali Cakra sudah tidak ada kelas siang ini. Jadi, Asia bisa minta tolong cowok itu untuk menemaninya ke kampus Clara. Beruntungnya Cakra mengiyakan permintaan Asia itu. “Coba ditelepon deh,” kata Cakra memberi ide. “Iya, deh.” Asia mengeluarkan ponselnya lalu mendial nomor Clara. Panggilan pertamanya tidak diangkat. Begitu pula panggilan-panggilan setelahnya. Asia benar-benar tidak tahu kenapa Clara selalu mempersulit hidup Asia. “Nggak diangkat,” kata Asia dengan helaan napas dalam. “Ada kelas kali dia.” “Iya kali.” Asia yakin, meskipun tidak ada kelas, Clara pasti tetap akan membuat Asia menunggu. Karena Clara tahu bahwa saat ini Asia sedang sangat membutuhkan map itu. Dan bagi Clara, melihat Asia kesusahan itu sebuah kepuasan tersendiri. Ponsel Asia bergetar. Sebuah pesan dari kontak nama Kak Tisha masuk ke dalam ponselnya. Segera ia membuka pesan dari pemilik bimbel tempat Asia mendaftar menjadi guru les itu. Siang Asia, ada yang butuh guru privat, nih. Anak SD, semua mapel. Rumahnya nggak gitu jauh dari kampus kamu. Untuk harinya nanti kamu bisa diskusi sendiri sama orang tuanya. Kabarin aku segera, ya. -Kak Tisha- “Yes!” seru Asia senang. Asia memang sedang menantikan pekerjaan sampingan ini. Karena dengan adanya pekerjaan ini, Asia bisa punya alasan untuk tidak berada di rumah. Karena sejujurnya Asia sangat malas jika harus berada di rumah. Dan tentu aja Clara penyebabnya. Sebisa mungkin, Asia menghindari berada di rumah. Asia tidak sanggup melihat Clara dan mamanya saling menyombongkan diri mereka. Asia tidak suka. “Ada hal yang menggembirakan apa?” tanya Cakra tampak penasaran. “Gue dapat murid les,” jawab Asia tersenyum lebar seraya membalas pesan dari Tisha tadi. “Ah, lo jadi guru les privat, ya?” Asia menganggukkan kepala. “Soon,” katanya. “Lo bahagia banget,” kata Cakra terkekeh. “Selamat, ya, Asia.” “Thank you! Akhirnya setelah nunggu cukup lama, ada juga kerjaan buat gue.” Asia tersenyum lega. Membayangkan bisa berlama-lama di luar rumah sungguh menenangkan. “Kapan mulai ngajarnya?” “Nanti sore baru mau ke rumah calon murid gue. Please, doain semoga lancer.” Cakra kembali terkekeh. “Iya. Gue doain semoga lancar ya, Asia.” “Amin,” ucap Asia sepenuh hati. Tanpa sengaja matanya melirik ke arah jalanan yang berada di seberangnya. Di sana ia melihat sosok Clara tengah berjalan bersama teman-temannya. “Clara!” seru Asia seraya berlari ke arah saudari tirinya itu. Cakra mengikuti di belakangnya. Clara yang mendengar namanya dipanggil sontak saja berhenti dan berbalik. Ketika mengetahui bahwa Asia lah yang memanggilnya, seketika itu juga dia menghela napas kasar. “Map gue ..., mana map gue?” tanya Asia segera dengan napas tersengal-sengal. “Gue benar-benar butuh map gue sekarang,” tambahnya. “Siapa, Cla?” tanya perempuan yang berada di samping Clara seraya menatap penasaran ke arah Asia. Beberapa temannya yang lain pun memberi tatapan yang sama kepada Asia. “Kenalan,” jawab Clara seolah malu akan keberadaan Asia. Meskipun hal itu sangat menyebalkan, tapi Asia benar-benar tidak keberatan. Baginya, tidak dianggap oleh Clara tidak begitu menyakitkan. Karena baginya pun Clara tidak begitu penting. “Kalian duluan aja, deh. Nanti gue nyusul,” kata Clara kepada teman-temannya. Teman-temannya itu menganggukkan kepala lalu berjalan meninggalkan Clara. “Ngerepotin banget sih, lo,” kata Clara kepada Asia dengan jutek setelah teman-temannya tidak tampak lagi. “Gue tahu,” balas Asia tidak ambil pusing. “Jadi, map gue mana?” Clara melirik ke arah Cakra yang berada di belakang Asia. Dari tatapan matanya, Clara tampak agak tertarik dengan cowok berkemeja kotak-kotak itu. “Lo temennya, Asia?” tanyanya kepada Cakra. Cakra menganggukkan kepala. “Iya.” “Kenalin, gue Clara,” kata Clara tersenyum ke arah Cakra seraya mengulurkan tangannya. Melihat Clara yang sedang berusaha menarik perhatian Cakra entah mengapa membuat Asia sebal sendiri. “Gue Asia,” balas Asia menjabat tangan Clara, tidak membiarkan Clara dan Cakra berkenalan secara resmi. “Dan gue benar-benar butuh map gue sekarang juga. Please,” tambahnya. Clara mendengus kesal seraya melepaskan jabatan tangan Asia. Tanpa mengatakan apa-apa, Clara langsung saja berjalan melewati Asia. “Mau ke mana lo?” tanya Asia panik. “Lo sedang butuh map sialan lo itu apa enggak?” balas Clara makin kesal. “Ah, iya,” timpal Asia seraya mengikuti Clara yang sedang berjalan menuju arah parkiran. “Hubungan kalian benar-benar bikin gue nggak bisa berkata-kata,” ucap Cakra pelan kepada Asia. “Gue kan udah pernah bilang kalau Clara, saudari tiri gue itu, menyebalkan,” balas Asia berbisik. Cakra terkekeh pelan mendengar perkataan Asia itu. *** Asia melirik ke arah jam di pergelangan tangannya. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 13.50. Asia hanya punya waktu sepuluh menit lagi untuk bisa sampai di ruang dosen dan mengumpulkan tugasnya di meja Shankara. Asia benar-benar berharap dosen galaknya itu tidak ada di tempat, jadi, meskipun telat mengumpulkan tugas, Asia tidak akan ketahuan. Kaki Asia terus saja berlari menembus kerumunan. Lalu, ia berbelok menuju ke arah lift untuk naik ke lantai empat di mana ruang dosen berada. Namun, lift tidak kunjung terbuka. Selain itu, banyak orang yang sedang mengantre di depan lift. Asia kembali menatap jam di pergelangan tangannya. Kurang lima menit lagi sudah pukul dua siang. Mungkin sebaiknya Asia menggunakan tangga saja. Asia berbalik, berlari menuju arah tangga dan mulai menaikinya. Meskipun napasnya terasa berat, tapi ia tidak menyerah dan masih saja berlari menuju lantai empat. Dan ketika sampai di lantai empat, ia segera menuju ruang dosen di mana meja Shankara berada. Mata Asia menyisir ruangan itu, mencari sosok Shankara. Namun, sejauh mata memandang, ia tidak dapat menemukan dosennya itu. Bahkan, ruang dosen saat ini sedang sepi. Tidak ada siapa pun di ruangan ini. Dengan helaan napas lega Asia berjalan santai ke meja Shankara. Matanya melirik ke arah jam di pergelangan tangannya. “Tepat jam dua,” gumamnya dengan napas agak tersengal-sengal karena habis berlari. Ketika Asia hendak meletakkan tugasnya ke atas meja Shankara, tiba-tiba saja seorang pria muncul dari balik meja. Asia yang kaget karena kemunculan tiba-tiba pria itu sontak langsung melemparkan tugasnya itu ke arah pria tersebut sambil berteriak. “Ah!” teriak Asia seraya mundur satu langkah. Namun, ketika menyadari bahwa pria yang tiba-tiba muncul dari bawah meja adalah Shankara, Asia buru-buru mendekat ke arah meja dengan ekspresi wajah panik. “Pak! Maaf…. Saya beneran nggak sengaja,” katanya mengambil tugas miliknya yang tadi ia lempar ke arah Shankara. “Saya kaget, Pak. Saya benar-benar minta maaf.” Shankara menatap Asia dengan ekspresi dingin. Tampak sekali bahwa dosennya itu sedang kesal. “Kamu mau ngumpulin tugas?” tanya Shankara terdengar tidak peduli. Asia buru-buru menganggukkan kepala. “Iya, Pak. Ini tugas saya,” sahutnya mengulurkan tugasnya ke arah Shankara yang sedang duduk di kursinya, di balik meja. “Batasnya kan jam dua siang,” kata Shankara. “Tadi saya sampai sini jam dua, Pak,” balas Asia seraya melirik ke arah jam di pergelangan tangannya yang sedang menunjukkan pukul dua siang lebih satu menit. “Ini baru telat satu menit karena tadi saya kaget.” Shankara menyentuh layar ponselnya yang berada di atas meja. Ponsel menyala. “Jam dua lebih enam menit,” kata Shankara enteng. “Jam saya baru pukul dua lebih satu menit, Pak!” ucap Asia menunjukkan jam tangannya kepada Shankara. “Jam kamu telat lima menit.” “Tapi, Pak—” “Tidak ada tapi,” kata Shankara seraya bangkit dari duduknya. “Saya anggap kamu tidak mengumpulkan tugas saya,” tambahnya cuek. “Pak,” rengek Asia mulai panik. “Saya tadi harus ngambil tugas saya yang kebawa di mobil orang. Bahkan tadi saya sudah lari dari parkiran motor. Saya juga tadi lari pas menaiki tangga buat ke sini. Saya—” “Asia,” potong Shankara. “Saya tidak peduli,” lanjutnya seraya berjalan meninggalkan ruang dosen. “Pak! Saya mohon,” ucap Asia masih mengekori Shankara. Shankara mengabaikan ucapan Asia dan masih saja berjalan dengan langkah lebar-lebar. “Pak Shankara, saya mohon terima tugas saya yang sudah saya kerjakan dengan susah payah,” kata Asia masih tidak menyerah. Shankara tiba-tiba berhenti. Asia yang berada di belakang Shankara sontak saja menabrak punggung dosennya itu. “Maaf, Pak,” kata Asia seraya mengusap jidatnya yang terkena punggung Shankara sambil melangkah mundur. “Saya tetap tidak akan menerima tugas kamu,” ucap Shankara dengan tegas. “Dan berhenti mengikuti saya. Saya mau ke toilet.” Setelah mengucapkan itu Shankara langsung memasuki toilet khusus dosen yang berada di sisi kanan mereka. “Nyebelin! Nyebelin! Nyebelin!” gumam Asia kesal seraya menonjok udara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD