Bab 4 – Tamparan

1195 Words
“Oh, pacarnya Ghista? Kok, Ghista nggak pernah cerita?” Mada melihat Ghista sambil mengerling. “Duduk dulu, sini! Di depan aja, ya, di dalam ada ayah Ghista.” Mada mengajak Janta duduk di kursi depan rumahnya, Ghista mengekor di belakang ibunya.  “Bun, dia bukan pacar Ghista!” bisiknya pada Mada yang sudah duduk di kursi.  “Jangan galak-galak ke orang!” Mada tahu jika Ghista akan galak pada lelaki di sebelahnya, karena anak perempuannya juga memiliki perasaan yang sama. Seorang ibu akan tahu bagaimana sikap dan sifat anaknya, tetapi sang anak belum tentu akan tahu.  PYAAARRRR....   Suara pecahan beling terdengar dari luar. Membuat ibu dan anak itu memejamkan mata, merasakan pahitnya hidup yang mereka jalani karena seorang pria di rumahnya. Alex mengamuk lantaran tidak mempunyai uang untuk pergi.  “Maaf, ya, kalau bikin kurang nyaman. Temen kerja Ghista?”  “Enggak apa-apa. Iya, Tan.”  “Dia atasan Ghista, Bun,” sela Ghista yang berdiri di samping ibunya.  “Oh, atasan Ghista?” tanya ayahnya yang baru keluar.  “Iya, Om. Saya Janta.” Janta berdiri untuk menyalami Alex, tapi hanya ditanggapi dengan senyuman smirk-nya.  “Hemmm.” Alex berdiri menghadap Ghista. “Bagi ayah duit, Ghis. Ayah mau keluar.”  “Enggak ada, Yah. Udah abis buat bayar sekolah Ghio kemarin.” Ghista masih berdiri di sebelah Mada, lalu beralih ke sebelah Janta untuk menarik tangan dan menyuruhnya pulang. “Bapak pulang aja, ya! Keadaan rumah lagi nggak kondusif.” Ucapannya terdengar takut, semakin membuat lelaki yang mempunyai tinggi badan seratus delapan puluh itu tetap diam di rumahnya.  “Kalo ke sini nggak ngasih uang, nggak usah ke sini. Kamu bilang pacarnya Ghista, ‘kan? Bisa, dong, bagi uang ke calon ayahnya,” ucap Alex dengan santai dan nada meminta.  “Yah!”  “Ayah!”  Ibu dan anak berucap bersamaan, seperti mendapat perintah yang harus memperingati Alex. Lelaki itu terlihat santai melihat calon ayah mertuanya seperti ini. Ghista jadi tak enak hati.  Tangan Janta terulur ke depan, menyetop Ghista. “Berapa?” tangannya mengeluarkan dompet yang berada di saku belakang celananya.  Alex tersenyum, senang. “Nah, gini dong. Nanti bisa dipertimbangkan kalo sering-sering ngasih uang ke camer. Sejuta aja cukup,” ucapnya senang.  Mada langsung berdiri, mengambil uang yang akan diberikan Janta pada suaminya. “lima ratus aja, jangan terlalu royal pada ayah Ghista!” Wanita yang mengenakan baju tidur tanpa mengenakan jaket itu menghitung uangnya, pas lima lembar warna merah ia berikan pada suaminya, sisanya ia kembalikan pada Janta.  “Ayah, jangan bikin Ghista malu! Ayah boleh pukul Ghista, tapi jangan minta uang ke atasan Ghista! Dia atasan Ghista, bukan pacar atau suami Ghista, Yah!”  “Udah, diem! Jarang-jarang ada cowok yang mau ngasih uang ke ayah kalo bukan pacar kamu. Ayah pergi dulu.” Pria yang sering pulang dalam keadaan mabuk itu hendak mencium kening istrinya, tapi Mada langsung menghindar. Dirinya merasa malu dan tidak enak hati melihat suaminya bertindak buruk pada atasan anaknya. “Nggak mau dicium yaudah.” Alex langsung pergi begitu saja sambil mengipas-ngipas uang yang ia terima dari calon menantu.  “Maaf, Pak, malah bikin repot Bapak. Nanti dipotong dari gaji saya aja!”  “Maafkan suami saya, ya, Nak. Dia memang begitu.”  “Enggak apa-apa, Tan.”  “Aku pulang,” sela Ghana yang baru saja sampai di rumah.  Semua menoleh ke arah Ghana. Anak kedua dari pasangan Mada dan Alex itu langsung mencium punggung tangan ibunya dan langsung masuk karena sudah lelah kuliah seharian. Ia selalu mengusap-usap pinggir hidung, dan matanya yang terlihat kelelahan.  “Baru pulang, Ghan? Ada kelas tambahan?” tanya Ghista. Janta masih mengawasi adik dari perempuan yang ia cintai.  “Iya, Kak. Akhir-akhir ini ada kelas tambahan, atau jam kelasnya diganti sore hingga malam. Aku masuk dulu.” Ghana yang sudah di tengah pintu menoleh ke belakang, lalu masuk ke rumah.  Ibu dan anak itu mengangguk. “Ghis, Bunda masuk dulu, deh! Kamu ngobrol sama Janta! Bunda mau beberes pecahan yang dibanting ayahmu tadi.”  “Iya, Bun.”  “Nak Janta, tante masuk dulu, ya. Kamu ngobrol sama Ghista!”  “Iya, Tan. Silakan!” Mada langsung masuk dan Ghista duduk di kursi yang diduduki ibunya tadi.  “Duduk lagi, Pak!” ucap Ghista mempersilakan Janta duduk lagi.  “Iya, makasih.” Janta duduk dan melihat jam hampir pukul sepuluh. “Ternyata udah malam, ya. Saya pulang aja, deh. Nggak enak bertamu sampe malem begini.” Janta berdiri lagi. Ghista ikut berdiri, mengantar Janta ke mobilnya.  “Maaf, ya, Pak. Soal tadi,” ucap Ghista sepenuh hati.  “Enggak masalah. Anggap aja itu hutang kamu!” Mereka berjalan ke arah mobil yang terparkir di depan rumah Ghista.  “Iya, Pak. Nanti potong gaji saya aja, buat bayar gantinya.”    “Bukan itu. Ada harga yang harus kamu bayar,” ucap Janta mengerling pada Ghista.  “Maksud Bapak?”  “Kencan dengan saya selama seminggu, maka hutangmu lunas! Gimana?” Mereka telah sampai di depan mobil Janta. “Pikirkan itu, kalo bisa jangan ditolak! Kesempatan tidak datang dua kali, lho. Saya pulang dulu,” pamit Janta, lalu mengelus lengan Ghista dan berlalu masuk ke mobilnya.  Ghista masih terdiam, mencerna ucapan pria yang memiliki tinggi seratus delapan puluh senti meter itu. Ia tak ingin ada gosip yang akan membuatnya sulit untuk fokus mencari pundi-pundi rupiah. Ghista baru selesai mencuci piring selepas sarapan. Alex baru saja pulang dari semalam ia pergi. Ghista hanya diam melihat ayahnya sempoyongan karena mabuk. Sudah menjadi tontonan sehari-hari melihat Alex seperti ini.  “Yah,” panggil Mada menyadarkan Alex yang setengah sadar tiduran di tengah pintu. Ibu dari tiga orang anak itu memapah suaminya ke kamar dibantu oleh Ghista.  “Sebelum keluarga kita jatuh miskin, dulu kita kaya. Bisnis ayah jalan.” Kebiasaan Alex selalu mengigau membahas waktu dulu. Ghista hanya mendengarkan saat Alex berhenti dan meminta untuk berdiri sendiri. “Sebelum pengkhianat itu masuk ke bisnis ayah, kita bahagia. Setelah pengkhianat itu datang, keuangan ayah jadi kacau. Setelah diusut, pengkhianat itu bermain dengan sangat cerdik.” Alex berbicara dengan amarah yang masih menggebu.  Inilah yang membuat Ghista selalu diam ketika Alex marah. Ia tidak ingin membuat luka ayahnya semakin dalam dan tidak bisa terobati karena dendam yang ia tanam di hatinya. Sesungguhnya penyakit hati itu akan merusak raga ketika dibiarkan dan malah semakin mendalam.  “Kamu tau? Sekarang ayah miskin. Nggak ada yang mau menerima ayah sebagai teman maupun karyawan karena mereka nggak percaya pada kemampuan ayah,” tangis pria yang sudah beruban itu di depan istri dan anaknya.  “Kita masuk ke kamar, yuk, Yah!” Perempuan bersepatu usang itu kembali memapah ayahnya lagi, namun tenaganya yang kuat dan tidak sadar malah seperti menggampar Ghista. anaknya kesakitan dan mengelus pipi dan sudut bibirnya yang memerah.  “Ayah masih kuat jalan sendiri. Kamu mau jadi seperti teman-teman ayah? Huh?” Alex dikuasai emosi tak sadarnya. Ia malah kembali menampar Ghista. Ia tidak ingin dikira tidak mampu berjalan sendiri, meskipun nyatanya memang tidak mampu.  “Ayah!” teriak Mada, menghentikan tangan dingin suaminya yang siap menampar lagi. “Ghis, kamu mending berangkat kerja, Nak! Udah siang.”  “Iya, Bun.” Ghista menangis dan pergi ke kamarnya.  Alex sudah terlebih dulu pingsan tidak sadarkan diri saat Ghista sampai di kamarnya. Dengan susah payah istrinya menyeret Alex yang beratnya sudah lebih kurus dibanding dulu.  Ghista hanya bisa melepaskan emosinya dengan menangis atau mengerjakan sesuatu yang terlihat. Perempuan berambut sepunggung itu berangkat kerja menutupi lukanya dengan rambut yang ia biarkan tergerai.  Setelah puas dan lega, Ghista pamit berangkat kerja karena sudah siang. Ia telah mengirim pesan pada Chika jika berangkat terlambat karena ada urusan.    Tok tok tok  Ghista mengetuk pintu kamar ibunya, tak lama Mada keluar.  “Bun, Ghista berangkat kerja dulu.” Ia mencium punggung tangan Mada lalu mencium pipinya.  “Ghis, jangan pernah marah ke ayah, ya! Bunda yakin, jika ayah sadar, dia nggak akan melakukan itu ke kamu.”  “Iya, Bun. Ghista berangkat dulu.”  Hari ini Ghista menutupi sebagian mukanya dengan surai yang ia biarkan tergerai. Ia berharap lebamnya tidak akan terlihat ketika sampai di kantor. Ghista tidak ingin orang lain menyalahkan ayah ataupun salah satu anggota keluarganya sebelum orang itu tahu bagaimana keadaan keluarganya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD