BAB 5 : Hanya Sahabat

2291 Words
  “Ah.. sayang, kau datang pagi sekali. Maafkan aku menelponmu malam-malam.” Sambut Elma begitu membukakan pintu, Elma memeluk Yura dan mencium kedua pipinya. “Ray demam parah semalaman, tapi dia tetap memaksakan diri untuk sekolah. Aku mohon, bujuk dia agar tetap beristirahat. Dia tidak mau mendengarkan aku.” "Saya akan membujuknya." "Pergilah" Yura segera pergi  menuju kamar Raymen. Rumah antara Yura dan Raymen hanya berjarak beberapa meter saja, sehingga dia bisa langsung datang begitu mendengar kabar Raymen sakit. Raymen tengah berdiri di depan cermin ketika Yura memasuki kamarnya, pria itu masih bertelanjang d**a memamerkan otot-ototnya yang terpahat indah, wajahnya pucat dengan keringat bercucuran membasahi pelipisnya. "Seharusnya kau istirahat Ray." "Aku bosan dirumah." Yura berdecak pinggang dengan kesal. Elma berdiri di ambang pintu, menatap Yura penuh permohonan. "Dengar Ray, kau sedang sakit dan butuh istirahat. Jadi berhenti bicara omong kosong lagi. Berbaring di ranjang dan istirahatlah" Yura menarik lengannya dengan paksa, dan mendudukan Raymen di tepi ranjang. "Aku ada kuis hari ini." Suara Raymen tertahan, Yura mendorong dadanya dan membaringkannya dengan paksa, "Ayolah Yu.. jangan seperti ibuku." "Aku khawatir padamu!" Teriak Elma menampakan wajahnya, "Jika kau pergi sekolah, ibu akan menangis" air matanya bercucuran penuh akting. Raymen memutar bola matanya dengan sebal. "Tidur dan istirahat! " Perintah Yura dengan tegas. Raymen menggeleng keras kepala. "Oke. Aku juga akan seperti ini jika nanti sakit, pergi kemanapun yang aku mau dan mengabaikan omelanmu." "Tidak.. tidak.." Raymen tertawa lemah, memeluk Yura yang mamaksa melepaskan sepatunya. "Yu, jangan!" Teriak Raymen saat Yura melempar kedua sepatunya ke luar jendela. "Oke. Oke. Aku akan istirahat. Nanti Jose akan mengantarmu. Perdebatan ini sudah selesai!" Raymen langsung menyerah. "Kalian romantic sekali" bisik Elma berbinar-binar dengan senyuman lebar.     ***   Sano kembali menghapus gambarnya untuk yang kesekian kalinya. Membuat Yura merasa gatal sendiri melihatnya, apalagi Sano sudah meninggalkan sebuah noda kotor yang tidak bisa di hapus di kertas. Sano benar-benar sangat begitu serius melakukannya, walau kemampuannya jauh dari atas bagus. “Mau aku bantu?” tawar Yura sembari merapatkan tempat duduknya untuk lebih dekat dengan Sano. “Kau tidak keberatan?.” “Ya, kemarikan” Yura mengambil kertasnya dan memperbaiki gambar Sano, tanpa menghapus bagian yang salahnya. “Ini hanya memakai pensil, jika gambarnya menurutmu salah, lanjutkan saja jangan di hapus. Tapi dengan pola baru,itulah prinsip sketsa menurutku. Jangan terlalu tegas saat menggoresnya tapi jangan ragu, nanti kau menemukan keindahannya layaknya sebuah sketsa yang berani.” Yura mengembalikan kertasnya, Sano tersenyum dalam kekagumannya. "Kau terlihat sangat serius saat menggambar, aku yakin kau sangat mencintainya. Jadi, percaya dirilah dengan apapun yang kau goreskan.” "Apa kau serius mengatakannya?." "Apa aku terlihat seperti bermain-main?" Yura menatapnya dengan serius, membuat Sano tersenyum malu dengan mata bulatnya seperti pinguin. "Aku merasa terharu." Yura tergelak tertawa mendengarnya, gadis itu mengusap bahu Sano memberikan dukungan dan semangat. Yura bukanlah gadis yang peka ataupun peduli terhadap apa yang ada di sekitarnya, tetapi dia akan merasakan sendiri bagaimana rasanya ingin di anggap dengan sebuah kejujuran yang membangkitkan, bukan menjatuhkan. Dan dia tahu apa yang Sano rasakan, Sano butuh dukungan. Sesi belajar di kelas seni telah selesai, setelah berjalan selama dua jam. Yura sangat berhati-hati dan mengendap-endap saat akan keluar kelas, dia memiliki alasan tersendiri melakukannya.  Sudah dua hari Raymen tidak sekolah, karena sakit. Jadi, beberapa penggemarnya yang selalu mengintai di atas gedung sekolah sekarang mengintai Yura dan menyerbunya dengan banyak pertanyaan. Yura sudah lelah menghadapi mereka sejak pagi tadi, bahkan tasnya sudah di penuhi dengan obat dan makanan dari mereka yang menitip. Yura celingukan melihat keadaan di luar melalui jendela, keadaan sekolah mulai sepi meski masih ada yang beberapa gadis yang mengintainya. "Kenapa belum pulang?." Yura terlonjak kaget, tiba-tiba saja Brian berdiri di belakangnya, bahkan dia bisa merasakan hembusan nafasnya di ubun-ubun. Yura membalikan tubuhnya dengan ragu. "Ah.. anu anu aku akan segera pulang" Yura tersenyum kikuk karena jarak mereka terlalu dekat. "Ayo" Brian memberi isyarat untuk pergi bersama, Yura mematung sejenak namun segera berlari mengejarnya dan mensejajarkan langkah mereka. "Tadi aku melihat hasil goresanmu" kata Brian. Yura mendongkakan wajahnya kehilangan kata-kata dan ketenangan  jantungnya, yang terasa mau melompat-lompat, dia terlalu bahagia sekaligus malu sekarang, dan itu berimbas pada lidahnya yang terasa kaku karena gugup. Hatinya terlalu berbunga-bunga. "Lalu?." "Itu sangat indah, aku rasa kau selalu membuat karya yang bagus. Aku juga sering melihatmu mengisi mading Café dan mading sekolah secara diam-diam." "Terimakasih" jawab Yura menutupi rasa tercengangnya mendengar perkataan Brian. Dia jadi merasa seperti di perhatikan, dan itu sangat membahagiakan perasaannya. "Oh iya, jika tidak keberatan kau ajak juga teman-temanmu untuk masuk kelas seni." Yura tersenyum mengangguk antusias. “Jika kau memiliki waktu luang. Sebenarnya aku ingin mengajakmu pergi makan malam, mungkin kita bisa saling bertukar fikiran.” Wajah Yura memerah seketika, jantungnya berdegup kencang hingga terasa sangat mengganggu karena terlalu senang. Yura berdehem, menetralkan semua rasa senangnya, “Aku bisa.” ***   Elma tersenyum hangat saat menyambut kedatangan Yura yang kedinginan karena kehujanan, Elma menghelanya masuk kedalam seperti anaknya sendiri. "Apa Raymen sudah baik-baik saja?." Tanya Yura. "Tadi pagi dia demam lagi, sekarang baik-baik saja, mungkin terlalu lelah karena belajar dan olahraga." "Boleh aku melihatnya?." "Tentu saja sayang" Elma tertawa geli, Yura segera pergi. "Oh iya Yu" Elma memanggilnya lagi, Yura menghentikan langkahnya di anak tangga terakhir. "Ada apa nyonya?." "Teman Raymen datang, jika tidak keberatan tolong suruh dia pergi, aku tidak menyukainya." "Siapa?, Chelsea?." Chelsea adalah pacar Raymen tiga minggu yang lalu. "Bukan, jika tidak salah namanya Andin." "I.. iya" Yura tersenyum kikuk, rupanya Andin yang datang. Yura tersenyum menggeleng, jangankan dia, rupanya ibu Raymen