Tamu Tak Diundang

1130 Words
Setelah mengantarkan si kembar ke sekolah, Merilyn kembali ke rumah. Dia memiliki banyak pekerjaan rumah yang belu selesai. Merilyn mulai dari membersihkan dapur, dia tadi buru-buru karena si kembar bangun terlambat. Merilyn masuk ke dalam kamar anak-anaknya setelah selesai dari dapur. Tidak banyak barang berantakan, karena Richad merupakan anak rapi. Lain lagi dengan Rachel, gadis kecilnya itu memang tidak terlalu berantakan namun selalu asal menaruh barang. Jadinya dia selalu lupa saat membutuhkan barang tersebut. Merilyn yang selalu merapikan barang anak perempuannya itu. Merilyn keluar dari kamar anak-anak saat mendengar pintu rumahnya di ketuk. Sebelum membuka pintu di mengintip dari jendela untuk melihat siapa orang yang datang bertamu ke rumahnya. Dilihat dari bentuk tubuhnya dan rambutnya yang panjang, sudah jelas kalau orang tersebut alah perempuan. Hanya saja Merilyn tidak bisa melihat wajahnya karena perempuan itu membelakangi pintu. "Siapa?" tanya Merilyn sembari membuka pintu rumahnya. "Aku Patricia. Kalau kamu masih ingat, aku tunangan Raiden." Merilyn mengangguk. Dia menebak tujuan perempuan itu datang pasti untuk memintanya menjauhi Raiden. Mungkin saja dia sudah tahu hubungannya dengan Raiden di masa lalu. "Silakan duduk." Merilyn enggan mempersilakan perempuan itu masuk ke dalam rumahnya. Dia menunjuk sepasang kursi plastik di teras rumahnya. "Maaf iya, aku tidak punya apa-apa di rumah. Jadi nggak bisa menyuguhkan apapun." Tujuan Merilyn supaya si tamu cepat pulang. Dia tidak suka berbasa-basi dengan orang baru terlebih itu orang yang berhubungan dari masa lalu. "Tidak masalah. Aku juga tidak makan dan minum dari sembarangan tempat." Patricia berucap dengan nada menyindir. Merilyn tahu Patricia sedang menyindirnya namun, dia tidak peduli. "Oh, iya apa tujuanmu datang ke sini?" "Kau bilang kau tidak mengenal Raiden. Ternyata kalian pernah menikah bukan?" Patricia mencibir kelakuan Merilyn. "Sepuluh tahun yang lalu, sekarang aku sudah tidak ingat bagaimana wajah Raiden. Jadi wajar kalau aku bilang aku tidak mengenalnya," kata Merilyn mencari alasan. Dia tidak mungkin lupa dengan wajah pria yang sampai sekarang masih jadi penghuni di hatinya. "Tidak perlu berbasa-basi lagi." Patricia mengeluarkan surat dari dalam tasnya lalu memberikan surat tersebut pada Merilyn. "Ini. Baca dengan baik dan tandatangani di sini," kata Patricia sembari menunjuk bagian bawah kertas tersebut. Dia begitu yakin kalau Merilyn akan menyetujui surat yang dia ajukan. Jumlah uang yang dia tawarkan cukuplah banyak untuk ukuran orang seperti Merilyn. "Hahaha ...." Merilyn tertawa kesal setelah selesai membaca isi surat tersebut. Setelahnya dia merobek kertas itu menjadi bagian kecil. "Aku tidak tertarik dengan apa yang kau tawarkan. Tolong silakan pergi dari sini!" Merilyn mengusir Patricia terang-terangan. Jika tidak pandai menjaga emosinya, Merilyn pasti sudah berhasil membuat perempuan itu terluka paling tidak hidung Patricia patah. "Kau! ... Tidak usah sok jual mahal. Katakan saja kalau uang itu kurang, aku pasti akan menambahinya. Dasar miskin!" "Bahkan jika kau menawarkan seluruh aset keluargamu, aku tidak akan menyerahkan anak-anakku ke tanganmu." Surat yang diajukan oleh Patricia adalah surat perjanjian adopsi anak. Dia menginginkan hak perwalian penuh atas si kembar dan menawarkan sejumlah uang sebagai imbalannya. Merilyn menolak tegas, anak-anaknya lebih berharga daripada uang yang Patricia tawarkan. "Aku memberikan penawaran yang menguntungkan untukmu. Sebaiknya kau menerimanya selagi aku masih berbaik hati." Patricia mulai mengeluarkan ancamannya. Tadinya dia pikir akan mudah berurusan dengan Merilyn karena perempuan itu miskin. Dia hanya perlu memberikan uang lalu semuanya beres. Bagaimanapun caranya dia harus bisa mendapatkan hak asuh anak-anak Merilyn. Dengan begitu Raiden akan setuju menikahinya. Anak-anak itu bisa dia jadikan sebagai alat untuk menekan Raiden. "Aku tidak tertarik dengan tawaran yang kau berikan," tolak Merilyn lagi. Dia tidak menyangka mengalami kejadian seperti ini. Benar-benar luar biasa pengalamannya pagi ini. "Tawaran seperti ini tidak akan datang dua kali. Aku menaikkan tawarannya menjadi dua kali lipat. Aku akan memberikan kamu uang satu miliar dan juga sebuah vila di Bali. Bagaimana?" "Tidak!" Merilyn menolak tegas. Dia benar-benar tidak tertarik dengan harta yang ditawarkan oleh Patricia. Sudah dia bilang kalau anaknya lebih berharga dari apapun. "Permisi, aku banyak kerjaan." Merilyn lalu berdiri kemudian masuk ke dalam rumahnya. Dia sengaja menutup pintu dengan keras supaya otak Patricia ada sedikit kejut dan dia langsung sadar kalau apa yang dia lakukan itu salah. Patricia menendang pintu rumah Merilyn kesal. Dia tidak menyangka kalau dia akan pulang dengan tangan kosong. Merilyn ternyata jauh dari apa yang dia perkirakan. Wanita itu ternyata sangat sulit untuk dia tangani. Tapi, bukan Patricia kalau dia tidak keluar sebagai pemenang. "Jika cara halus tidak bisa maka jalan satu-satunya adalah cara kasar," kata Patricia seraya menatap jauh ke rumah Merilyn seolah-olah dia bisa melihat perempuan itu. *** "Maaf, Lyn. Saya nggak tahu kalau Raiden tiba-tiba datang memberikan banyak pekerjaan." Merilyn menoleh tidak tertarik pada Gabe yang datang ke rumahnya setelah Patricia pergi. "Bukankah seharusnya kamu mengantarkan anak-anakku dulu baru lanjut bekerja?"Gabe menelan ludahnya kasar. "Seharusnya memang begitu. Tapi, Raiden bersikeras untuk bersama si kembar. Mungkin batinnya bergejolak saat melihat anak-anak kalian." Merilyn melemparkan kulit pisang tepat ke wajah Gabe. "Dia tidak punya ikatan batin dengan si kembar. Kalau dia punya sudah sejak awal dia tahu mengenai anak-anakku." Gabe tidak membenarkan perkataan Merilyn. Raiden pernah beberapa kali berhenti di depan toko pakaian anak-anak dan toko mainan. "Terkadang aku merasa kalau aku sudah punya anak." Begitu kata Raiden dulu. Gabe memilih diam, karena dia yakin Merilyn tidak akan percaya padanya. "Ini masih jam kerja. Raiden nggak akan kehilangan kamu jam segini?" "Pertanyaan mu, Lyn. Seolah-olah kami punya hubungan menyimpang," sungut Gabe. Dia meninggalkan Raiden karena pekerjaan mereka sudah selesai. Harusnya mereka akan kembali ke Jakarta dalam minggu ini namun, Raiden meminta perpanjangan waktu untuk menyelesaikan masalahnya dengan Merilyn dan juga anak-anak mereka. "Aku pernah memikirkan itu. Kalian berdua selalu bersama. Jangan-jangan kalian berdua pernah melakukan hal yang menyimpang." Gabe bergidik ngeri ketika membayangkan memiliki hubungan yang lebih dari atasan dan bawahan dengan Raiden. "Itu menjijikkan. Meskipun belum menikah sampai sekarang, Saya masih menyukai perempuan dan Raiden pun juga begitu." Merilyn tidak mengatakan apapun sebagai balasan. Dia hanya mengangkat bahunya tidak peduli. "Permintaan Saya tadi. Apa kamu bisa menyetujuinya, Lyn?" Merilyn menggeleng tanda dia menolak menyetujui permintaan Gabe. Pria itu meminta agar diizinkan untuk pergi dengan si kembar akhir pekan ini. Namun, mengingat dia yang tidak becus menjaga anak-anak membuat Merilyn berat mengeluarkan izin. "Yang kemarin Saya nggak jadi main sama si kembar." "Aku nggak bisa melepaskan si kembar dari pandanganku. Tunangan Raiden menginginkan hak asuh mereka." Merilyn mengutarakan hal yang mengganggu di pikirannya. Melihat tingkah Patricia, Merilyn yakin kalau perempuan itu belum menyerah. Bisa saja dia meminta agar Raiden merampas hak asuh anak-anaknya. Jika berurusan dengan Raiden Merilyn yakin dia akan kesulitan. Karena itu jalan satu-satunya adalah menjauhkan mereka. "Patricia datang ke sini?" Merilyn mengangguk. "Dia datang bersama Raiden?" tanya Gabe lagi. "Tidak, dia datang sendiri." Gabe terlihat seperti sedang berpikir keras. Jika tidak bersama Raiden berarti Patricia bergerak sendirian. Entah apa tujuannya yang pasti Gabe harus memberitahukan ini pada Raiden. "Tidak perlu khawatir. Saya akan memastikan kalau dia tidak akan mengganggu kamu." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD