Bab 16

1221 Words
“Miss Asia sama Kak Kalila hebat!” seru Lavanya seraya bertepuk tangan sambil melompat-lompat girang. “Bisa dapetin dua boneka! Keren!” Lavanya mengacungkan dua jempolnya ke arah Asia dan juga Kalila. “Iya lah, kami memang keren,” sahut Kalila dengan percaya diri. Lavanya menganggukkan kepala dengan ekspresi wajah senang. “Iya,” katanya setuju. “Ngomong-ngomong, kalau boleh tahu, tadi Lavanya kenapa pergi ninggalin papa?” tanya Asia hati-hati. Lavanya tampak diam sejenak lalu, tanpa menoleh ke arah Asia, Lavanya menjawab, “Habis papa nyebelin, Miss.” “Nyebelin gimana?” tanya Kalila. “Papa kan katanya mau ngajakin jalan-jalan berdua ke mal. Tapi, tadi malah ada Tante Sarah. Papa ingkar janji. Lavanya nggak suka.” Jawaban Lavanya itu membuat Asia dan Kalila saling menoleh. Mereka berdua sama-sama tahu siapa itu Sarah. Sarah adalah dosen mereka sekaligus kekasih Shankara. Meskipun Asia tahu jika Lavanya tidak menyukai pacar papanya, tapi, tetap saja hal ini mengejutkannya. Terlebih, saat ini dirinya tahu jika Sarah lah yang Lavanya maksud. “Terus Tante Sarahnya sekarang di mana?” tanya Asia lagi. Lavanya mengangkat kedua bahunya tak acuh. “Nggak tahu.” Asia menganggukkan kepala membalas jawaban Lavanya itu. Asia merasa dirinya cukup paham bagaimana perasaan Lavanya saat ini. Gadis kecil itu hanya ingin menghabiskan waktu bersama dengan papanya yang sering kali sibuk. Namun, karena kedatangan Sarah, Lavanya harus merasakan kecewa karena waktu bersama dengan papanya jadi berkurang. Asia benar-benar mengerti posisi Lavanya saat ini. Asia menoleh ke arah Shankara yang tampak sedang berbicara dengan Rasya. Di sana, tidak ada Sarah. Sejak pertama kali bertemu dengan Shankara di mal pun Asia tidak melihat sosok kekasih Shankara itu. Apa mungkin Sarah langsung pamit pulang ketika tahu jika Lavanya tidak suka melihat kedatangannya? Lalu, apa Sarah tahu jika Lavanya sempat kabur dari sisi Shankara? Asia berjongkok di depan Lavanya seraya mengamati murid lesnya itu. “Lavanya,” katanya dengan lembut. “Miss tahu banget kalau kamu sebel, marah dan kesel sama papa kamu karena tiba-tiba saja muncul Tante Sarah ketika kamu sama Papa kamu sedang quality time. Miss benar-benar paham apa yang kamu rasain. Tapi, lain kali jangan langsung kabur dari sisi papa, ya?” lanjut Asia. “Kasihan papanya tadi nyariin Lavanya sampai kebingungan. Papa kamu takut kalau kamu hilang. Kan Lavanya hanya ada satu di dunia. Kalau kamu hilang, nanti papa sedih. Miss juga bakal sedih. Jadi, lain kali kalau kamu marah atau kesel sama papa, jangan kabur dan lari gitu aja, ya?” “Tapi, Miss, Lavanya kan sebel banget sama papa. Sebel sampai malas lihat papa,” kata Lavanya sambil cemberut. Asia menganggukkan kepala. “Miss tahu,” balasnya. “Miss juga pernah kok, sebel sama papanya Miss. Tapi, Miss nggak pernah lari dari Papanya Miss. Soalnya, kalau Miss kabur, kasihan Papanya Miss Asia pasti sedih. Dan Miss nggak mau kalau papanya Miss sedih,” tambahnya. “Kamu juga nggak mau kan kalau papa kamu sedih? Miss kan tahu kalau Lavanya itu anak baik dan sayang sama papa. Iya kan?” Lavanya menganggukkan kepala. “Iya.” “Jadi, lain kali kalau Lavanya marah sama papa, Lavanya bilang aja ke papa langsung. Bilang apa yang bikin Lavanya marah. Dan kenapa Lavanya marah. Biar papa tahu. Ya?” Dengan helaan napas dalam Lavanya menganggukkan kepala. “Iya, Miss,” jawabnya. Asia tersenyum seraya mengelus rambut Lavanya dengan sayang. “Lavanya memang anak baik,” pujinya yang membuat Lavanya tersenyum. “Kalau gitu, kamu mau main apa lagi?” tanyanya. Lavanya diam sejenak seraya mengamati sekitarnya. Lalu, tatapannya berhenti pada mesin permainan basket yang berada di dekat mereka. “Itu, Miss,” katanya menunjuk mesin permainan basket itu. “Kamu mau main basket?” “Iya, Miss.” “Tapi, Miss nggak gitu bisa main basket,” kata Asia. “Apa papa kamu jago main basket.” “Iya. Papa jago banget main basket.” “Nah, gimana kalau ajakin papa kamu main basket?” ucap Kalila. “Ngajakin papa?” Asia menganggukkan kepala. “Iya, benar. Ajakin papa kamu main,” jawabnya. “Kasihan kan masak dari tadi hanya lihatin kita main aja.” Asia menoleh ke arah di mana Shankara dan juga Rasya berada. Lavanya dan Kalila pun melakukan hal yang sama. Mereka berdua menoleh ke arah dua manusia itu berada. Lavanya tampak menghela napas dalam seraya menganggukkan kepala. “Iya, deh. Papa boleh main. Uncle Rasya juga boleh main,” katanya. “Tapi, aku nggak mau jadi orang yang ngajakin mereka, Miss. Aku kan masih agak sebel sama papa.” Lavanya menggelembungkan pipinya sambil memasang wajah sebal. “Ya udah, biar Miss kamu aja yang ngajakin papa kamu ke sini,” sahut Kalila dengan semangat. Asia menoleh cepat ke arah Kalila dengan kernyitan di dahi. Kenapa harus Asia? Lavanya menganggukkan kepala. “Iya. Tapi, Miss jangan bilang ke papa kalau aku bolehin papa main.” Asia menghela napas dalam. “Ya udah. Kalau gitu Miss nyamperin papa kamu dulu, ya. Miss akan ngajakin papa kamu sama Pak Rasya main basket.” “Iya, Miss.” Lavanya menganggukkan kepala. Kemudian dengan enggan Asia berbalik untuk berjalan menghampiri Shankara dan juga Rasya. Kedua pria itu tampak tengah menatap Asia dengan raut wajah bertanya-tanya. “Jadi, gimana? Apa Lavanya sudah tidak marah lagi sama saya? Atau Lavanya pengen sesuatu?” tanya Shankara ketika Asia sudah berada di depannya. “Masih marah sedikit,” jawab Asia. “Tinggal diajakin ngobrol saja, Pak, nanti di rumah. Ngobrol baik-baik gitu. Dengerin Lavanya. Jangan dimarahi anaknya.” “Kamu ngajarin saya cara ngasuh anak?” tanya Shankara dengan sebelah alis terangkat. Buru-buru Asia menggelengkan kepala. “Nggak lah, Pak. Mana berani saya ngajarin Bapak,” katanya kelabakan. “Saya kan hanya mencoba menjadi penengah yang baik,” tambahnya lirih. “Udah, dengerin kata Asia,” timpal Rasya terkekeh pelan seraya menepuk punggung Shankara. “Asia kan pawangnya Lavanya.” “Lo pikir anak gue singa apa, ada pawangnya segala,” gerutu Shankara melirik sebal ke arah Rasya. “Ya habis, lo sendiri saja nggak mampu bikin anak lo nurut,” balas Rasya enteng. “Malah dia lebih nurut ke Asia.” Asia melirik sebal ke arah Rasya. Bisa-bisanya dosennya ini malah jadi kompor. Kalau begini ceritanya, Shankara malah tambah kesal dengan Asia. “Siapa bilang kalau Lavanya—” “Permisi, Pak,” kata Asia memotong perdebatan kecil antara Shankara dan juga Rasya. Kedua dosennya itu seketika menoleh ke arah Asia. “Saya mau ngajakin Bapak berdua buat main permainan mesin basket yang ada di sana,” lanjutnya menunjuk ke arah di mana mesin itu berada. Di sana Kalila dan Lavanya tampak tengah memeluk boneka yang mereka menangkan sambil mengobrol dan tertawa. “Kamu mau ngajakin main basket?” tanya Shankara dengan nada tidak percaya. “Well, bukan saya sih, Pak, sebenarnya yang ngajakin main. Lavanya yang pengen ngajakin main. Tapi, dia nggak mau ketahuan kalau dia mau ngajakin Anda main jadi ya saya yang mewakilkan,” jawab Asia. “Anak lo emang gengsinya gede banget kayak lo,” timpal Rasya terkekeh pelan. “Kalau Pak Shankara nggak mau juga nggak apa-apa,” kata Asia. “Biar saya yang—” “Siapa bilang nggak mau? Ayo ke sana,” potong Shankara seraya berjalan menuju ke arah di mana anaknya berada. Asia menghela napas dalam seraya geleng-geleng kepala. Kenapa Asia merasa seperti sedang mengasuh dua orang bocah, sih?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD