Bab 5 – Lebam

1110 Words
“Ghis, muka Lo kenapa?” tanya Chika setelah Ghista sampai di kantor. Ia baru saja akan duduk, namun ditanyai hal yang tidak ingin ia ceritakan.  “Hah? Kenapa emangnya? Perasaan nggak kenapa-kenapa, kok,” elaknya. Gadis berambut sepunggung itu langsung menutupi pipinya dengan rambut panjangnya. Tidak sia-sia memiliki rambut panjang, nyatanya sangat berfungsi saat seperti ini. Ia mengambil bolpoin di tas untuk mengerjakan laporannya kemarin bersama klien dengan Janta.  “Lo nggak mau cerita ke gue, itu pipi kenapa?!” Perempuan yang memiliki lebam di sudut bibir dan pelipis itu hanya diam, mengerjakan laporannya. “Gue tunggu nanti pas istirahat makan siang!” Chika berjalan ke meja kerjanya.  Ghista melanjutkan pekerjaannya. Janta baru saja datang saat ia akan menulis hasil rapat dengan klien kemarin.  “Siang, Ghis,” sapa Janta sambil memberikan senyum tampannya.  Sambil menutupi pipinya, Ghista menjawab, “Siang, Pak.”  Janta yang akan pergi ke ruangannya menatap Ghista lebih lama, ada luka lebam di pipinya. “Ghis, nanti jam sepuluh ke ruangan saya, ya!”  “Baik, Pak.” Ghista melihat jam di dinding, baru pukul setengah sepuluh, Ghista masih bisa melanjutkan laporannya sebelum ia ke ruangan Janta.  Janta berlalu ke meja Chika. “Chik, ke ruangan gue sekarang!”  Chika yang baru saja berhias diri, mengikuti Janta di belakangnya. Saat tiba di ruangan Janta, ia ,angsung mengunci pintunya.  “Kenapa, Ko?” tanya Chika membalikkan badan karena sepupunya ada di belakang pintu, di belakangnya.  “Pelanin suara lo! Nanti yang lain denger.” Lelaki jangkung itu berjalan ke mejanya, diikuti Chika yang duduk di kursi depannya. “Gimana kasusnya? Udah ada kemajuan?”  “Belum. Masih sama kayak yang kemarin. Susah kalo udah ketergantungan, dia selalu nyari terus tiap Lisa lagi bareng.” Lisa adalah adik Chika yang kuliah semester 4.  “Tapi Lisa nggak ikut-ikutan, kan?”  “Enggaklah. Dia udah sumpah ke gue kalo dia nggak ikut-ikutan. Enaknya kapan ngomong ke Ghista?”  “Ntar dulu, dia lagi nggak baik. Tadi pipinya ada lebam. Lo belum liat?”  “Oh, itu. Udah. Dia bakal jelasin ntar pas makan siang. Kayaknya itu karena ulah bokapnya, deh. Bukan kali ini doang, dulu, ‘kan, juga pernah. Digampar pas bokapnya pulang dari judi,” jelas Chika, memberitahu. Ghista pernah cerita jika dia selalu mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari sang ayah ketika pulang dari judi dan dalam keadaan mabuk.  Janta manggut-manggut, jari tangannya mengetuk-ngetuk meja. Kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika sedang berpikir. Masih ada waktu sepuluh menit, ia menyuruh Chika untuk keluar karena Ghista akan ke ruangannya saat jam sepuluh. Chika pun keluar dari ruangan Janta.  Perempuan yang ternyata sepupu Janta itu duduk di mejanya saat Ghista bersiap ke ruangan bosnya. Ia melihat Ghista sedang membenahi letak rambutnya yang membuat pipinya terlihat jelas.  Setelah dirasa cukup tertutup, dengan baju lengan panjang warna biru dan celana bahan pensil se mata kaki, tak lupa sepatu pantofel abu-abu usang yang setia menemani ke manapun ia melangkah, Ghista berjalan ke ruangan Janta dengan membawa hasil laporan yang ia tulis tadi.  Tok tok tok  Ghista mengetuk pintu, menunggu si pemilik ruangan mengizinkan masuk.  “Iya, masuk!”  Ghista masuk, dan memberikan hasil laporannya pada Janta. Pemilik mata bulat itu kembali berdiri di depan meja kerja bosnya.  “Duduk, Ghis!”  “Makasih, Pak.” Ghista lalu duduk dan memainkan jarinya di atas paha dan matanya menunduk. Kebiasaan baru ketika sedang berada di ruangan Janta.  Sang bos meneliti laporan yang Ghista beri, lalu mengecek semuanya. “Ini masalah dekorasi, oke. Perias pengantin, oke. Katering juga oke. Masalah gedung? Untuk masalah gedung saya belum telepon ke sana, sih. Nanti, deh, saya telepon,” katanya yang masih melihat laporan di mejanya.  Janta meletakkan laporan dan bolpoinnya di meja, lalu menatap Ghista dengan tangan memangku janggutnya. “Itu muka kenapa, Ghis?”  “Hah? Muka saya? Enggak kenapa-kenapa, Pak,” jawab Ghista kelabakan memegang pipinya agar tertutup.  Lelaki itu berdiri, ke sudut ruangan mengambil mangkok dan air hangat untuk mengompres pipi Ghista. Ia mengeluarkan handuk kecil yang berada di lemari kecil di belakang meja kerjanya.  “Bapak mau apa?” tanya Ghista bingung melihat reaksi Janta membawa mangkok dan mengambil handuk.    Pria bertubuh tinggi, yang sedang mengenakan kemeja panjang motif garis itu berdiri di sebelah Ghista dan meletakkan mangkoknya ke meja. “Ngompres pipimu, biar mendingan!”  “Nggak usah, Pak. Nanti juga sembuh sendiri.” Ghista menolak untuk dikompres. Ia memundurkan kursinya menggunakan kaki.  “Berarti bener, ‘kan, kenapa-kenapa? Kenapa, sih, kamu susah banget buat terbuka ke saya, Ghis?” Janta yang sudah berdiri di sebelahnya pun menarik Ghista agar lebih mendekat. Ghista pasrah dengan tindakan Janta yang memaksa dirinya mendekat dengan menarik kursi yang Ghista duduki. Janta duduk di pinggiran meja, menghadap Ghista.  Dengan telaten, Janta mengompres luka di pipinya, tentunya dengan sangat pelan. Ghista menutup matanya, takut akan perih yang ia rasakan.  “Pelan-pelan, Pak! Sakit,” adunya pada pria tampan yang berusia 34 tahun itu.  “Kok, bisa seperti ini kenapa? Ditampar?” tanya Janta saat ia memasukkan handuk kecilnya ke mangkok.  “Enggak, Pak!”  “Ghis!” panggil Janta. Ia meletakkan mangkok beserta handuknya ke meja. Jemari lembutnya menggenggam kedua tangan Ghista, pelan. “Apa yang membuat kamu nggak yakin kalo ucapan saya semalam itu memang benar? Apa kamu ragu untuk menjalin hubungan dengan saya karena saya bosmu?”  Ghista yang tertutup, sulit untuknya membuka diri. Ia tidak peduli pada sekitar yang bukan pada fokusnya. “Bukan, Pak.”  “Lalu?” Janta melepaskan genggamannya, ia mulai mengompres pipi Ghista lagi.  Ia langsung menutup mata dan alis berkerut kala kompresannya mendarat pelan di luka lebamnya. Setelah satu menit, Ghista berani membuka matanya. Dengan sangat pelan, Janta mengompresnya. Seperti mengelap berlian yang sudah berkilau, sangat hati-hati. Ghista kali ini berani memandang bosnya. Dengan jarak yang sangat dekat, baru pertama kali ia memandang bosnya sedekat ini. Janta yang sedari tadi menatap Ghista merasa ada angin segar karena tatapannya dibalas oleh Ghista.  Perempuan yang selalu mengenakan sepatu berwarna abu-abu usang itu masih diam, terpana akan ketampanan bosnya. Pria pemilik rambut side parting dengan poni sedikit lebih panjang yang ditata ke belakang membuatnya semakin tampan. Terlihat lebih trendy ketika memakai celana jeans yang dipadukan kemeja lengan panjang yang digulung sampai lengan dengan kancing terbuka semua, dan dalaman kaos warna putih.  Tiba-tiba, hatinya menghangat mendapat perlakuan istimewa dari bosnya. Tentang ucapannya semalam, juga dengan ciuman itu membuat Ghista sulit tidur. Perhatian-perhatian kecil yang Janta berikan seperti film yang terputar kembali, Ghista yang terlihat cuek ternyata mengingat semua.  “Sudah, Pak. Nggak enak sama yang lain jika seperti ini,” sadarnya menoleh ke samping ketika Janta mengompres pipi Ghista lagi.  Tangan Janta dihela, dipegang oleh Ghista, membuat Janta semakin terpana melihatnya. Tak lepas dari pandangannya yang melihat tangannya dipegang perempuan yang membuat jantungnya tidak sehat lantaran terpompa dengan cepat tatkala sedang berduaan, tangannya lembut seperti benang wool. Janta yang sedikit menundukkan pandangannya, ia dengan jelas menatap gadis itu. Ghista yang merasa ditatap seperti itu, berusaha meredakan detak jantungnya. Ia tidak tahu sejak kapan jantungnya berpacu lebih cepat jika berduaan dengan Janta.  Seperti semalam, secepat kilat ia menyesap bibir manis nan lembut itu. Seperti barang haram yang terus membuatnya ketergantungan jika melihat bibir mungil itu sedang berbicara.    Perempuan yang tidak menolak dicium untuk yang kedua kalinya itu memalingkan wajahnya setelah tidak mendapat pasokan oksigen untuk bernapas, ia memundurkan kursinya, berpamitan pada bosnya. “Permisi, Pak.” Ia keluar dengan jantung yang masih berpacu dengan cepat. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD