Suasana rumah Merilyn pagi ini tidak seperti biasanya. Anak-anak biasanya ribut sebelum mereka berangkat ke sekolah terlebih Rachel yang selalu kehilangan barang-barang yang akan dia bawa ke sekolah. Pagi ini rumah itu terlihat lebih sepi karena biang keributan sedang sakit. Rachel demam sejak kemarin sore. Setelah selesai membuatkan sarapan dan juga menyiapkan bekal untuk Richad, Merilyn kembali ke kamar untuk mengecek kondisi putrinya itu.
"Ma, aku berangkat dulu, iya. Ojeknya sudah datang," kata Richad dengan nada pelan agar tidak membangunkan Rachel yang masih tidur. Merilyn menyempatkan diri untuk memesan ojek online untuk putranya sebelum masuk ke kamar tadi.
"Iya, Nak hati-hati," jawab Merilyn, "jangan lupa tutup pintu!" kata Merilyn lagi. Mungkin karena suaranya tadi sedikit keras membuat Rachel terbangun. Rachel adalah tipe anak yang tidak bisa menahan sakit. Dia akan terus mengeluh tidak nyaman sepanjang hari. Dia juga paling tidak suka kalau mamanya hilang dari pandangan matanya. Dia ingin terus bersama dengan mamanya, tidak mau ditinggal barang sedetik.
"Mama di sini aja, jangan ke mana-mana," kata Rachel saat Merilyn menurunkan kakinya dari tempat tidur.
"Mama mau beresin ruang depan dulu, Nak. Berantakan banget, malu kalau ada tamu." Merilyn tetap turun dari tempat tidur. Dia lebih sering tidak menuruti permintaan Rachel. Melihat mamanya tetap pergi, Rachel memilih ikut turun dari tempat tidur. Dia berjalan dengan langkah pelan karena takut jatuh. Kepalanya terasa pusing dan tubuhnya masih sangat lemas.
"Kenapa kamu keluar kamar, Hel?" tanya Merilyn lalu langsung membantu Rachel duduk di kursi.
"Duduk di sini, Mama ambilkan air hangat untuk kamu." Merilyn berlalu ke dapur untuk mengambil air hangat. Setelah memastikan Rachel menghabiskan air hangat tersebut, Merilyn melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Baru saja selesai beres-beres pintu rumah Merilyn di ketuk dari luar.
"Siapa?" Merilyn berjalan menuju pintu rumahnya untuk melihat siapa tamunya tersebut. Sebelum membuka pintu, Merilyn mengintip dari jendela. Dia tidak akan membuka pintu jika yang datang adalah Patricia. Namun, sepertinya dia harus kembali terkejut saat matanya langsung bertatapan dengan mata Raiden yang juga sedang mengintip dari jendela.
"Orang gila!" maki Merilyn kesal. Dia kembali menatap jendela dan ternyata Raiden masih melihatnya lalu memberikan kode agar membuka pintu.
Bukan Merilyn kalau dia langsung melakukan apa yang pria itu katakan. Dia malah duduk di sofa lalu berbisik pelan pada Rachel. Dia meminta putrinya itu pindah ke dalam kamar. Namun, Rachel menolak karena sudah bosan terus berada di kamar.
"Merilyn! Buka pintunya sebelum aku bertindak!" Rachel melirik mamanya dengan ekspresi bingung.
"Siapa, Ma?" tanyanya pelan.
"Teman lama Mama," jawab Merilyn asal.
"Kamu masuk kamar aja, iya, Nak." Merilyn kembali membujuk putrinya. Dia tidak bisa bebas berbicara dengan Raiden kalau Rachel masih berada di sana.
"Nggak, Ma. Nanti aja habis makan siang."Rachel memeluk boneka kesayangannya lalu mencari posisi yang nyaman. Rachel juga penasaran siapa tamu yang datang ke rumah mereka. Dia curiga mamanya punya pacar.
Merilyn bergegas membuka pintu sebelum Raiden mendobraknya. "Bagus kamu langsung membukanya. Kalau saja kamu terlambat satu menit, terpaksa kamu harus mengganti pintu." Raiden lalu berjalan masuk ke dalam rumah Merilyn tanpa perlu menunggu dipersilakan oleh yang punya rumah.
"Om Rai?" Rachel tersenyum senang saat melihat tamu yang datang adalah Raiden.
"Rachel tidak sekolah?" tanya Raiden heran. Dia lalu mengalihkan pandangannya pada Merilyn yang mengambil tempat duduk tepat di hadapannya.
"Nggak, Om. Aku demam dari tadi malam." Rachel menyentuh dahinya untuk memastikan kalau dia memang masih demam.
Raiden berdiri lalu meletakkan punggung tangannya di kening Rachel. Memang benar kalau anak perempuannya itu sedang demam. Dia lalu melirik Merilyn meminta penjelasan namun, perempuan yang dia lirik malah membuang muka.
"Sudah minum obat?" tanya Raiden pada Rachel.
"Sudah, Om," jawab Rachel tidak terlalu bersemangat. Dia tidak seperti biasanya yang selalu ceria. Raiden mengangguk kecil. Dia lalu menaikkan selimut yang berada di kaki Rachel menutupi tubuh anak itu hingga sebatas leher.
"Istirahatlah. Om akan berbicara dengan Mama kamu dulu." Kemudian Raiden berdiri. Dia menggenggam tangan Merilyn lalu membawa perempuan itu keluar dari rumah.
"Lepaskan!" Merilyn memberontak setelah mereka berada di luar rumah. Raiden tidak langsung melepaskan tangan mantan istrinya itu. Dia menarik paksa tangan perempuan itu menuju mobilnya. Tanpa banyak bicara dia memasukkan Merilyn ke dalam mobilnya lalu mengunci pintu mobil dengan cepat. Dia tidak memberikan Merilyn celah untuk melarikan diri.
Merilyn menurunkan kaca mobil. "Buka pintunya atau aku teriak!" katanya dengan nada mengancam. Raiden melipat tangannya lalu menyandarkan tubuhnya di pintu mobil. Posisinya sekarang masih berada di luar sementara mantan istrinya itu berada di dalam mobilnya.
"Berteriaklah, dengan begitu semua orang akan datang ke sini. Dan urusan kita akan semakin rumit." Raiden balik menantang Merilyn. Meskipun usia pernikahan mereka dulu sangat singkat, sedikit banyaknya Raiden sudah memahami bagaimana sifat Merilyn. Salah satunya adalah, perempuan itu paling tidak suka orang lain mencampuri masalahnya. Merilyn sangat anti orang lain mengetahui kelemahannya. Karena itu setiap ada masalah, dia lebih sering menghadapinya seorang diri daripada meminta solusi dari orang lain.
"Aku menginginkan hak asuh atas anak-anak kita," kata Raiden setelah melihat Merilyn sedikit tenang.
"Anak kita? Mungkin yang kamu maksud adalah anak-anakku." Merilyn menimpali santai perkataan Raiden. Namun, dalam hatinya Merilyn merasa sangat tertekan. Lebih dari itu ada rasa takut yang membayanginya. Takut kehilangan anak-anaknya.
"Rachel dan Richad. Aku tidak perlu menunjukkan bukti tes DNA ke kamu kalau mereka anak-anakku juga." Merilyn menatap Raiden sembari tersenyum. Senyum yang tidak sampai ke mata.
"Aku merawat mereka sejak dalam kandungan seorang diri. Aku melahirkannya tanpa kamu. Aku pun membesarkan mereka hingga seperti sekarang seorang diri. Tidak sekalipun ada campur tangan kamu. Menurutmu apakah pantas, kamu menyebut mereka sebagai anak-anakmu?"
"Mereka berasal dari darah dagingku. Jadi tentu saja aku pantas menyebut mereka sebagai anak-anakku. Dan, Lyn. Tidak perlu membuat semuanya rumit. Kamu cukup menyerahkan mereka padaku maka kamu akan hidup dengan tenang." Raiden menatap jauh ke arah jalanan di depan mereka.
"Aku menolak memberikan hak asuh mereka ke kamu! Kamu tidak ada sejak mereka lahir ke dunia. Dan mereka pun tahu kalau mereka tidak punya Papa." Perkataan terakhir Merilyn menusuk hingga ke jantung Raiden. Ini adalah kesalahannya, harusnya dia tidak langsung tutup mata setelah mereka bercerai. Dia harusnya memastikan kondisi Merilyn. Akan lebih bagus kalau dia mengambil anak-anaknya saat mereka baru saja dilahirkan. Sehingga Merilyn tidak perlu sakit hati saat anak-anak pindah ke rumahnya.
"Kamu tidak punya pilihan lain, Lyn. Sebaiknya kamu menyerah sebelum semuanya semakin rumit." Raiden melakukan ini untuk melindungi anak-anaknya dan juga Merilyn. Ini adalah jalan satu-satunya yang sudah dia pikirkan dengan matang, sebelum papanya atau papa Patricia tahu keberadaan mereka bertiga.
"Aku yakin kamu mengerti bahasa manusia." Merilyn tidak perlu mengulangi kata-kata penolakan pada Raiden.
"Ini demi kebaikan kamu dan anak-anak, Lyn."
"Tidak ada seorang ibu yang merasa baik jika anak-anaknya diambil dari sisinya." Tatapan Merilyn menajam seiring naiknya emosi yang coba dia tahan sejak tadi. Raiden menghela napasnya. Dia juga tidak tega memisahkan anak-anak dari ibunya namun, dia harus melakukannya demi keselamatan mereka.
"Aku harap tidak ada pembahasan lain mengenai hal ini. Dan aku harap ini adalah pertemuan terakhir kita. Seharusnya kamu memegang ucapanmu saat kita berpisah dulu." Perkataan Merilyn harusnya cukup untuk menyinggung Raiden yang tidak bisa memegang ucapannya dan juga perjanjian yang sudah mereka tanda tangani.
"Aku tidak akan bisa menjamin kalau ini adalah pertemuan terakhir kita. Mungkin setelah kamu menyerahkan anak-anak baru aku memastikan kita tidak bertemu lagi."
"Terserah apa katamu. Yang jelas aku tidak pernah ingin bertemu kamu lagi." Merilyn langsung membuat gerakan tutup mulut pertanda kalau dia tidak ingin berbicara lagi. Memahami kalau Merilyn tidak bisa dia ajak bicara dengan baik hari ini, Raiden memutuskan untuk membicarakannya lagi di lain waktu.
***