Eve tidak peduli jika Arnesh menganggapnya tidak punya harga diri. Ia hanya ingin berusaha agar pekerjaan bibinya bisa kembali. Wajahnya pun terasa panas, mendapat tatapan sinis dari sosok pria di hadapannya.
Sebelah alis Arnesh terangkat setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Eve.
“Saya paling anti menarik kembali kalimat yang sudah keluar dari mulut saya. Apalagi mengubah keputusan yang sudah diambil . Jadi jangan bermimpi untuk kembali bekerja.”
“Tapi Tuan, kondisi Bi Sukma lagi sakit dan sedang dirawat. Begitu saya kasih tahu soal keputusan Anda, dia pingsan akibat syok. Ditambah sakit maagnya yang semakin parah. Jadi tolonglah, Tuan,” jelas Eve.
Kaki Arnesh bergerak dari tempatnya. Dengan santainya, melangkah mendekati Eve. Satu tangannya masuk ke saku celana, lalu berdiri tepat di depan wanita itu. Menatap penuh rasa angkuh.
“Memohon sampai lelah, atau bahkan berlutut sampai berdarah-darah, dia tidak akan pernah bisa kembali bekerja. Saya tidak suka dengan orang yang tidak jujur,” ucapnya dingin namun tegas.
Bulu kuduk Eve meremang. Tatapan pria itu, begitu mengintimidasi. Setampan apa pun wajahnya, namun jika memiliki sifat seperti ini, Eve tidak akan sanggup dekat terlalu lama.
Salah satu sudut bibir Arnesh terangkat. Menampakkan senyum remeh di wajahnya.
“Hiduplah dalam penyesalan. Kesalahanmu dan bibimu, bukan kesalahan sepele bagi saya. Ingat itu!”
Setelah mengatakan hal sekejam itu, Arnesh pergi meninggalkan Eve yang masih mematung. Wajah wanita itu menegang. Kedua matanya memerah dan napasnya terlihat berat. Kedua tangannya mengepal namun diiringi dengan gemetar.
“Kenapa orang kaya selalu sombong?” gumamnya penuh kecewa. “Aku tahu aku salah. Tapi satu kesempatan pun nggak ada. Dasar angkuh!”
***
Saat ini Eve tengah duduk di balik meja kerjanya. Menatap layar komputer yang sedang menyala. Bukan untuk bekerja. Wanita berambut panjang bergelombang itu, justru sedang melamun. Ia terus ingat mengenai biaya obat yang mungkin harus dibayarkan, serta bagaimana kejamnya sosok Arnesh.
“Eve!”
Ketika Ranza memanggil namanya, Eve langsung terkesiap. Ia mendongak ke arah depan, menatap rekan kerjanya.
“Iya, Ran?”
“Miss Lady minta laporan penjualan minggu kemarin,” ucapnya.
Eve mengangguk gelagapan. “Oh, oke.”
“Kamu sudah print, kan?”
“Nggak via e-mail?”
Ranza menggeleng. “Kamu bawa hard copy-nya ke ruangan.”
Mendadak wanita itu menjadi panik. “Ya ampun, belum aku print.”
“Buruan, Eve. Kayaknya Miss Lady lagi bad mood, jadi mukanya jutek gitu.”
Nyali Eve langsung ciut mendengar pengakuan Ranza. “Jangan nakut-nakutin aku dong, Ran.”
“Aku nggak nakut-nakutin tapi mengingatkan kamu biar waspada,” jawabnya. “Buruan deh, jangan banyak mikir.”
Sesuai saran rekan kerjanya, Eve langsung bergerak cepat. Lady adalah atasan yang baik. Tetapi, jika suasana hatinya buruk, maka jangan pernah mencari perkara. Kuping akan dibuat panas dan hati juga sakit dengan kata-katanya yang pedas.
Setelah permintaan Lady sudah ada di tangannya, kini waktunya Eve pergi ke ruangan bosnya. Berdiri di depan pintu, sebelah akhirnya tangannya terangkat untuk mengetuk pintu yang tidak tertutup rapat.
“Beb, kamu nggak Cuma manfaatin aku, kan? Kenapa setiap aku ajak ketemu, kamu nolak. Jangan bilang kamu Cuma butuh aku untuk diajak making love?”
Jantung Eve serasa mau copot mendengar perkataan Lady. Ia menebak, bosnya sedang bicara lewat telepon.
“Gila kamu! Kamu mau cari wanita yang seperti apa? Aku sempurna untuk kamu!”
Entah kenapa, pikiran Eve langsung tertuju pada sosok Arnesh. Membayangkan jika Lady sedang bicara dengan pria itu. Meski hanya menduga, namun perasaannya kuat, jika wanita yang bersama Arnesh pada malam itu, adalah Lady.
“Berengsek!”
Suara keras dari dalam membuat Eve terkesiap. Ia tidak menyangka kalau Lady akan semarah ini. Niatnya untuk membawa laporan, mendadak ragu. Takut jika apa yang Ranza katakan akan menjadi kenyataan.
“Aku Cuma karyawan biasa jadi semua resiko harus aku hadapi” gumamnya saat merasa ragu. “Ya Tuhan, jangan tambah beban pikiranku. Semoga hatinya Miss Lady tetap baik.”
Dalam keadaan takut, tangan Eve kembali terangkat, lalu mengetuk pintu ruang kerja Lady. Hanya tiga kali ketukan dan terdengar perintah agar Eve segera masuk. Sambil menenangkan hatinya, Eve berusaha menampilkan senyum ramah kepada bosnya.
“Siang Miss, saya mau bawa laporan penjualan minggu lalu.”
“Duduk!”
Wajah Lady nampak tidak bersahabat. Nada suaranya pun terdengar ketus. Menerima laporan dari Eve tanpa menatap wajah wanita itu.
“Kenapa lama sekali?” tanya Lady.
“Maaf Miss, tadi masih saya print dulu.”
Lady menghela napas kasar. “Padahal kamu kerja bukan baru seminggu tapi sudah tiga bulan. Harusnya kamu print dan simpan. Kalau saya minta, langsung cepat.”
“Maaf Miss. Ini akan jadi pengingat buat saya.”
Suasana hening. Wajah Lady yang tegang, nampak semakin fokus dengan keningnya yang mengkerut. Tiba-tiba terdengar suara gebrakan di atas meja, yang bersumber dari tangan wanita itu.
Eve melonjak kaget dengan kedua mata membola.
“Ada apa Miss?”
Tatapan mata Lady nampak sangat tajam mengarah ke wajah Eve.
“Kamu bisa kerja, nggak? Baru juga kemarin tanda tangan kontrak kerja, sudah melakukan kesalahan seperti ini!”
“Maaf Miss, maksudnya kesalahan apa?”
Lady melempar laporan yang baru saja dilihat. “Buka matamu lebar-lebar dan cari kesalahannya!”
Dengan tangan gemetar, Eve melihat laporan yang ia buat. Diperhatikan semuanya, namun belum paham apa yang dimaksud oleh Lady. Hingga akhirnya matanya menangkap sesuatu yang janggal.
“Sebelum kamu menyerahkan apa pun kepada saya, kamu harus cek dengan teliti. Sudah tahu salahnya di mana?”
Eve mengangguk takut. “Saya salah memberikan laporan. Ini laporan dua minggu lalu. Maaf Miss Lady.”
“Kamu pergi sekarang dan bawa apa yang saya minta. Kalau kamu melakukan kesalahan seperti ini lagi dan membuang waktu saya, sebaiknya saya pertimbangkan lagi kontrak kerja kamu,” ancam Lady.
“Jangan Miss. Tolong jangan pecat saya.” Eve beranjak dari duduknya. Berdiri di hadapan Lady, kemudian membungkuk untuk memohon. “Tolong maafkan kesalahan saya. Jangan pecat saya karena saya harus membiayai bibi saya yang sakit.”
“Jangan membawa keadaan keluarga untuk mencari simpati. Saya juga tidak akan peduli soal itu,” balas Lady tega. “Pergi sekarang dan segera kembali dengan apa yang saya minta.”
“Baik Miss. Sekali lagi saya minta maaf atas kesalahan yang saya lakukan,” ucap Eve sebelum pergi dari hadapan bosnya.
Eve keluar dari ruangan Lady dengan wajah pucat. Matanya berkaca-kaca karena takut membayangkan jika lagi harus kehilangan pekerjaan. Padahal selama ini ia bukan tipe orang yang cengeng. Lelah fisik dan batin, membuatnya menjadi sosok yang lemah. Masalah yang terus terjadi tanpa ia sengaja, benar-benar sangat ia sesali.
“Bu Pak, bantu kuatin Eve. Doakan dari sana, biar Eve bisa melewati semua masalah ini. Semoga Bi Sukma segera sembuh dan sehat seperti sedia kala. Tolong jangan biarkan putri ibu sama bapak menyerah dengan keadaan ini,” batin Eve diiringi air mata yang menetes.