sendiri tidak terlalu menyukai gadis itu. Tapi apa dayanya mengatur hubungan sahabatnya?. Perlu Yura akui dia memang tidak menyukai Andin, tapi jika Andin dapat membuat Raymen bahagia, dia akan mendukungnya. Yura mengayunkan kakinya sambil beryanyi kecil memeluk dirinya sendiri, senyumannya semakin lebar, tidak sabar ingin segera menceritakanbeberapa hal kepada Raymen, apa lagi mengenai sorenya yang di hiasi kehadiran Brian. Seperti biasa, Yura akan langsung membuka pintu tanpa permisi. "Ray aku.." suara Yura langsung menghilang saat daun pintu telah di buka, dan di dapatinya Andin dan Raymen tengah asyik berciuman dengan panas. Andin berada di atasnya, bergerak liar, menindihnya penuh kuasa dan menyentuhnya di berbagai tempat. Andin hanya memakai bikini dengan rok yang sudah di lantai,  dan bra yang sudah di pingganya. Dengan cepat Raymen mendorongya, mereka langsung saling menjauh dengan wajah kaget sekaligus malu, berbeda dengan Yura yang melihatnya dengan mata berbinar-binarpenuh kekaguman. "Kalian lanjutkan saja" ucap Yura dengan canggung. "Tidak perlu. Kami sudah selesai" cegah Raymen dengan dingin. Yura mengangkat bahunya merasa bersalah, dia kembali keluar menunggu Andin untuk berpakaian dulu. "Anu... umm.. sebaiknya aku kedapur dulu, membantu ibumu." Andin merapikan dan menyisir rambutnya dengan tangan, wajahnya memerah begitu malu. Andin langsung berlari keluar sambil menutupi wajahnya  dengan salah tingkah, sementara Raymen menatap Yura dengan kesal. "Astaga" ekspresi senang Yura sangat berlebihan. "Kenapa tidak di lanjutkan!" Yura menghampiri Raymen dan meraih wajahnya, diamasih memberikantatapantidak percaya dan penuh kekaguman. "Astaga.. bagaimana rasanya? ceritakan padaku" pinta Yura dengan antusias. "Kau ini" Raymen tertunduk malu. "Apa bibirnya seperti strawberry?." "Yura hentikan aku malu tahu" Raymen menepis tangannya dan langsung membelakanginya. "Kenapa harus malu?, kau juga sering menciumku tapi tidak malu" Yura memeluk bahu Raymen sedikit memaksa. "Katakan!, agar aku bisa mambayangkannya nanti jika bersama Brian." "Itu berbeda Yu. Dan jangan pernah berharap untuk melakukannya dengan si monyet itu, kau terlalu polos.” Raymen melotot seketika. "Apa maksudmu?" Yura langsung menutup bibirnya tidak terima, gadis itu langsung berdecak pinggang. "Apa kau marah padaku karena tidak jadi o*****e?." Raymen melongo, menatap Yura tidak percaya. "Kau memiliki mulut yang berbahaya." Yura melambaikan tangannya tidak peduli. Dia membuka tasnya dan megeluarkan isinya dengan cepat, isinya beberapa macam obat dan makanan. "Itu darimu?." Tanya Raymen penuh harap. "Ini dari penggemarmu." Raymen memutar bola matanya merasa sebal. "Dari sekian banyak wanita yang ada di sekitarku, kenapa kau yang paling tidak perhatian." "Ah.. kurang perhatian apa aku padamu, setiap hari aku ada di sisimu " Yura menaik turunkan kedua alisnya, Raymen kembali tertawa lepas melihatnya. "Bagaimana keadaanmu?." "Baik." “Tentu saja baikan, bukankah barusan mendapatkan obat ciuman yang panas?” Yura tersenyum menggoda.  Gadis itu melompat dan duduk di samping Raymen. “Aku menyesal tadi tidak mengintip, Andin sudah mengangkangimu dengan liar, siapa tahu kan…” nada suara Yura semakin menggoda. Raymen mengerang kesal di dorongnya tubuh Yura dengan keras hingga terlentang, Raymen langsung menduduki perutnya memberi tatapan jahat. Yura tertawa mengejek, Raymen membekap mulutnya menyuruhnya berhenti tertawa dan menghujaninya banyak kecupan di wajah gadis itu. “Dasar m***m!.” Raymen semakin gencar menciumnya, Yura berusaha mendorongnya hingga kini giliran Raymen yang terjatuh terlentang, dengan cepat Yura mendudukinya dan memukul perut Raymen beberapa kali. “Beraninya kau! Wajahku milik Brian! Beraninya kau!” Yura semakin keras memukulinya, Raymen tertawa tanpa perlawanan. Perlahan pukulan Yura berhenti bersamaan dengan tawa Raymen, mata kehijauan itu menatap sendu Yura dengan senyuman samarnya. Tangan Raymen terulur meraih kerah baju Yura, menurunkan dasinya dan membuka satu kancing. Yura terdiam, membiarkan Raymen melihat sepanjang lehernya yang kini sudah membaik. “Aku meminum obat Ray. Aku sudah sembuh” Sebuah helaan nafas lega terhembus dari mulut Raymen, kepalanya tertunduk lagi mengecup kening Yura dan mengusap surai lembut rambut kecokelatannya. “Jangan terluka lagi.”   ***   "Hey aku ingin bercerita" Yura duduk di meja belajar. Bibirnya tersenyum berseri-seri, menceritakan Brian yang semakin membuatnya berbunga-bunga, sementara Raymen mendengarkannya dengan setengah hati, namun masih setia mendengarkannya sampai tuntas. "Aku rasa, dia memanfaatkanmu untuk menambah anggota komunitas seni, atau dia memanfaatkanmu karena bakatmu itu, agar menambah kepopuleran komunitasnya." "Tidak, dia bahkan tidak memaksaku." "Itu trik halusnya Yu." "Aku tidak percaya" Yura mendelik kesal, Yura menjatuhkan tubuhnya keranjang dengan posisi terlentang. "Aku sudah memutuskan untuk pergi ke dokter, Ray" Yura mengalihkan pembicaraan. "Sejak kapan?." "Tiga hari yang lalu." "Aku sangat senang mendengarnya." Raymen tersenyum sendu, manik matanya menghangat penuh kelembutan, “Aku harap kau kembali sehat lagi.” "Ray.." Yura mencolek-colek tangan Raymen sampai pria itu melihatnya. "Bagaimana jika aku bilang kau punya pacar  kepada semua orang. Siapa tahu namaku bersih dari rumor pacaran kita?."Tanyanya mengalihkan pembicaraanya lagi untuk ketiga kalinya. Raymen mengatupkan bibirnya tanpa jawaban, dia menggelengkan kepalanya sebagai jawaban tidak setuju, Yura menyipitkan matanya tidak suka. "Posting photo saja saat dengan Andin" usul Yura lagi, Raymen kembali menggelengkan kepalanya tidak setuju, dia berubah  menjadi sedih. "Kau tahu sendiri kan, aku tidak pernah serius menjalin hubungan, termasuk dengan Andin." Raymen ikut menjatuhkan tubuhnya ke ranjang terbaring di sebelahnya, dia tertidur dengan posisi miring dan tangannya sebagai bantalan. "Kau merepotkan hidupmu sendiri. Pacar itu bukan seperti membeli sepatu dan kau bisa mencobanya satu persatu untuk mencari yang cocok." "Jangan so tahu deh, kau saja belum pernah pacaran." Raymen memainkan helaian rambut Yura yang terjatuh menghiasi wajahnya, tatapannya terlihat begitu serius namun manic matanya begitu sedih. "Sebentar lagi aku dan Brian pacaran, lihat saja nanti" Yura bersedekap dengan sombong, Raymen hanya tertawa tidak percaya. “Dengar Yura, jatuh cinta itu terkadang menyakitkan.” Yura mengerutkan keningnya tidak mengerti, Raymen menyentuh dahiYura menekan-nekannya dengan ibu jarinya, “Aku serius, apa lagi cinta bertepuk sebelah tangan, itu sangat sakit.” “Baiklah-baiklah, aku akan mendengarkannya” Yura menggeser posisinya agar lebih dekat dengan Raymen, “Cepat sembuh Ray, aku kesepian” pintanya setelah berada dalam pelukan Raymen. “Aku akan sembuh jika kau tidak sering memukulku.” Raymen tersenyum di balik helaian rambut Yura dan mengusap punggungnya. “Maafkan aku.” “Aku serius Yu.” Raymen berbisik begitu lembut. “Jika kau menyukai seseorang, bukan berarti kau mencintainya.  Dan jika kau membenci seseorang, siapa tahu kau mencitainya.” “Tapi Brian mengajakku pergi makan malam.” Gumam Yura samar. “Apa?, kenapa kau tidak mengataknnya padaku?” Teriak Raymen dengan pelototan dan kemurkaan. Yura langsung mendorong Raymen dan melepaskan diri dari pelukannya, di raihnya tas gendongnya dan di pukulkan ke wajah Raymen. “Jangan pernah berani mengacaukannya!” Teriak Yura tidak kalah murka. ***   Hari mulai sore, hujan pun mulai reda, Yura memutuskan untuk segera pulang. Di dorongnya gerbang rumah Raymen untuk kembali di buka. Tangannya berhenti bergerak saat menemukan Andin yang berdiri menunggunya di luar. Yura terlihat tidak peduli, dia mengambil kunci kendaraannya dari dalam tas. "Yura" Andin memanggilnya dengan tegas. Andin mengikuti Yura dan meraih lengannya, mengajaknya bicara. "Ada apa?." "Kau sangat jahat sekali ternyata." "Apa maksudmu?." Yura bersedekap dengan tenang. Dia tidak suka di tuduh begitu saja tanpa sebuah alasan yang jelas. "Kau hanya sebatas sahabatnya dan aku pacarnya, kau tahu kan maksudku?. Sahabat ada batasannya dalam kehidupan asmara, tapi sepertinya sekarang aku tahu. Kenapa Raymen selalu mengganti pacarnya. Dia hanya ingin mencari pacar yang cocok dan bisa kau sukai." "Kau berlebihan.” "Berlebihan?. Kau selalu bisa mengaturnya, dia hanya patuh padamu, kau selalu ada di manapun dia berada, kau selalu mengacaukan moment kami, dan kau merebut semua perhatiannya. Sangat egoisdan tidak tahu diri!" Yura terdiam manik matanya melembut, merasakan suatu kebenaran terhadap apa yang di katakan Andin, dia tidak bisa berkata apa-apa untuk membela diri kali ini. "Kau mencintainya?." Andin menyipitkan matanya penuh curiga. "Tentu saja. Karena dia sahabatku." "Bukan itu maksudku, mencintai seperti wanita normal lainnya." "Tidak" jawab Yura dengan cepat dan tegas. Dia tidak akan pernah ragu untuk mengatakannya. "Kalau begitu berhenti bersikap kau seperti kekasihnya!. Beri dia jarak yang cukup jauh, jika memang kau tahu yang mana posisi pacar dan mana posisi teman." “Aku minta maaf jika mengganggu kalian.” “Tentu saja kau mengganggu!. Beberapa menit yang lalu dia menciumku dengan hambar, dan dingin. Lalu, menit selanjutnya dia menciumu begitu sayang. Kau pengganggu! Dan sadarilah itu, sekalipun kau tidak punya hati dan tidak pernah peka.” Andin meninggalkan Yura yang masih diam mematung. Dia bingung dengan kebenaran yang dikatakan Andin, bingung dengan apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Yura kembali tersenyum memaksakan, melihat Raymen yang berdiri di atas balkon entah sejak dari kapan. Mungkin dia juga mendengarkan percakapan antara Yura dan Andin. To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD