6. Tiba-Tiba Muncul

1212 Words
"Pak Adam ...." Mateo mendadak mengatupkan kembali mulutnya saat menjumpai sosok yang baru keluar dari mobil. Alih-alih sang tuan yang muncul malah seseorang yang diketahuinya sebagai salah satu sekretaris di kantor bernama Calvin. "Kenapa kamu sangat terkejut, Mateo?" tanya pria itu sambil menaikkan alisnya. Mateo tersenyum. "Saya tidak berpikir yang datang adalah Sekretaris Calvin." "Direktur mendadak punya urusan yang tidak bisa dialihkan sehingga mengutusku datang ke sini mewakilinya sementara." Mateo manggut-manggut seperti paham dengan apa yang disampaikan Calvin. Pria setengah baya itu kemudian berbalik sebelum mengeluarkan gestur meminta agar seluruh pengurus rumah kembali ke pekerjaan mereka. Satu persatu pengurus rumah yang sempat berbaris pun membubarkan diri. "Di mana desainernya?" Calvin bertanya sembari kakinya memasuki pintu. "Di ruang tamu." Saat Mateo berinisiatif mengantar Calvin ke tempat Hanna dan Jihan, segera Calvin membentangkan tangan seraya memperlaju langkah kakinya. "Aku sudah cukup mengenal villa ini. Mateo, kamu lakukan saja pekerjaan lain." ... Di Ruang Tamu. "Sepertinya itu dia pemilik villa ini." Jihan memberi kode dengan lirikan mata kepada Hanna saat Calvin mendekat. Hanna masih memiliki sedikit kekhawatiran ketika memikirkan nama klien yang sama dengan mantan kekasihnya. Apa ini Adam yang dia kenal? Atau hanya namanya saja yang kebetulan sama? Kekhawatiran tersebut membuat Hanna tidak berani langsung menoleh. "Ehem! Mbak Hanna!" Jihan berdehem. Hanna seperti mendapatkan kesadarannya kembali. "Ya, maaf?" Itu adalah kalimat pertama yang spontan keluar dari mulutnya. Hanna masih mencoba mengembalikan fokus sembari memahami situasi. Pada saat yang sama matanya tertuju pada sosok pria berkemeja putih di depannya. "Itu bukan dia ...." Hanna bergumam pelan. Seperti kekhawatirannya hilang dan lenyap begitu saja setelah memastikan pria yang datang bukan lah Adam yang dia kenal. Hanna tersenyum kemudian berdiri. "Selamat siang! Saya Hanna dan dia, Jihan. Kami perwakilan dari Red Star." Calvin tersenyum sambil memperhatikan sekilas dua lawan bicaranya. Dia mengangguk. "Senang bertemu dengan kalian. Silakan duduk!" Karena sudah dipersilahkan Hanna tak sungkan segera duduk kembali ke tempatnya. Dia kembali mengeluarkan berkas dari tasnya, kemudian berniat untuk memulai pembicaraan. Namun, pada saat itu Calvin mendapat sebuah telepon. "Maaf!" Dia segera bangkit lalu pergi menjawab telepon. Hanna memangku berkas di tangannya. Matanya memandang Calvin dari kejauhan yang tampak tengah berbicara dengan seseorang yang berkedudukan. Tidak lama berselang Calvin kembali setelah panggilan telepon berakhir. Pria itu tersenyum sambil berusaha mempercepat langkah kakinya. "Oh ya! Apa kalian sudah melihat seluruh ruangan yang akan direnovasi?" tanyanya. "Kami sudah melihat foto-fotonya tetapi belum melihat secara langsung," jawab Hanna menanggapi pertanyaan Calvin. Calvin mengangguk. "Jika begitu mari saya antar." "Saya sedikit tahu tentang desain. Kita membutuhkan cukup banyak waktu untuk memikirkan sebuah konsep. Selagi menunggu direktur datang alangkah baiknya melakukan sesuatu yang dapat dilakukan." "Bukankah begitu?" tuturnya. Hanna dan Jihan masih mematung di tempat saat Calvin sudah berjalan beberapa langkah. Keduanya menatap punggung Calvin dan memikirkan pertanyaan yang sama. "Mbak Hanna. Bukankah dia pemilik villa ini? Lantas siapa direktur yang dimaksud?" Jihan menggaruk tengkuk kepalanya yang tak gatal. "A-aku juga tidak tahu." Kekhawatiran Hanna sempat hilang saat sosok Calvin datang. Namun, memikirkan ucapan yang baru saja dikatakan. Mungkin saja pria di depannya ini bukanlah pemilik villa. "Kenapa hanya berdiri di sana. Ayo kemari! Di depan adalah kamar utama. Salah satu ruangan yang perlu direnovasi." Jihan menoleh kepada Hanna yang masih tak bereaksi. Dia lalu berdehem sambil menyenggol bahu Hanna. "Mbak Hanna! Ayo ke sana. Kita sudah ditunggu." Hanna yang masih tertegun segera mengerjapkan mata dua kali untuk mengembalikan fokusnya. Dia bergumam, "Hanna! Kamu tak perlu terlalu banyak berpikir. Ini kota yang luas. Mustahil akan bertemu dengannya." Tatapan Hanna menjadi lebih bertekad saat menekankan kalimat tersebut dalam benaknya. Dia yakin jika