Bab 15

1119 Words
“Lavanya,” panggil Asia ketika ia sudah berada di belakang Lavanya dan juga Kalila. Kedua orang itu menoleh ke arah Asia. “Miss udah minta izin ke papa kamu buat kita main sepuasnya,” lanjutnya. “Kenapa harus minta izin ke papa?” tanya Lavanya masih tampak kesal dengan papanya itu. “Karena bagaimanapun beliau kan papa kamu, orang yang bertanggungjawab sama kamu, Lavanya. Jadi, meminta izin itu sebuah keharusan,” kata Asia mencoba memberi Lavanya pengertian. Lavanya menghela napas dalam lalu menganggukkan kepala. “Ya udah, mau main apa, nih kita?” tanya Asia seraya mengamati sekitar, melihat beberapa mesin permainan yang berada di dekatnya. “Main capit boneka yang besar gimana, Miss?” Asia menganggukkan kepala menyetujui. “Oke. Kita main capit boneka yang besar. Kami berdua pasti akan dapetin boneka yang kamu mau,” katanya yang membuat Kalila menganggukkan kepala. “Beneran?” tanya Lavanya dengan mata berbinar-benar. “Bener lah! Miss kamu sama Kak Kalila tuh paling jago main capit boneka,” jawab Kalila menyombongkan diri. “Kita pasti akan mengambil semua boneka yang ada di dalam mesin capit boneka!” “Betul!” timpal Asia seraya tos dengan Kalila. “Asyik!” seru Lavanya senang. “Ya udah, tunjukin mesin capit boneka mana yang harus kita taklukan,” kata Kalila kepada Lavanya. “Oke!” balas Lavanya dengan semangat. Kemudian, Lavanya memimpin jalan. Asia dan Kalila mengekor di belakang bocah cilik itu. Kalila menoleh ke arah Asia sambil menarik lengan baju temannya itu. Sontak saja Asia menoleh ke arah Kalila dengan tatapan bertanya. “Ada apa sebenarnya?” tanya Kalila agak berbisik, takut jika Lavanya mendengarnya. “Kenapa Lavanya kabur dan marah sama Pak Shan?” Asia mengangkat kedua bahunya. “Nggak tahu,” jawabnya. “Nggak coba tanya sama anaknya?” tanya Kalila lagi menunjuk ke arah Lavanya dengan dagunya, yang ada beberapa meter di depan mereka. “Nanti,” jawab Asia. “Biarin dia happy-happy dulu. Takutnya malah kalau tanya-tanya sekarang, dianya ngira kita kepo. Jadi, nanti aja tanyanya kalau emosi Lavanya sudah mereda.” Kalila menganggukkan kepala mengerti. “Kal,” panggil Asia. “Kalau misal lo mau balik, atau mau makan, belanja, atau ke mana kek, lo pergi aja nggak apa-apa,” lanjutnya. “Gue jadi nggak enak sama lo kalau harus ikutan jagain Lavanya.” Kalila tersenyum lebar ke arah Asia sambil menampakkan ekspresi penuh arti. Lalu, tangannya melingkar ke lengan Asia. “Gue nggak masalah kok, jagain anaknya Pak Shan,” ucapnya. “Siapa tahu kan, Pak Shan akan mengingat kontribusi gue ini dan sebagai ucapan terima kasihnya, dia akan nambahin nilai gue.” Asia tertawa pelan seraya memutar bola matanya bosan. “Dasar lo tuh, ya.” “Ya masak lo doang yang bakal nambah nilainya. Gue kan juga mau, Asia,” kata Kalila lagi. “Nggak mungkin nilai gue tiba-tiba nambah hanya karena gue jagain anaknya Pak Shan,” balas Asia skeptis. “Mungkin lah,” ucap Kalila dengan optimis. “Selain itu, karena jagain Lavanya, gue juga ketemu sama Pak Rasya. Kapan lagi coba, gue akan diamati sama Pak Shan dan Pak Rasya kayak sekarang ini.” Kalila menoleh ke arah belakangnya, di mana Shankara dan Rasya berada. Kedua dosennya itu memang tampak tengah mengamati Asia, Kalila dan juga Lavanya dengan seksama. “Jadi salting kan gue,” tambah Kalila terkikik geli. “Ew,” balas Asia seraya melepaskan lengan Kalila yang melingkar ke lengannya. “Jijik tahu.” Ucapan Asia itu membuat Kalila tertawa. “Lo tuh, aneh. Dosen ganteng-ganteng kayak mereka lo anggurin gitu aja.” “Udah, jauh-jauh lo dari gue. Gue nggak mau terjangkit penyakit genit lo ini.” “Mana ada kayak gitu,” kata Kalila seraya kembali mengaitkan lengannya ke lengan Asia. “Ya udah, kalau lo nggak mau. Buat gue aja semuanya.” “Ambil lah semuanya, Kalila,” balas Asia dengan yakin. “Siap!” Asia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan temannya ini. Mata keranjang Kalila memang sudah tidak bisa diselamatkan lagi. “Miss Asia, Kak Kalila,” panggil Lavanya yang saat ini sudah berada di depan mesin capit boneka berukuran besar. “Yang ini!” tambahnya menunjuk mesin capit itu. “Oke,” kata Asia dan Kalila secara bersamaan. Di kejauhan, Shankara tidak bisa melepaskan pandangan matanya dari sosok Lavanya yang saat ini tampak asyik bermain capit boneka. Meskipun Shankara sudah merasa lega karena akhirnya Lavanya ketemu, tapi, mendapati putri kecilnya itu masih marah kepadanya sungguh membuat hati Shankara tidak tenang. “Nggak akan hilang,” kata Rasya yang berada di samping Shankara. “Gue tahu,” jawab Shankara. “Jadi, Lavanya masih belum merestui hubungan lo dengan Sarah, ya?” Shankara menganggukkan kepala menjawab pertanyaan dari Rasya itu. “Iya,” jawabnya. “Padahal, Sarah udah mencoba mengambil hati Lavanya dengan mainan, boneka dan segala macamnya. Tapi nggak berhasil. Lavanya kayak nggak suka sama Sarah. Dan gue nggak tahu kenapa Lavanya nggak suka sama Sarah. Maksud gue, kita berdua tahu kalau Sarah baik dan perhatian. Dia juga terlihat sayang sama Lavanya. Hanya saja, Lavanya masih belum mau membuka hatinya buat Sarah,” lanjutnya dengan helaan napas dalam. “Pelan-pelan aja,” balas Rasya. “Kudu sabar.” “Gue tahu,” kata Shankara menganggukkan kepala. “Tapi, melihat Asia yang dengan mudahnya mengambil hati Lavanya bikin gue heran sendiri,” tambahnya seraya mengernyitkan dahi dengan tatapan ke arah Asia yang tengah sibuk menyemangati Kalila bersama dengan Lavanya. “Padahal mereka baru kenal selama semingguan. Tapi, lihat deh. Mereka bisa seakrab itu. Bahkan, Lavanya sering memuji Asia. Gue benar-benar nggak paham.” Ucapan Shankara itu membuat Rasya tertawa. “Mungkin karena mereka berdua masih sama-sama bocah,” katanya mengamati Asia yang sedang melakukan tos dengan Lavanya karena Kalila berhasil mencapit satu buah boneka yang berukuran cukup besar. “Sepertinya memang begitu,” balas Shankara mengangguk mengerti. “Gue jadi takut kalau Asia membawa pengaruh buruk buat Lavanya.” “Kalau dilihat-lihat, Asia dan temannya itu bukan tipe cewek bandel, deh. Cara berpakaian mereka juga normal, nggak pakai pakaian kurang bahan. Cara mereka berbicara juga cukup sopan terhadap orang yang lebih tua. Ya, meskipun mereka bukan mahasiswi terpintar tapi, mereka juga bukan yang bodoh. Kayaknya Lavanya akan aman-aman saja bergaul dengan Asia ataupun Kalila.” “Asia nggak disiplin. Sering terlambat.” “Kalau sering terlambat, apa lo pernah nanya alasan dia terlambat kenapa?” Shankara menggelengkan kepala. “Gue yakin dia sengaja.” Rasya terkekeh pelan. “Lo dan semua pikiran negatif lo itu emang susah buat dipisahkan, sih, Shan.” Memangnya ada alasan apa lagi selain sengaja terlambat? Karena Asia hampir melakukan hal itu setiap kelas Shankara. Bahkan, tugas terakhir juga Asia terlambat mengumpulkannya. Agak susah bagi Shankara untuk berpikir positif terhadap Asia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD