Wajah Arnesh yang tegang, menemani kakinya melangkah menuju ruangan yang ditempati oleh kakeknya selama dua hari ini. Meninggalkan pekerjaan karena mendapat kabar kalau Catra sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Tentu saja Arnesh senang karena drama kakeknya sudah selesai.
Tangannya yang nampak berurat, menggeser pintu kamar hingga terbuka. Arnesh langsung melihat keberadaan kakeknya bersama Gilang – orang kepercayaan Catra. Kakeknya terlihat sudah mengganti pakaian rumah sakit yang sebelumnya membalut tubuh dan sudah siap untuk pulang. Wajahnya sangat cerah tapi begitu Arnesh mendekat, dibuat semenyedihkan mungkin.
“Tuan Catra sudah bisa pulang. Dokter bilang, semuanya baik-baik saja,” ucap Gilang.
Arnesh tersenyum tipis. “Sudah aku bilang, sandiwara ini tidak akan berlangsung lama.”
“Siapa yang bersandiwara?” tanya Catra.
“Kakek, siapa lagi?” sahutnya.
Pria tua itu berdeham dengan ekspresi sebal. “Cucu kurang ajar. Kakeknya sakit, malah dianggap bersandiriwara.”
“Jangan mencoba mencari pembelaan, dokter sudah kasih tahu bagaimana kesehatan Kakek.” Arnesh berdiri di sebelah Catra. “Lain kali, jangan berbohong soal kesehatan. Aku tidak suka.”
“Kamu khawatir?”
“Tentu saja. Apa perlu Kakek tanya soal itu?” Arnesh mulai gemas. “Aku Cuma punya Kakek, sudah pasti kesehatan Kakek sangat berarti untukku.”
“Kalau begitu, cepat menikah dan punya anak. Memangnya kamu saja yang butuh teman, Kakek juga butuh anakmu sebagai teman penghibur di masa tua.”
Arnesh mulai frustrasi dengan permintaan Catra. “Kek, kalau hanya butuh teman, Gilang selalu ada. Atau, aku carikan teman yang lain, biar Kakek tidak kesepian?”
“Kakek butuh cicit. Bukan orang lain!”
Suara tinggi yang dilontarkan membuat Catra merasakan sakit pada dadanya. Hal ini pun disadari oleh Arnesh dan menyebabkan rasa khawatir.
“Kakek baik-baik saja?”
Catra menepis tangan Arnesh yang memegang pundaknya. “Kenapa? Berharap Kakekmu cepat mati biar tidak ada yang menyuruhmu menikah?”
“Bukan begitu. Jangan selalu berpikir buruk. Aku belum siap memiliki hubungan, jadi jangan paksa aku. Itu saja Kek, aku mohon jangan bahas ini lagi.”
Catra melirik Gilang, meminta untuk mendekat. “Siapkan mobilnya, kita pulang sekarang.”
Arnesh menghela napas, melihat bagaimana sikap kakeknya. Ini bukan kali pertama, Catra seperti ini. Namun Arnesh selalu berusaha menahan sikap, agar tidak terbawa emosi. Yang sering ia lakukan adalah menghindari pertemuan dengan kakeknya, demi tidak terlibat pembahasan mengenai pernikahan.
“Jangan dimasukkan ke dalam hati. Tuan memang sedang dalam kondisi emosi tidak stabil.”
Gilang mencoba membesarkan hati Arnesh. Keduanya berada di parkiran, sebelum mobil akan membawa Catra pulang.
Arnesh menghela napas, sambil mengisap rokok yang menyala. “Aku Cuma bosan. Lelah dengan permintaan yang tidak mungkin bisa aku kabulkan.”
“Saya tahu, Mas Arnesh. Anda hanya perlu menahan diri, agar tidak emosi.”
“Baiklah. Pastikan Kakek selamat sampai rumah. Jika mau melakukan apa pun, biarkan saja. Dokter sudah memastikan, kesehatannya baik-baik saja. Kecuali tadi, sepertinya dadanya nyeri karena terlalu emosi.”
Gilang mengangguk patuh. “Baiklah. Saya pamit dulu.”
***
Tangan Arnesh menutup map yang berisi laporan yang baru saja ia tanda tangani. Mendorong pelan di atas meja, agar diambil kembali oleh sekretarisnya bernama Tirta.
“Sudah semuanya, kan?”
Tirta mengangguk sambil mengambil kembali map di atas meja.
“Sudah Pak.”
“Kalau begitu, saya mau pulang.” Pria itu melihat jam tangannya. “Seperti biasa, selalu pulang malam.”
“Hari ini Anda sudah bekerja cukup keras, Pak Arnesh. Besok, jadwal Anda tidak terlalu padat. Saya yakin, Anda bisa pulang lebih awal.”
Arnesh melonggarkan dasinya yang cukup mencekik. “Bagaimana mengenai proyek yang sedang kita incar, Pak Tirta? Apa semuanya sudah siap?”
“Sudah Pak. Besok sudah disiapkan final meeting, sebelum kita melakukan penawaran tender.”
“Saya harap kita bisa memenangkan proyek besar ini. Jika itu terjadi, nama perusahaan kita akan semakin terkenal dan mendapat kepercayaan.” Kedua mata Arnesh menyipit. “Dan dia, akan semakin merasa seperti pecundang.”
“Saya optimis, kita bisa melakukannya, Pak.”
Arnesh mengangguk. “Baiklah, anda bisa pergi, Pak Tirta.”
“Baik Pak. Selamat malam.”
Suasana ruangan sepi setelah kepergian Tirta. Sekretaris yang usianya lima tahun lebih tua darinya. Tirta pilihan Catra karena hasil kerjanya yang sangat baik dan berpengalaman. Sampai nyaris tidak pernah membuat Arnesh kecewa. Tetapi, kadang ia kesal karena Tirta seperti mata-mata yang dikirim kakeknya, untuk mengawasi segala gerak-geriknya.
Arnesh menghela napas panjang. Menyandarkan tubuhnya pada kursi kerja berwarna hitam pekat. Tubuhnya tidak terlalu lelah. Hanya saja pikirannya cukup banyak beban.
“Aku belum mencari orang untuk mengganti tugas Bi Sukma. Apa aku minta Tirta saja?” gumam Arnesh. “Tapi, kalau kakek tahu, bisa marah besar. Karena mata-matanya aku pecat.”
Semua dugaan Arnesh soal Sukma dan Tirta, hanya buah pikirannya saja. Padahal belum tentu benar. Hanya saja, Arnesh tidak ingin lengah dan diperdaya orang lain. Ia tidak ingin seperti ayahnya, yang cukup mudah untuk dibodohi hingga menyebabkan kehancuran.
Lamunan Arnesh buyar begitu mendengar suara dering dari ponselnya. Tangannya terulur, mengambil benda yang sedang menyala. Alisnya tertaut begitu melihat nama di layarnya. Teman baiknya, selalu menelepon disaat yang tepat.
“Halo.”
Sudut bibirnya terangkat, mendengarkan ocehan Eldwin. Wajah kusut Arnesh, mendadak cerah, seakan mendapat sebuah kabar baik.
“Baiklah, tunggu di tempat biasa.”
***
Kaki Arnesh melangkah masuk ke sebuah klub malam yang cukup eksklusif. Masih mengenakan kemeja dan hanya melepas jas kerjanya, ia mencari keberadaan sahabat karibnya. Pria beristri yang masih suka kebebasan. Namun demikian, Eldwin sangat mencintai istri dan anaknya. Setia tanpa pernah bermain perempuan. Sungguh kontras dengan hidup Arnesh.
“Bro!”
Mata Arnesh mencari suara yang terdengar tidak asing, meski tidak menyebut namanya. Tidak salah, memang Eldwin yang memanggil sambil mengangkat tangan dengan santai. Arnesh mendekat, kemudian duduk di kursi panjang, depan meja bartender.
“Lama amat. Dandan dulu?” sindir Eldwin.
Arnesh menyiku temannya. “Sialan!”
Eldwin tertawa. “Sudah aku pesankan minuman surga kesukaan Tuan Penguasa Laut.”
Sebutan yang tidak pernah absen disebut ketika Eldwin bertemu Arnesh. Tidak salah karena arti nama pria itu memang Penguasa Laut dalam bahas Sansekerta.
“Bisa keluar juga? Aku kira, Jennar mengikat suaminya di tempat tidur.”
“Tenang, dia sudah kuberi jatah. Jadi sekarang, tidur nyenyak tanpa berniat menggangguku.”
“Memangnya tidak kerja?”
“Kami bisa melakukannya di mana saja dan kapan saja,” sahut Eldwin santai.
Kedua mata Arnesh menyipit, menatap sahabatnya sinis.
“Tidak usah diperjelas. Aku tidak akan penasaran.”
Eldwin terkekeh. “Aku lupa kalau selain sebagai penguasa laut, Arnesh juga penguasa ranjang hangat.”
Arnesh meneguk pelan minumannya. “Aku sedang bosan.”
“Bosan? Wah, sejak kapan kamu bosan bercinta? Apa wanita pemilik butik itu, tidak membuatmu puas?”
“Entahlah. Aku sedang tidak berniat memikirkan soal itu.”
“Apa kakekmu berulah lagi?”
“Berulah lagi?” Arnesh terkekeh. “Kalau kakekku tahu, dia bisa mencekikmu.”
“Mana mungkin. Kakek Catra sangat sayang padaku. Asal aku terus membantu membuatmu cepat menikah.”
“Sampai kapan pun, aku tidak akan siap. Apa pun yang dijanjikan kakek, sepertinya tidak mampu menggoyahkan keputusanku. Sekarang, urusan menikah, bukan bagian penting dalam hidupku”
“Tidak sekarang, bukan berarti nanti tidak ingin. Aku yakin, akan ada saatnya, seorang Arnesh luluh dengan seorang wanita.”
Pria itu tersenyum sinis. Lalu kembali meneguk minumannya hingga tandas.
“Tidak akan pernah terjadi. Aku pastikan itu. Aku tidak pernah bisa percaya akan hubungan bersama wanita.”
“Tidak semua wanita seperti itu,” ujar Eldwin. “Istriku salah satunya.”
Arnesh tersenyum. “Syukurlah kalau Jennar wanita yang baik.”
Saat Arnesh dan Eldwin asik berbincang, terdengar suara riuh kedatangan seseorang. Keduanya menoleh dan ternyata seseorang yang mereka kenal, datang ke tempat yang sama.
“Alex?”
Arnesh menatap tajam. Tentu saja Eldwin benar. Alex datang bersama segerombolan orang yang entah siapa mereka. Namun, ada yang lebih menarik perhatian Arnesh, sosok yang ada di belakang musuh bebuyutan dalam dunia bisnis.
“Orang itu?”
“Siapa? Orang mana yang kamu maksud?” tanya Eldwin.
Arnesh menggeleng. “Bukan siapa-siapa. Ayo pindah, aku sedang malas bicara dengan Alex.”