nama Adam tidaklah satu, dan pemilik villa ini bukanlah Adam yang dia kenal. .... Di tempat yang lain. "Adam, lihat ini! Apakah bagus?" "..." Adam hanya menoleh sekilas sebelum berdehem seolah benar-benar memperhatikan saat Angel mencoba pakaian baru. Setelah berdehem dia akan kembali fokus dengan majalah di tangannya yang mana itu lebih menarik untuknya. Awalnya Angel memang tidak menyadari hal itu. Namun, setelah mencoba beberapa pakaian dia pun sadar jika Adam bahkan tidak menatapnya untuk waktu yang lama. Bahkan tidak sedetikpun. "..." Angel berusaha memaksakan senyum. "Sepertinya yang ini juga kurang. Aku akan mencoba pakaian lain." Setelah berkata demikian Angel kembali masuk ke ruang ganti. Sekitar lima menit Angel keluar dengan pakaian yang baru. Pakaian yang lebih terbuka. Berharap itu dapat menarik perhatian Adam. Namun ... Sekali lagi Adam hanya sibuk dengan majalah di tangannya. Sikap Adam yang seperti itu jelas membuat Angel kesal. Wajahnya perlahan memerah, dan dia segera berjalan menuju ke tempat Adam lalu merampas majalah tersebut. Srak! Majalah itu robek tepat di bagian tengahnya. Adam bergeming tanpa mengatakan apapun tetapi tatapan matanya sedingin malam. Sampai saat itu Angel tersadar dengan apa yang sudah ia lakukan. Segera dia menaruh majalah yang sempat dirampasnya ke meja dengan tangan gemetar. "A-Adam, aku ...." "Angel! Tante datang!" Angel sangat beruntung karena pada saat itu Ratna--Ibu Adam--datang yang membuat suasana mencekam di ruangan seketika pudar. "Tante!" Angel berlari memeluk Ratna dan langsung bergelayut di tangannya. Dia tahu jelas pada saat ini jika Ratna adalah dewi penyelamatnya. "Ada apa ini, Angel. Bagaimana dengan belanjanya? Sudah dapat berapa banyak?" Angel menatap Adam saat mendengar pertanyaan Ratna. "Karena begitu banyak pakaian yang bagus jadi bingung mau pilih yang mana." "Tante, bisakah bantu Angel memilihnya? Sepertinya kita memiliki selera mode yang sama." "Oh! Tentu." Ratna sangat bersemangat. Pada saat itu Adam tiba-tiba berdiri dari tempatnya yang sontak membuat Ratna mengerutkan kening. "Kamu mau ke mana?" tanyanya. "Karena Mamah sudah di sini. Jadi Adam bisa pergi." "Tunggu!" Ratna membentangkan tangannya menghalangi Adam. "Kamu tidak boleh pergi pergi begitu saja. Kamu harus menemani kami berbelanja." Adam melihat jam tangannya. "Adam sudah sangat terlambat." "Tuan!" Luke menyerobot masuk seperti ingin melaporkan sesuatu. "Ada apa?" tanya Adam. "Sekretaris Calvin memberitahu jika desainer dari Red Star ingin bicara melalui telepon." Adam menaikan alisnya. "Beritahu Calvin tidak perlu bicara dari telepon. Aku akan ke sana." Luke mengerti. Dia segera meninggalkan ruangan dan memberitahu Calvin seperti apa yang dikatakan tuannya. "Adam, tunggu!" Angel berlari mengejar Adam yang sudah di ambang pintu. "Kamu akan pergi ke villa danau bulan? Boleh aku ikut?" "Tidak." Jawaban yang singkat dan tegas membuat Angel terkaget. Ratna yang berdiri di belakang segera berjalan menghampiri Adam. "Kamu boleh pergi asalkan Angel ikut." "Mah! ...." Adam seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi pada akhirnya dia memilih untuk menahannya. Angel yang melihat Adam tak bisa menentang keputusan Ratna pun seketika tersenyum lebar. Dia puas. Meski Adam belum menganggapnya untuk saat ini, tetapi tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. ... Setengah jam kemudian, Villa. "Di mana mereka?" Adam menggoyangkan gelas wine sambil menatap Calvin yang duduk di depannya. "I-itu ...." Calvin merasa gugup. Dia terus menatap ke arah pintu berharap pintu segera terbuka dan sosok Hanna serta Jihan akan muncul di sana. Namun, sepertinya itu akan lama. "Mateo! Apa yang dia lakukan. Aku memintanya memberitahu dua desainer Red Star itu jika direktur sudah menunggu di ruang kerjanya. Aku bisa-bisa mati di sini dengan tatapan dingin direktur jika dia tidak juga datang." Pada saat itu pintu terbuka. Calvin yang sudah tidak sabar langsung menghampiri Hanna dan Jihan, lalu mengajak mereka segera duduk di salah satu sofa. "Maaf membuat menunggu." Saat Hanna coba meminta maaf atas keterlambatannya, perlahan dia mengangkat wajahnya menatap sosok direktur yang duduk tepat di depannya. Mata Hanna terbelalak. "A-Adam!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD