6. PUTUS ASA

1269 Words
Betapa terkejutnya Eve ketika melihat sosok pria yang baru tadi mengusir sekaligus memecatnya tanpa rasa simpati. Kini muncul di hadapannya, memegang pergelangan tangan Dude, yang siap mendarat ke pipinya. Seperti pahlawan yang siap membelanya. Eve terbelalak, sampai tidak mampu berucap lagi, selain menyebut nama Arnesh. Pria itu pun hanya melihatnya sekilas. Tanpa senyum tanpa keramahan. “Lo siapa?” tanya Dude ketus penuh emosi. Pria itu berusaha melepaskan tangannya dari cekalan kuat Arnesh. “Jangan suka ikut campur urusan orang lain.” Tentu saja perintah Dude tidak mendapat tanggapan dari Arnesh. “Lepasin tangan gue, atau muka lo yang mulus itu, babak belur di tangan gue!” “Tuan Arnesh, tolong lakukan apa yang dia katakan. Saya nggak mau Anda terluka,” pinta Eve khawatir. Arnesh masih memasang muka datar. Bergeming dengan posisi yang masih sama. Dan permohonan Eve, akhirnya dikabulkan olehnya. Bukan karena hatinya yang tergerak, tetapi ia ingat apa tujuannya. “Ini rumah sakit, tempat tenang bagi yang sedang dirawat. Jadi jangan bersikap kampungan, dengan membuat keributan di sini,” ucapnya datar namun penuh penekanan dan menusuk hati. “Kalau mau ribut atau saling pukul, jangan di sini. Kalian mengganggu!” Apa yang keluar dari bibir Arnesh, membuat Eve tidak percaya. Bukan pembelaan yang ia dapatkan, seperti yang ia pikirkan. Tetapi pria itu justru mendatanginya karena merasa terganggu. Setelah insiden tadi dan juga sekarang, Eve semakin yakin jika Arnesh adalah sosok yang tidak memiliki perasaan terhadap sesama. “Sialan!” ucap Dude. Umpatan pria di hadapannya, tidak diindahkan oleh Arnesh. Setelah mengatakan isi hatinya, pria itu justru pergi begitu saja. Meninggalkan Eve dan Dude. “Siapa orang itu? Kenapa kamu bisa tahu namanya?”’ Eve menatap sepupunya tajam. “Nggak perlu tahu siapa dia. Mulai sekarang, jangan pernah berani bersikap kasar. Kalau tidak, aku akan adukan kamu ke bibi.” “Jangan mengancamku!” Kekesalan Dude tidak diindahkan oleh Eve. Wanita itu berlari kecil, untuk kembali ke ruangan tempat Sukma dirawat. Tidak ada yang lebih penting dari kesembuhan wanita itu. Eve sampai tidak peduli jika dirinya belum sempat mandi dan juga makan malam. Sesampainya di depan kamar perawatan, Eve terdiam. Apa yang terjadi hari ini, sungguh di luar kendali dan bayangannya. Siapa sangka, hari yang membahagiakan, berakhir menyedihkan. Melihat kembali wajah Arnesh, memunculkan rasa malu dan juga kecewa. Malu atas perbuatannya, kecewa karena tidak ada kesempatan memperbaiki kesalahan yang sudah ia lakukan. “Kalau aku memohon, apa dia mau kasih aku kesempatan?” gumam Eve. “Jika iya, Bi Sukma pasti bahagia dan bisa cepat sembuh,” sambungnya. *** Eve terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak sama sekali. Matanya langsung terbuka dan melihat keadaan bibinya. Sukma nampak masih tertidur. Entah karena pengaruh obat atau memang sedang tidur karena lelah. Eve menghela napas pelan, merasa lega karena bibinya masih bernapas. Telapak tangannya mengusap wajah yang terlihat sangat lelah. Lalu melirik jam yang ada di tangannya. Waktu menunjukkan pukul setengah lima pagi. Eve memutuskan untuk beranjak dari duduknya, lalu bersiap keluar dari ruang perawatan Sukma. “Aku harus pulang buat ganti baju, sebelum pergi kerja. Tapi, siapa yang jaga Bi Sukma?” gumamnya bingung. “Nggak mungkin aku minta cuti, sedangkan baru kemarin aku tanda tangan kontrak kerja.” Tangan Eve terulur, bersiap untuk membuka pintu ruangan. “Eve.” Suara lirih dan pelan terdengar hingga membuat wanita itu mengurungkan niat untuk keluar. Eve menoleh ke arah tempat tidur Sukma, dan mendapati bibinya sudah bangun. Kaki Eve melangkah, kembali menghampiri Sukma. “Bi, sudah bangun?” tanya Eve dengan raut wajah kaget namun hati yang lega. Sukma mengangguk dengan kedua mata sayu. “Eve, Bibi mau pulang saja.” “Kenapa Bi? Apa tempatnya kurang nyaman?” tanya Eve. “Bagaimana bisa pulang kalau kondisi Bibi belum pulih.” “Biayanya pasti mahal. Kenapa harus dibawa ke rumah sakit ini?” Eve menghela napas. Lalu tangannya memegang tangan Sukma. “Jangan pikirkan masalah apa pun. Aku pastikan Bibi sembuh lalu pulang ke rumah.” “Tapi di rumah sakit ini, asuransi Bibi nggak berlaku,” gumamnya sedih. “Bi Sukma tenang saja. Aku akan urus semuanya,” ucap Eve meyakinkan. “Sekarang, Bibi butuh apa?” Sukma menggeleng. “Eve, maaf kalau Bibi sudah menyusahkan kamu.” “Jangan ngomong begitu, Bi. Semua ini terjadi karena kesalahanku.” Raut wajah Sukma kembali muram. Selain pucat karena sakit, juga teringat dengan pekerjaannya yang kini sudah hilang. Eve yang sadar, semakin merasa bersalah. “Bi, aku akan coba untuk memohon kepada Tuan Arnesh supaya membatalkan keputusannya. Kalau pun gagal, aku pastikan Bibi punya pekerjaan baru. Atau, Bibi jangan bekerja, biar aku yang tanggung semuanya.” “Eve.” Wanita itu tersenyum, berusaha membesarkan hati Sukma. “Bibi jangan khawatir. Fokus pada kesembuhan dan kesehatan, ya. Dengan begitu, aku akan tenang dan juga bahagia,” ucap Eve. Setelah Sukma tenang dan kembali istirahat, Eve keluar dari ruangan itu. Ia ingin membasuh wajah agar terasa segar. Setelah itu, ia membeli kopi, agar matanya tidak kembali mengantuk, mengingat hari sudah mulai pagi. Eve menghela napas panjang. Sekembalinya dari membeli kopi, ia berniat menemui Sukma untuk pamit pulang dan akan kembali setelah berganti pakaian. Sambil berjalan, Eve berusaha menghubungi Dude. Memberi tahu anak dari Sukma, agar menjaga wanita itu selama ia bekerja. “Ini anak ke mana, sih? Mamanya sakit, malah ngilang dari semalam. Heran, jadi anak kok nggak ada gunanya,” gerutu Eve sebal. Saat Eve sibuk menghubungi sepupunya, tiba-tiba ada panggilan telepon yang masuk. Kening Eve mengkerut dengan wajah bingung. “Nomor siapa ini?” Setiap mendapat telepon dari orang yang tidak dikenal, ia merasa ketakutan. Menduga jika yang menelepon adalah orang yang sangat ia hindari di dalam hidupnya. Namun, ia tidak bisa selamanya begitu. Bisa saja telepon yang ia terima adalah telepon penting. Ragu-ragu, Eve menekan tombol di layar ponselnya. Menempelkan benda pipih itu ke dekat telinganya. “Halo, selamat pagi.” Eve terdiam mendengar suara dari seberang sana. Wajahnya nampak serius dengan kedua alis yang tertaut. Sesekali mengangguk, seakan yang diajak bicara ada di hadapannya. “Baik Mbak, sebentar saya ke sana.” Setelah sambungan telepon berakhir, Eve memasukkan benda pipih itu ke dalam tasnya. Wajahnya sendu, mengingat apa yang baru saja dibicarakan. “Aku harap, biaya obatnya nggak terlalu mahal,” gumamnya. Kaki wanita itu melangkah cepat menuju lift. Mendatangi bagian administrasi rumah sakit, sesuai dengan permintaan karyawan rumah sakit. Begitu pintu lift terbuka, Eve mendapati sosok pria yang seketika membuatnya kaget. Tubuhnya mematung dengan mata terbelalak. “Mau masuk atau tidak?” tanya Arnesh dingin. Eve mengangguk gugup. “I-iya.” Suasana di dalam lift hening. Hanya ada Eve dan Arnesh. Wanita itu berdiri di belakang, menatap punggung Arnesh yang lebar dan juga tegap. Dari tempatnya, Eve bisa mencium aroma parfum mewah. Segala bentuk penyesalan, langsung muncul di pikirannya. “Aku salah besar karena sudah berurusan dengan Tuan Arnesh,” batinnya. Eve menghela napas pelan. Keinginannya untuk meminta kesempatan, kembali muncul. Mengingat bagaimana raut wajah Sukma, seperti memberi dorongan kuat agar Eve mencoba bicara. Meski gugup dan takut menguasai, tapi Eve sudah bulat dengan tekadnya. Ia tidak pernah tahu, kapan bisa bertemu pria ini lagi. Suara denting berbunyi, pertanda lift sampai di lantai tujuan. Arnesh keluar lebih dulu, lalu disusul oleh Eve. Wanita itu mengikuti dengan tergesa-gesa karena langkah kaki pria itu begitu panjang. “Tuan …Tuan Arnesh!” Pria itu menghentikan langkah. Lalu perlahan memutar tubuhnya ke belakang. Memberi tatapan tajam dan raut wajah dingin kepada Eve. Napas Eve berat dan jantungnya berdegup kencang. Membalas tatapan pria itu, nyaris tidak sanggup baginya. Eve mendadak merasa putus asa, seakan tidak ada harapan untuknya. “Tuan Arnesh, tolong jangan pecat Bi Sukma. Saya mohon kepada Anda. Tolong …”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD