BAB 6 : Rahasiakan perasaanmu

1453 Words
Raymen keluar dari mobilnya, tersenyum cerah, dia sudah sembuh total sekarang. “Ayo.” Raymen membukakan pintu untuk Yura. “Hari ini aku pergi sendiri.” Yura menjawab dengan ragu. “Apa maksudmu?” Raymen menatapnya tajam dan tidak suka. “Aku ingin jalan kaki.” Elak Yura mencari alasan yang masuk akal. “Kalau begitu aku ikut” katanya tegas. “Tidak. Aku ingin sendiri.” Yura menutup gerbang rumahnya, dan pergi. Raymen belari mengejarnya dengan kukuh. “Kau ini kenapa?.” Raymen mencekal tangan Yura, berusaha membuatnya berhenti. “Kau menghindariku?.” Yura menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. “Lalu kenapa?” Raymen mendesak meminta jawaban. “Tidak ada Ray.” Yura melepaskan tangannya, berusaha tetap tenang. Raymen mendesah frustasi. “Aku ada urusan, sampai nanti.” Yura segera berlari dan menghentikan bus yang lewat. “Yu, aku tidak mengerti ini. Bisakah kau menjelaskan rumus teori revitalisasinya.” Raymen menggeser kursinya untuk lebih dekat. Yura kembali bersikap aneh, dia berpura-pura tidak mendengarkan perkataan Raymen dan berpura-pura focus melihat guru lesnya yang sedang menerangkan di depan. “Yu.” Sekali lagi Raymen memanggilnya. Yura masih diam dan menulikan pendengarannya. Dengan kesal Raymen meraih wajah gadis itu dan memaksanya untuk melihatnya. Yura menengok melihat Raymen dengan terpaksa, “Kau bisa menanyakannya pada guru, Ray.” Bisik Yura begitu pelan. Manic mata Raymen bergerak lembut, bola matanya yang kehijauan melihat setiap perubahan ekspresi Yura.“Aku benci, kau bersikap seperti ini.” “Aku bersikap biasa saja.” “Pembohong!.” Suara Raymen meninggi dan mengganggu konsentrasi teman-temannya yang belajar. “RAYMEN! YURA!.” Sang Guru berdecak pinggang dan melotot, semua murid ikut melihat keduanya, “Kalian bisa berpacaran setelah selesai belajar, jadi jangan bermesraan saat belajar.” Katanya memperingati. Semua murid bersiul menggoda Yura dan Raymen. “Maaf Sir.” Yura berdiri dan membungkuk meminta maaf. Dia menunjuk Raymen tanpa ragu “Dia menggangguku sejak tadi.” “Aku bertanya rumus teori revitalisasi sir.” Raymen membela dirinya. “Kalian berdua kedepan. Yura jelaskan rumusnya di papan tulis, Raymen berdiri di depan dan perhatikan!.” ***   Stefan mengiris jeruk nifis dengan hati-hati, dan meremasnya di atas daging bakar yang merah segar saat di potong. Di lihatnya Yura yang masih memperhatikannya memasak sejak awal, seketika Stefan tersenyum menggoda. “Sayang, makanlah.” Stefan memotong dagingnya lebih kecil dan menyuapi Yura. “Enak.” Yura bertepuk tangan senang. “Ayo kita keluar.” Ajaknya sambil membawa masakan hasilnya, Yura mengekorinya dengan riang. Mereka meninggalkan Raymen yang sedari tadi ikut juga. “Aku jadi suka memasak setelah nenek mengajariku.” “Kau bisa jadi Chef di restorant ini.” “Yu.” Raymen berlari mengejar. “Tanganku terluka” Rayamen menunjukan jarinya yang berdarah dan teriris, Yura membuang mukanya berpura-pura tidak peduli. “Tolong aku” Rengek Raymen meminta perhatian. “Kau sudah besar, luka sekecil itu tidak akan sakit.” “Tapi perih.” Raymen tidak mau menyerah. Yura tersenyum misterius, dia meraih tangan Raymen, diam-diam mengambil jeruk nifis di atas piring. Yura memeras jeruk nifis di atas jari Raymen yang terluka. “Aw.. sakit Yu.” Raymen mengaduh perih. “Siapa suruh mengiris tangan sendiri.” “Ayo sayang.” Stef menghela Yura untuk keluar dari dapur. “Yu! Tunggu.” Raymen kembali mengejar Stef dan Yura. “Aduh!.” Kepala Raymen terantuk pintu karena tidak hati-hati. Stef dan Yura kembali berpura-pura tidak memperdulikannya. ***   "Dokter Armin sedang ada di kantin" seorang suster yang bernama Yuzing menunjukan jalan menuju kantin, Yura tersenyum mengangguk mengerti. Setelah sampai di kantin, Yura langsung menemukan Armin yang tengah menikmati makanannya sambil berbincang dengan temannya. Yura sedikit merasa ragu untuk menemuinya sekarang, mungkin sebaiknya dia menunggu Armin masuk ruangannya lagi. Tetapi, hari semakin sore dan dia tidak bisa pulang malam-malam. "Yura" Armin memanggilnya dan melambaikan tangannya, dia tetap terlihat berwibawa seperti biasa. Mau tidak mau Yura harus menemuinya sekarang. Yura menghampirinya dalam kecanggungan, apalagi teman Armin tersenyum manis namun dengan tatapan misterius melihat Yura. "Aku.. aku ingin mengambil buku panduannya." "Duduk saja dulu" Armin memerintah dengan tegas, akhirnya Yura duduk dengan patuh, menunggu Armin yang tengah menikmati makanannya. "Hay Yura" teman Armin menyapanya, benar-benar terlihat ramah dan murah senyum. "Hay" Yura tersenyum kikuk. "Kau terlihat lebih cantik aslinya" pria asing itu memangku dagunya tersenyum menggoda. Aslinya? Apakah Dokter Armin menceritakan tentangku padanya?. Batin Yura. "Hah?" Yura bertanya dengan spontan. "Hey dia lucu" Nicholas tertawa riang. "Aku Nicholas dokter spesialis saraf, dan aku tahu namamu Yura, tapi aku tetap ingin bersalaman denganmu" Nicholas mengulurkan tangannya dengan cepat, Yura menerimanya dan bersalaman sedikit lama. "Yura." "Ah.. kau polos sekali" Nicholas mendesah lembut dan melepaskan tangan Yura dengan ekspreai terlihat tidak rela.“Kau tahu kan Armin spesialis dalam. Sebenarnya jika ingin berkonsultasi datang saja padaku, aku juga mendalami bagian jantung, pembuluh darah dan psikologi, ya.. walau tak sejenius Armin.” “Anda terdengar hebat.” “Oh tentu saja.” "Kalian sangat cocok" Armin tersenyum miring, Yura memelototinya dengan protes. "Ayo ikut aku" Armin beranjak dari duduknya dan langsung diikuti Yura. "Hey Yura, boleh aku meminta nomer teleponmu?" Tanya Nicholas. "A.. anu"  Yura menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Nanti aku berikan, ayo" Armin menarik tangan Yura seperti memaksanya pergi, gadis itu terlihat pasrah saja. Mereka  memasuki ruangan khusus yang terletak di paling ujung, dengan cat putih dan tersedia tiga sofa di dalamnya, dimana satu sofa lagi warna hitam panjang terlihat nyaman untuk tidur. Mungkin saja itu kursi untuk pasien. "Kau baik-baik saja?" Armin menyerahkan buku kesehatannya yang terletak di atas meja. "Ya" Jawab Yura dengan lemas. "Sudah aku katakan jangan berbohong, kau sangat tidak pandai dalam hal ini." Yura tersenyum memaksakan, "Kalau begitu aku permisi" Yura membungkuk memberi hormat sebelum pergi.  Yura kurang menikmati harinya setelah menghindari Raymen lagi hari ini. Tadi pagi Raymen menjemputnya dengan berbagai alasan Yura menolak lagi, Yura bisa melihat kemarahan yang terpendam di wajah Raymen, namun dia berusaha untuk tidak memperlihatkannya dan melepaskan Yura untuk pergi sendiri. Yura sangat terganggu dengan perkataan Andin tempo hari. Dia terus menerus memikirkannya, sampai dia menyadari kebenaran yang di katakan Andin. Yura memang perlu memberi ruang untuk Raymen agar bisa bersama pacarnya, tanpa ada dia di tengah-tengah mereka. Itu memang suatu kebenaran. Hujan di sore itu semakin deras mengguyur. Yura menengadahkan wajahnya, menatap langit yang di hiasi miliayaran tetesan hujan yang turun, dia menghembuskan nafasnya dengan berat. Yura merasa kesepian tanpa Raymen, dan sekarang hatinya tidak nyaman sama sekali. Berdiri di depan rumah sakit, sudah hampir satu jam menunggu hujan reda,  kuku-kuku tangannya sudah membiru karena kedinginan. "Kau belum pulang?" Tahu-tahu Armin ada di sampingnya, bersiap-siap untuk pulang juga. "Hujan" jawab Yura seadanya. "Ayo aku antar." "Aku bisa naik angkutan umum." "Tapi kau akan kehujanan, kau akan diam disini sampai kemalaman?." Yura berfikir-fikir lalu menyutujui tawarannya. Suasana hening dan canggung sepanjang perjalan. Armin  melajukan mobilnya dengan pelan karena hujan sangat deras, sehingga  menghalangi pemandangan jalan di depan. Armin menyempatkan waktunya untuk menyetel sebuah musik, mengurangi kecanggungan di antara mereka berdua. Alunan musik klasik dari Mozart mulai mengalun begitu indah, di barengi suara kecil cipratan hujan di atap dan kaca mobil seperti sebuah nada tambahan, begitu indah dan menenangkan, Yura melihat Armin dengan cepat. "Kau suka musik klasik?" Tanya Yura penuh minat, Armin mengangguk dan tersenyum mengiakan. "Aku juga sangat suka." "Suka?" Armin menaikan satu alisnya tidak percaya "Musik apa yang sering kau dengar?." "Seperti Moonlight Sonata Van Beethoven, aku sering mendengarkannya sebelum tidur." CeritaYura sambil mengenang malam-malam buruknya saat menangis kecapaian hingga tertidur. "Itu sangat romantis." Yura tersenyum miring. Mengingat perkataan Raymen juga, yang pernah mengatakan dia wanita romantis karena suka lagu klasik. "Dokter" suara Yura melembut, Armin menjawab dengan gumaman, "Apa anda sangat dekat dengan sahabat anda?." "Tidak  juga, kami Sama-sama sibuk setelah semakin dewasa." Yura mengatupkan bibirnya, merasa kecewa mendengar jawaban dari Armin. Dia juga pasti akan melewati fase seperti Armin. Suatu saat nanti, Yura  dan Raymen akan sibuk sendiri, dengan dunia mereka masing-masing, bekerja dan menata masa depan. "Sampai disini saja" ucap Yura terburu-buru. Padahal jarak mereka ke rumah Yura masih jauh. "Kenapa?" Tanya Armin bingung, karena jarak dari tempat mereka berada ke rumah Yura hampir tiga puluhmeter dan itu cukup jauh. "Aku takut orang tuaku menahanmu." Armin tersenyum sekilas dan menghentikan laju kendaraannya. Yura merasa ragu untuk keluar karena hujan semakin deras. "Jika kau keluar dan berlari hujan-hujanan,  sekalipun berjarak tiga puluh meter, itu akan tetap membasahi badamu, itu artinya tidak ada gunanya aku mengantarmu" papar Armin. Yura mengurungkan kembali niat untuk keluar, dia merasa jika perkataan Armin ada benarnya juga. Dan sekarang dia canggung sendiri karena mereka saling membisu menunggu hujan yang tak kunjung reda. "Lama-lama aku mengantuk" gumam Yura, dia merasa bosan. "Tidur saja, aku tidak akan menculik atau menggodamu." "Apa? Menculik?, sudah aku duga kau dokter gadungan" Yura tertawa mengejek, Armin ikut tertular mendengar tawanya, "Aku merasa senang kau tertawa" ucap Armin tiba-tiba membuat Yura terdiam lagi. "Katakan sejujurnya kepada orang itu, setelah itu kau akan merasa lega" ucap Armin lagi seakan membaca pikiran Yura. "Dokter aku bukan teman yang baik untuknya, aku terlalu sering merepotkannya dan membuat masalah, mengganggu kebahagiaan dia dengan kekasihnya." Yura melanjutkan kata-katanya, meluapkan tekanan yang mempengaruhi fikirannya. Armin hanya memandang hujan dengan serius namun masih mendengarkan keluh kesah Yura dengan baik, sampai gadis iti berhenti sendiri dan menghembuskan nafasnya merasa lega. "Apakah dia sendiri yang mengatakan kau tidak baik untuknya?." "Tidak." "Aku memiliki seorang teman, dia wanita cantik dan lembut. Namun, dia sangat manja dan cengeng, setiap saat dia merepotkan aku, selalu membuat ulah dan aku yang harus menyelesaikannya. Terkadang, aku memarahi dia sampai menangis, jauh dari lubuk hatiku terdalam aku tidak pernah merasa terganggu dan di repotkan, aku tahu hanya aku teman aatu-satunya dia. Mungkin seperti itu juga perasaan temanmu padamu" Yura terdiam beberapa saat menelaah apa yang di katakan Armin, seulas senyum menghiasi wajahnya dia terlihat lega sekarang. To Be Continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD