Di Antar Pulang

1439 Words
“Bapak bukannya tadi menyuruh saya untuk rapat kecil dengan timnya Dian?” tanya Ghista, sedikit terkejut. Jelas terkejut karena ucapannya berbeda dengan yang tadi.  “Itu bisa nanti. Melayani klien bukannya sudah menjadi pekerjaanmu?” Ia langsung menggandeng tangan Ghista. Janta tahu celah perempuan itu agar tak berkutik. Ghista akan menurut ketika itu adalah tugasnya dalam bekerja.  Janta. Meskipun Janta tidak akan melakukan macam-macam, namun ia merasa canggung ketika ada atasan yang mengawasi. Dan ini bukan yang pertama kali. Artinya selalu seperti ini ketika Janta ikut bertemu dengan klien. Jalannya yang harus mengikuti sang atasan, Ghista merasa seperti pencuri yang tertangkap basah oleh pemiliknya.  Ghista tidak ingin terlalu lama berduaan dengan Janta. Ia merasa gosip yang beredar memang benar, jika atasannya menyukainya. Dari cara pandangnya melihat Ghista, tapi perempuan itu seperti enggan ditatap terus menerus oleh atasannya. Ia berniat untuk bekerja, mencari uang sebanyak mungkin, bukan untuk berpacaran, tekadnya.  “Biasa, ya! Kalo ada klien, tangani dulu,” ucapnya pada Chika. Tangan Janta masih menggandeng tangan perempuan yang di sebelahnya, hingga Chika melotot melihat yang ada di depannya sambil berkata ok dan mengacungkan jempolnya.  “Panas, ya, hari ini, bikin gerah.” Janta melepas genggamannya ketika sampai di pintu mobil dan membukanya untuk Ghista. “Namanya Jakarta, Pak. Hujan aja masih berasa gerah.”  Suasana terik, matahari tepat berada di atas kepala memang sangat panas. Membuat tubuh menjadi gelap dan keringat mengalir manja di pelipis. Sambil menutupi atas kepalanya, Ghista masuk ke mobil.  Mobil yang dipakai lelaki berpenampilan trendy itu adalah Porsche, keluaran dari Eropa. Negara yang terkenal dengan sebutan Benelux yaitu, nama uni ekonomi di tiga negara monarki—Belanda, Belgia, dan Luksemburg—adalah pelopor Uni Eropa.  Ghista tak mempermasalahkan itu, yang ia permasalahkan ketika Janta memperlakukannya seperti ratu, dengan membukakan pintu mobil untuknya. Merasa dirinya bukan ratu, ia akan protes, tapi sepertinya percuma. Setelah menutup pintu, Janta langsung berlari ke kemudi.  “Makasih, Pak. Kita mau ke mana?” tanya Ghista saat Janta telah duduk di kemudinya, dan bersiap akan jalan.  “Ke hatimu, kalo boleh.” Melihat raut wajah Ghista yang serius dan menaikkan kedua alis melihatnya, membuat Janta mengganti ucapannya. “Ke Kemang, klien lagi ada acara di sana, jadi kita disuruh ke sana.”  Ghista hanya manggut-manggut. Lama mereka terdiam, hanya alunan musik yang Janta nyalakan untuk mengusir keheningan dalam perjalanan. Hingga sampai di lampu merah, Janta menirukan lagu yang terputar, yaitu, Sugar milik Maroon 5. Ghista membuka dokumen yang akan ia berikan pada klien, dan menaruh laptop kantor di jok belakang.  “Pak.”  “Ghis.”  Mereka memanggil secara bersamaan, membuat Janta senang. Wanita yang disukainya ternyata juga ingin mengatakan sesuatu setelah melihat dirinya. Apakah Ghista akan mengatakan jika dia mencintainya, batin Janta.  “Lady’s first!” ucap Janta menoleh pada Ghista.  Ghista yang sedari tadi melihat Janta, langsung menatap ke depan. Ia jadi merasa canggung. “Seatbelt-nya belum terpasang, Pak! Di depan ada Polisi.”  Janta langsung memasang seatbelt-nya dengan muka seperti menahan malu karena ucapan Ghista bukan seperti yang ada dalam pikirannya. “Oh, kirain. Tapi, makasih, lho, udah perhatian.”  Perhatian kecil seperti ini saja sudah membuat Janta senang bukan kepalang, pasalnya Ghista memang sangat jarang peduli pada sekitar. Dirinya merasa spesial karena mendapat perhatian dari Ghista. Ia pun hanya senyum-senyum sendiri.  “Bukan apa-apa, Pak. Di depan ada Polisi soalnya,” jujurnya polos. Ghista lalu menatap Janta. “Tadi Bapak mau ngomong apa?”  “Oh, tadi. Nanti malam saya antar pulang, ya?”  “Memangnya sampai malam?” tanya kaget.  “Belum tahu, sih. Sekarang aja udah mau jam dua. Belum bahas kemauan klien, kalo dia mau-mau aja, sih, cepet. Kita liat nanti gimana!”  Perjalanan memakan waktu sekitar lima puluh menit karena macet, perbaikan dan penyempitan jalan untuk membangun kereta bawah tanah dan di atas. Masyarakat yang tidak menyukai angkutan umum akan sulit untuk menerima kehadiran yang Pak Presiden beikan masyarakat, padahal tujuannya bagus. Untuk mengurangi kemacetan.  Sudah memasuki kawasan Kemang. Janta memelankan mobilnya untuk mencari letak kafe yang dimaksud klien. Setelah 7 menit bergelut dengan mencari-cari nama kafenya, akhirnya ketemu.  “Sampe. Yuk, turun!”  Ghista langsung turun setelah mengambil laptop di jok belakang, lalu menunggu Janta di depan mobilnya. Saat Janta turun dari mobil, ia melihat ada seseorang bersama temannya yang sudah masuk ke mobil sebelah. Matanya terus melihat ke arah kanan dua mobil dari mobilnya. Seperti tidak asing bagi Janta.  “Ada apa, Pak?” tanya Ghista saat Janta sudah di depannya.  “Ah, enggak. Yuk, masuk!” Ghista mengangguk dan mengekor di belakang Janta.  “Di meja yang di pinggir itu,” tunjuk Janta ke meja yang berada di pinggir dekat dengan jendela.  Suasana kafe terbilang cukup ramai. Banyak anak muda yang datang ke sini. Tempatnya enak untuk bersantai. Ada tempat karaoke di depan, seperti panggung mini. Dekorasi ruangan juga memiliki daya tarik tersendiri dengan menampilkan wallpaper bergambar dan potongan kayu pada langit-langit membuat suasana kafe semakin menarik.  “Selamat Siang. Maaf, agak lama. Saya Janta dan ini, Ghista, partner saya,” sapa Janta pada klien yang bernama Rena dan Seno.  “Halo, selamat siang.” Ghista mengulurkan tangannya dan tersenyum menyapa.  “Selamat siang. Iya, nggak apa-apa. Silakan duduk!” tutur Seno mempersilakan Janta dan Ghista duduk.  “Ngobrol sambil pesen makan aja, ya! Biar nggak bosen,” ucap Rena.  “Iya. Mbak Rena kemarin pilih dekorasinya yang mana?” tanya Ghista sembari membuka dokumen gambar di laptop kantor.  “Belum, Mbak. Baru telepon aja, sih. Belum tau mau yang mana.” Rena melihat gambarnya, lalu ia perlihatkan pada Seno. “Yang ini cakep, Beb,” tunjuk Rena pada dekorasi yang bernuansa gebyok jawa.  “Iya, yang ini juga bagus. Etnik, lebih simpel dan keliatan sederhana.”  “Kamu, Beb. Terlalu sederhana kalo yang itu.”  Setelah perdebatan panjang antara Rena dan Seno, mereka memilih dekorasi gebyok jawa yang berwarna putih dan riasan adat Jawa untuk akad nikah dan riasan adat Sunda untuk resepsi.  “Untuk masalah gedung, Mbak Rena mau di mana?” tanya Janta disela-sela Rena sedang melihat gambar dokumen.  Rena menoleh ke arah Janta. “Di Balai Kartini, Mas. Nanti acaranya tanggal 20 November 2021, ya! Oh, iya. Di makan Mas, Mbak!”  “Makasih, Mbak. Saya catat, ya!” jawab Ghista.  Mereka mengobrol, memberitahu tentang konsep yang Rena inginkan terhadap Janta dan Ghista. Ghista yang telah tiga tahun bekerja di bidang WO sedikit banyak tahu maksud yang konsumen inginkan.  “Dengan membayar uang muka 40%, jika pesanan dibatalkan, maka uang tidak kembali, ya, Mbak?” Ghista memberikan kuitansi tanda pembayaran uang di muka.  “Iya, Mbak.”  Hal itu membuat rapatnya berjalan lebih cepat. Jam tujuh malam mereka telah mencapai kesepakatan. Itu membuat Ghista lega, pasalnya ia bisa lembur di kantor.  “Jadi, saya bisa lembur di kantor, Pak? ‘Kan, masih jam tujuh,” tanyanya yang telah memasuki mobil Janta.  “Kamu minta lembur terus, uangnya mau buat apa?” tanya Janta, yang niatnya hanya becanda. Ia tertawa saat membelokkan mobilnya ke jalan utama.  “Hah? Apa setiap karyawan wajib memberitahu atasannya, kegunaan uang yang ia miliki untuk apa saja?"  Janta yang tadinya tertawa langsung diam, memberhentikan mobilnya di pinggir jalan, lalu menatap perempuan di sebelahnya. Dengan cepat tangan kirinya meraih tengkuk, dan tangan kanannya memegang lengan perempuan yang sedang berada di tatapannya, ia menyesap bibir mungil perempuan yang selalu membuatnya tergila-gila dengan lembut.  Bibir mungil yang selalu memanggilnya dengan sebutan Bapak, meskipun Janta sudah menolak untuk panggilan tersebut. Jangan salahkan lelaki jangkung itu jika hal ini terjadi lantaran sudah lama ia meminta pada perempuan yang diciumnya itu untuk meresmikan hubungan mereka, namun Ghista selalu menolak.  "Maaf," ucapnya tulus. Ghista masih terdiam karena keterkejutannnya. Janta menggenggam jemarinya, "Ghis, apa yang kamu denger dari temen-temen kantor itu bener. Saya suka kamu. Saya mencintai kamu dari awal kamu masuk. Kamu yang udah mengubah saya jadi lebih baik. Dulu saya bossy dan temprament. Bisa tanya ke Chika kalo kamu nggak percaya." Ghista yang masih terkejut, tanpa menjawab ucapan Janta. Ia ingin menarik tangannya, tapi genggaman tangan Janta mengerat seperti ia akan menghilang saat itu juga.  “Pak, tangan saya sakit. Jangan teralu kenceng genggamnya!”  Janta pun mengendurkan genggamannya, ia masih memegang tangan Ghista. “Gimana, Ghis?”  “Gimana apanya, Pak?”  Polosnya sifat Ghista membuat Janta gemas, ingin mengecupnya lagi. Namun, jika sedang galak, gaungan harimau pun kalah dengannya.  “Perasaan saya tadi, Ghis. Di terima nggak?”  Ghista melepaskan genggaman tangan Janta, ia tidak ingin dikira memanfaatkan kesempatan saat keadaan sedang mengimpitnya. “Maaf, Pak. Saya nggak bisa.”  “Kenapa?”  “Apa setiap keputusan harus ada alasan?”  Ghista berubah menjadi galak, saat seperti ini Janta tidak berani menanyakan balasan tentang perasaannya. Janta mulai melajukan mobilnya, mengantar Ghista pulang.  “Enggak. Rumahmu masih di Sunter?”  “Masih.”  Saat Ghista dalam mode seperti ini, membuat Janta tidak berani bertanya lebih banyak lagi. Ia hanya diam sesekali melihat ke arah Ghista. Perempuan di sebelahnya membuang muka ke arah luar sambil bersedekap. Ia memilih memikirkan dosa yang telah diperbuatnya tadi. Manis dan lembut. Dua kata yang masih membekas diingatan Janta ketika menyesap bibir mungil yang selama ini menjadi bayangan di pikirannya. Setelah sejam perjalanan, ia telah sampai di depan rumah Ghista. Ibunya berada di luar tanpa mengenakan jaket saat sudah malam, membuat Ghista buru-buru turun.  “Bunda, kok, di luar?”  “Ayahmu ngamuk lagi,” jawab ibu dari tiga anak itu. Dari wajahnya terlihat khawatir. Janta yang mendengar ucapan Mada menaruh curiga. Ia sudah dua kali ke rumah Ghista, tapi baru kali ini bertemu dengan ibunya.  “Malem, Tan,” sapa Janta mencium tangan Mada.  ”Malam.” Mada menyunggingkan senyum terpaksa, lalu menoleh ke arah Ghista yang berada di sebelah Janta. “Siapa, Ghis?”  “Dia—.”  Belum selesai Ghista menjawab, Janta memotong ucapannya. “Saya pacar Ghista, Tan,” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD