Bab 6 – Ketemu Mantan

1014 Words
Setelah 2 minggu sejak lebam yang bersarang di pipi wanita berambut sepungung itu menghilang, kini terdapat luka lagi di sudut bibir dan pelipisnya. Janta yang tengah mengamati Ghista dari ruang depan, membuatnya tak habis pikir dengan kelakuan ayahnya.  Mana ada orang tua yang tega menghajar anak kandungnya sendiri hanya demi berjudi dan mabuk untuk kesenangannya sendiri tanpa memikirkan kebutuhan keluarganya.  Hari ini Janta akan bertemu klien di kafe dekat dengan kantornya. Ia pun mengajak Ghista agar bisa mengobrol dengannya secara empat mata.  “Ghis, ikut saya, yuk!” ajak Janta, saat Ghista sedang berdiskusi dengan tim dekorasi dan perlengkapan.  Ghista menoleh saat dirinya diajak bicara dari arah belakangnya. “Ke mana, Pak?”  “Kafe deket sini.”  “Tapi saya lagi diskusi untuk pernikahan yang akan digelar dua bulan lagi, Pak.”  “Itu bisa di-handle sama Dian.” Janta menoleh. “Bisa, ‘kan, Yan?”  “Bisa Pak, beres pokoknya,” jawab Dian, semangat.  “Tuh!” Janta mengeluarkan kunci mobilnya. “Ayo!” ajaknya, menggandeng Ghista setelah mendapat godaan dari Dian agar menggandeng tangan Ghista.  Ghista menarik tangannya, dengan alibi ingin mengucir rambutnya. “Sebentar Pak!” Ia berhenti di depan mejanya untuk mengambil laptop dan tasnya.  Janta yang dilepas tangannya berhenti melihat Ghista mengucir rambutnya dan mengambil laptop. Mereka berjalan ke luar bersamaan. “Masuk, Tuan Puteri!” Janta membuka pintu mobil, mempersilakan Ghista masuk ke mobilnya. Gadis itu hanya membalasnya dengan senyuman.  Awan yang tak nampak hari ini sama halnya seperti perasaan Janta dalam menunggu jawaban dari Ghista. Ia akan terus berusaha memperjuangkan cintanya meskipun mereka sudah menua nanti.  “Makasih, Pak.” Ghista masuk mobil, lalu mengaitkan seatbelt-nya dan menaruh laptopnya ke kursi belakang. “Nanti lain kali nggak usah, Pak. Nggak enak diliat sama yang lain,” ucapnya saat Janta sudah duduk di kemudinya.  “Nggak apa-apa, saya senang melakukannya. Saya sedang berusaha berjuang untuk cinta saya agar dia tahu.” Janta langsung menjalankan mobilnya setelah selesai bicara pada Ghista.  Perempuan yang sedang ditunggu cintanya itu melihat Janta, menatapnya seperti menelisik dan mengerutkan kening membuat Janta ikut menatapnya.  “Kenapa melihat saya seperti itu?” Tidak salah, ‘kan, jika Janta sangat berharap gadis di sebelahnya juga memiliki perasaan yang sama dengannya? Ia telah menunggu selama 4 tahun, sejak Ghista kerja dengannya.  “Bapak membicarakan saya?”  “Oh.” Janta membelokkan mobilnya sambil berkata, “Kalo kamu peka, ya, syukur.”  “Jangan berharap untuk mendapat jawaban karena saya tidak akan memberi.” Ghista menghadap ke depan dengan tangan bersedekap.  “Kenapa? Apa ada yang salah dengan perlakuan saya ke kamu? Jika ada, bilang aja! Saya akan ubah.”  “Tidak ada, hanya saja perlakuan Bapak berlebihan,” jawab Ghista cuek.  “Jangan dipikirkan! Saya senang melakukannya karena untuk orang tercinta,” kerlingnya, lalu menghadap ke depan. Jalanan hari ini terasa lengang, terasa seperti libur lebaran saat Jakarta ditinggal mudik oleh warganya. Andai Jakarta seperti ini terus mungkin akan memperbaiki kualitas udara walau hanya beberapa persen saja.  “Yuk, turun!” ajak Janta setelah mematikan mobilnya.  Ghista mengambil laptop dan tasnya, lalu turun dan mengekor di belakang Janta.  Kafe yang dikunjungi kali ini berbeda dari waktu lalu. Banyak pernak pernik yang menghiasi dinding, juga potongan kayu yang berbentuk balok panjang memisahkan meja satu dan yang lainnya. Kursi memanjang di sisi meja, dan kursi single di depan meja bar. Cahaya yang redup di bagian meja, berwarna kuning dan berwarna putih di bagian meja bar terlihat lebih terang.  “Angel?” sapa Janta pada perempuan yang ia lihat di meja sebelah pintu masuk.  “Lho... Janta?” tunjuk perempuan yang disapa Angel, lalu keluar dari mejanya menghampiri Janta.  Mereka bercipika-cipiki seperti melepas rindu, karena lama tak bertemu. Ghista melihat Janta memegang pinggang perempuan di depannya saat perempuan itu memeluk Janta.  “Ketemu klien di sini?” tanya Angel.  “Iya... eh, kenalin. Ghista, ini Angel dan Angel, ini Ghista.” Janta berbisik di telinga Angel, agar Ghista tidak mendengar. “calon masa depan gue. Cantik, ‘kan?”  “Oh.... gue mantannya Janta.” Ada penekanan di kata mantan agar Ghista tahu.  Perempuan yang mengaku mantan Janta itu adalah Angelica Hairnis. Mantan pacar yang juga teman masa kecil Janta. Angel tinggal di luar negeri saat kuliah karena orang tuanya menginginkan sang anak bisa meneruskan usaha orang tuanya.  “Ghista,” sapa Ghista ramah, ia memberikan senyum terbaiknya.  Angel beralih menatap Janta. “Eh, Ta, nanti gue ke rumah, ya? Udah kangen sama tante.”  “Oke, nyokap pasti juga seneng ketemu lo lagi. Nanti kabar-kabar aja, gue ke meja gue dulu.” Mereka berpisah dengan cipika-cipika tentunya dan tangan Janta kembali memegang pinggang Angel.  Hal ini membuat hati Ghista terasa nyeri. Ia menepuk pelan di mana letak hatinya agar membaik, tapi percuma. Tidak mengurangi sedikit pun. Setelah sampai di mejanya, perempuan yang selalu memakai sepatu berwarna abu-abu itu izin ke toilet.  Ghista menatap pantulan wajahnya, dengan seksama ia memerhatikan kedua matanya, dengan pelan meraba setiap sisi, lalu membasuhnya dengan air yang telah ia nyalakan sejak tadi. Ia memang tidak secantik Angel, merasa minder? Pasti. Namun, dirinya juga perlu mengingat bahwa tidak ingin memiliki hubungan adalah keputusannya.  Setelah dirasa cukup, Ghista kembali ke mejanya.  “Maaf, lama.” Ghista duduk di samping Janta.  “Aku tadi memesankan shushi untukmu. Apa kamu mau ganti yang lain?” bisik Janta, mendekatkan tubuhnya pada Ghista.  Perempuan di sebelah Janta hanya menggelengkan kepala, lalu berkata pada dua orang di depannya. “Perkenalkan saya Ghista. Saya yang akan membantu Cici dan Kokoh mempersiapkan semuanya. Nanti—.”  “Sambil makan aja, deh, Mbak. Saya udah laper soalnya,” potong Cici, ia kemudian menyantap hidangan yang sudah siap di depannya sejak tadi.  “Baiklah. Silakan dimakan!”  Mereka menyantap makanan yang dipesan tadi, Janta memberikan tisu pada Ghista karena di samping bibirnya terdapat mayones. Karena Ghista tidak tanggap, menautkan kedua alisnya sambil menyuapkan shushi ke mulut, Janta dengan jantannya mengelap sisa mayones yang tertinggal di sudut bibirnya. Ghista merasa kikuk, dan malu dengan kliennya.  “Maaf, ada mayones,” bisik Janta. Ghista hanya tersenyum sambil mengelap bibirnya dengan tisu yang ada di depannya.  “Kalian so sweet banget, sih. Udah lama pacaran?” tanya Cici.  Ghista terkejut, ia langsung membantah jika mereka tidak pacaran. Janta memang selalu berbuat seolah-olah mereka telah jadian di depan klien.  Perencanaan pernikahan telah mencapai sepakat, kini mereka berdua telah berada di dalam mobil mengantarkan Ghista pulang.  “Ghis, minggu depan ikut ke Singapura, yuk!” Janta menoleh ke arah perempuan di sebelahnya. Tangan kiri memegang kopling setelah lampu merah menyala dan mobil berhenti.  “Hah? Enggak, deh. Bapak ngajak yang lain aja!” Ghista tidak mau jika pergi menginap hanya berdua, terlebih ke luar negeri. Ia tidak pernah pergi hingga menginap dengan lelaki.  “Sama Chika juga, kok. Mau, ya? Nanti yang ngecek keuangan di sana siapa? ‘kan, itu udah jadi tugasmu. Kalo mau besok biar Chika sekalian beli tiketnya juga.” Lagi-lagi Janta menggunakan tugas agar Ghista mau.  “Emmm.... Ok.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD