"Mbak Hanna, Pak David memintamu datang ke ruangannya."
Hanna menaruh berkas yang sedang dipelajarinya sambil menengadah kepala menatap Jihan. "Pak David? Ada apa?"
Jihan hanya mengangkat kedua bahu tanpa mengatakan apapun. Dia juga tidak tahu pasti alasan Pak David memanggil. Sebagai karyawan dia hanya bertugas menyampaikan.
"Baiklah. Aku akan ke sana." Hanna dapat menebak jika Jihan juga tidak tahu. Dia langsung bangkit dari tempat duduknya kemudian pergi menemui Pak David, atasannya.
Di lorong, Hanna yang sedang berjalan kemudian melihat Riska di depan ruangan Pak David. Membelakangi pintu dengan wajah tampak nesu.
Pemandangan ini memunculkan pertanyaan dalam kepala Hanna. Bertanya-tanya apa yang sudah terjadi terhadap Riska. Mungkinkah dia baru diomeli oleh Pak David? Atau ada sesuatu yang lain?
Hanna penasaran. Namun, ketika Hanna datang berniat bertanya, Riska sudah berjalan pergi ke arah lain. Dengan langkah cukup cepat tanpa menghiraukan hal lain di sekitarnya.
"Dia pergi?" Hanna seperti kehilangan kata-kata. Dia mematung di tempat dengan mulut setengah terbuka.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi." Hanna bergumam pelan. Dalam benaknya berharap Riska baik-baik saja mengingat mereka berada dalam satu tim.
....
Tok tok tok!
"Masuk!"
Hanna segera membuka pintu lalu melangkahkan kaki menuju meja tempat Pak David duduk di kursi kebesarannya. Pria setengah baya itu tampak cukup serius membolak-balikan kliping dokumen di tangannya sebelum perlahan mengalihkan pandangannya menatap Hanna.
"Bagaimana menurut kamu dengan proyek satu ini?"
Hanna bahkan belum sempat menyapa saat Pak David tiba-tiba mendorong kliping dokumen itu kepadanya. Beberapa kata dengan hurup kapital, serta susunan kalimat yang menarik membuat Hanna secara tak sadar membaca halaman pertama pada kliping dokumen tersebut.
"Pak David ...." Mata Hanna mengerjap beberapa kali sambil menatap Pak David.
"Ini serius saya yang akan mengerjakannya?" tanya Hanna, seperti tidak mempercayainya.
Namun, Pak David cukup menganggukkan kepala tanpa ragu. Dia tersenyum. "Tentu saja. Saya berpikir ini adalah proyek yang sempurna untuk awal karir kamu di sini. Seharusnya tidak akan menjadi masalah, bukan?"
Hanna terdiam beberapa saat sebelum menganggukkan kepala dengan cukup kuat tiga kali. "Tidak ada. Tidak ada masalah sama sekali."
"Bahkan saya sangat senang dan berterima kasih pada Bapak karena sudah mempercayai saya."
Pak David terkekeh. "Tentu saja saya percaya. Kamu tidak akan bertahan lima tahun di kantor pusat jika tidak memiliki kemampuan. Saya percaya," tandasnya.
Hanna merasa tersanjung. Namun, dia enggan terlalu senang berlebihan karena ini adalah kepercayaan yang harus dijaga.
"Sekali lagi terima kasih. Jika tidak ada lagi yang perlu Bapak sampaikan, saya pamit terlebih dahulu."
"Ya, silakan."
...
Masih dengan senyum yang cukup lebar Hanna meninggalkan ruangan Pak David. Dia berniat kembali ke ruangan sampai terdengar suara dari samping yang menyerukan namanya.
"Hanna!" Seketika Hanna menoleh mencari sumber suara tersebut.
Seorang wanita mengenakan blues berwarna biru tampak berdiri di seberang sambil mengerutkan kening. Dia benar-benar terkejut saat mengenali sosok yang ada di depannya.
"Hanna! Kenapa kamu di sini?"
Hanna hanya diam sambil sedekap sementara wanita blues biru itu berjalan mendekat dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Aku tanya padamu. Sedang apa kamu di sini?"
Hanna tersenyum kemudian menarik sedikit id card yang menempel di pakaiannya. "Nanda. Kamu tidak lihat, aku bekerja di sini."
"Apa?!" Nanda seakan tidak terima mengetahui jika Hanna bekerja di perusahaan yang sama dengan dirinya. Wajahnya berubah sedikit merah seperti akan meledak.
Kendati demikian Hanna tidak terlalu peduli. Dia kembali tersenyum lalu berjalan pergi setelah menepuk pundak Nanda.
Sekali pun Hanna tidak pernah membayangkan situasi seperti ini. Perlu diketahui jika Hanna sebelumnya pernah mengikuti kelas kursus desain. Hanna tidak menyangka akan berada satu perusahaan dengan mantan teman satu kursusnya. Terlebih itu adalah Nanda. Orang yang selalu menganggapnya sebagai pesaing sejak hari pertama masuk kelas.
"Tapi ... Jika dipikir-pikir ini juga tidak terlalu mengherankan. Dengan nilai yang dimilikinya dia bisa masuk ke perusahaan-perusahaan besar."
Hanna kembali ke meja kerjanya tapi tidak untuk bersantai. Mengingat ini adalah proyek pertamanya sehingga Hanna benar-benar semangat dan memiliki motivasi lebih untuk menyelesaikannya dengan sempurna.
Jihan yang sedari tadi memperhatikan Hanna merasa jika manager barunya itu baru mendapat hal baik setelah bertemu dengan Pak David. Dia menjadi penasaran.
"Mbak Hanna! Apa yang disampaikan Pak David?" Jihan menjulurkan kepalanya berusaha mendekat ke posisi Hanna. Matanya yang bulat terlihat berkilau saat menunggu jawaban itu keluar.
"Kamu penasaran? Coba tebak." Sambil berkata Hanna memasang wajah serius yang seketika membuat Jihan sedikit kesal.
"Ih Mbak Hanna!"
Melihat Jihan yang berpikir cukup keras Hanna kemudian menaruh kliping yang diberikan Pak David tadi ke atas meja.
"Lihat ini!" ucap Hanna.
Jihan langsung mengambil kliping itu dari meja Hanna.
"Apa ini?" Butuh beberapa saat bagi Jihan untuk menyadari apa isi kliping tersebut. Namun, dia hampir tak bisa menahan diri begitu mengetahui itu adalah proyek baru untuk mereka. Teriakan spontannya membuat yang lain seketika menatap ke arahnya.
"Jihan, kenapa kau sangat heboh?" tanya Windi.
Billy yang ada di tempatnya juga menjadi penasaran. Dia menyandarkan punggung lalu menunggu jawaban.
"Tunggu-tunggu! Kalian harus membacanya sendiri." Alih-alih menjawab dengan singkat padat nan jelas, Jihan memilih menunjukkan langsung kliping yang dibawanya kepada Windi dan Billy secara bergantian.
Sama dengan Jihan, Windi dan Billy pun sangat senang saat membaca kliping tersebut. Terlebih saat mengetahui nilai dari proyek tersebut yang dapat digolongkan dalam proyek skala besar.
"Ini adalah awal kebangkitan tim satu," gumam Windi sambil menyeringai.
Billy dan Jihan mengangguk. Sedangkan Hanna sama sekali tak mengerti dengan maksud ucapan Windi.
"Awal kebangkitan? Apa maksudnya?" tanya Hanna.
" ... Biar aku saja." Jihan menahan Windi saat akan menjawabnya.
"Begini Mbak Hanna. Sejak awal terbentuk persaingan antar tim sangatlah ketat. Kami saling berkompetisi untuk menunjukkan performa yang terbaik. Bisa dikatakan tim satu dan tim dua adalah yang teratas di departemen desain. Namun, sejak Bu Carla tidak ada di sini seolah tim satu bukan lagi saingan untuk tim dua. Hampir semua proyek besar diambil oleh mereka dan tim satu hanya mendapat proyek sisa, atau proyek yang tidak diinginkan."
"Ini adalah proyek besar pertama tim satu sejak saat itu. Jadi, kami sangat bersemangat."
"Benar!" sahut Windi merespon Jihan.
Hanna mulai memahami situasinya sebagai manager tim. Terlebih persaingan antar tim bukanlah suatu yang asing baginya. Di tempatnya sebelumnya, Gold Star, juga ada persaingan seperti itu dan terkadang memang dibutuhkan sebagai motivasi untuk setiap tim.
"Baiklah! Baiklah! Sekarang kembali bekerja!!" Hanna berkata sambil menggebrak meja cukup keras.
Jihan, Windi, dan Billy terkejut. Mereka sontak menatap Hanna sebelum berlarian ke meja masing-masing tanpa sepatah kata pun.
Melihat hal itu Hanna terkekeh pelan. Pada saat yang sama perhatiannya tanpa sengaja tertuju ke meja Riska yang kosong. "Dia belum kembali?" gumamnya.
"Jihan, kamu tahu di mana Riska?" Hanna bertanya pada Jihan.
"Mbak Riska tadi bilangnya mau keluar sebentar. Tapi aku tidak tahu dia pergi ke mana."
"Begitu ya ...."
"Oh! Itu Mbak Riska." Jihan berseru.
Riska berjalan masuk tanpa menghiraukan orang-orang di sekitar. Dia langsung menuju meja kerjanya.
"Riska, kamu dari mana?" Hanna bertanya setelah berada di depan meja Riska. Seketika hal itu membuat Riska yang sedang mengemasi barang-barangnya sejenak berhenti seraya menatap Hanna.
"Sepertinya aku sedikit sakit. Aku pergi ke dokter dan ini suratnya."
Hanna membaca sekilas selembar kertas yang diletakkan Riska di meja. "Tekanan darah kamu rendah sekali. Kamu perlu istirahat."
"Terima kasih Mbak Hanna. Maaf karena harus pulang lebih awal."
"It's Oke. Tidak masalah. Kesehatan yang utama."
Tentu saja Hanna tidak bisa memaksa Riska untuk tetap berada di kantor dengan kondisinya yang seperti itu. Terpaksa niat mengajaknya pergi meninjau lokasi harus mencari orang lain untuk menggantikannya.
"Siapa ya yang harus aku ajak?" gumam Hanna, menatap Jihan, Windi dan Willy secara bergantian.
....
Pada akhirnya Hanna mengajak Jihan untuk pergi ke lokasi villa danau bulan.
"Ini baru pertama kalinya aku datang ke sini. Tidak disangka, bahkan gerbangnya pun begitu besar dan dijaga belasan penjaga keamanan." Jihan berdecak kagum. Dia pernah membaca artikel tentang danau bulan yang cukup terkenal karena keindahannya. Tetapi masih tidak terasa nyata saat dirinya mungkin akan segera memasuki wilayah yang bahkan tak bisa dimasuki oleh kebanyakan orang.
"Kalian siapa?" Seorang penjaga keamanan mendatangi Hanna dan Jihan dengan wajah menginterogasi.
Mungkin dalam pandangannya keberadaan Hanna dan Jihan tidak seharusnya berada di sana. Namun Hanna segera memperkenalkan diri dan mengaku mendapat proyek untuk merenovasi seluruh ruangan dalam villa.
Dengan berkas yang ditunjukkan Hanna, serta konfirmasi dari atasan membuat penjaga keamanan tidak memiliki pilihan selain membukakan gerbang dan menyambut mereka.
"Maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi. Silakan masuk."
"Tidak apa. Kami baik-baik saja." Hanna tersenyum saat berjalan memasuki gerbang serta melewati belasan penjaga keamanan.
"Luar biasa! Bahkan ada kendaraan khusus agar tidak perlu berjalan untuk sampai ke depan pintu villa." Jihan seperti anak kecil yang baru pertama kali datang ke pasar malam. Dia sangat bersemangat.
Hanna menggelengkan kepala. "Kamu harus ingat jika kita di sini untuk bekerja. Bukan liburan."
"Iya iya. Maaf Mbak Hanna." Jihan hanya nyengir sambil menggaruk tengkuk kepalanya.
....
Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai di depan villa. Seorang pria yang mengaku bernama Mateo, penanggung jawab villa, mempersilahkan masuk dan menyambut dengan ramah.
"Bisakah untuk menunggu sebentar? Direktur masih dalam perjalanan untuk sampai. Silakan dinikmati terlebih dahulu." Seraya menyuguhkan minuman dan cemilan pria setengah baya itu mencoba menyampaikan apa yang dikatakan tuannya.
"Baik. Kami masih punya banyak waktu."
Mateo pamit setelah mendengar jawaban Hanna. Hanna dan Jihan hanya berdua di ruangan tersebut.
"Dari luar sudah tampak begitu megah. Tidak mengira jika dari dalam lebih menakjubkan." Jihan tak henti-hentinya menengadahkan kepala memandangi langit-langit yang penuh dengan ornamen otentik.
"Mbak Hanna, apa kamu tahu rasanya tinggal di istana seperti ini?" Jihan tiba-tiba saja penasaran dengan pendapat Hanna.
Hanna menggeleng tanpa mengatakan sepatah kata pun.
"Mungkin rasanya akan sangat menyenangkan. Coba Mbak Hanna bayangkan. Villa yang luas, halaman di depan, danau di samping serta taman di belakang. Ini seperti rumah impian setiap orang."
"Jangan terlalu banyak berkhayal! Terlalu tinggi mengkhayal akan membuat kamu sakit begitu kembali pada kenyataan." Kata-kata Hanna terdengar datar. Tapi itu sungguh membuat Jihan kehilangan kata-kata.
"Aku tahu!" Jihan mendengus. Dia mengambil gelas teh di depannya sebelum menyeruputnya perlahan.
"Dari apa yang aku baca di artikel, jika tidak salah, pemilik villa ini merenovasi seluruh villa untuk calon istrinya."
"Apa itu menjadi masalah?" Hanna menyela.
"He-he... Tentu tidak. Aku hanya berpikir wanita itu sungguh beruntung," ungkap Jihan.
Hanna kembali menggelengkan kepala mendengarkan Jihan yang terus berbicara. Dia mengeluarkan berkas dari dalam tasnya untuk memastikan lagi jumlah ruangan yang perlu direnovasi.
"Delapan belas ruangan. Termasuk dapur dan ruang bersantai." Dengan hanya membaca hal itu Hanna sudah memikirkan berbagai macam konsep dalam benaknya. Dia tidak sabar untuk segera bertemu dengan kliennya.
"Sepertinya direktur sudah sampai. Saya akan menjemputnya." Mateo datang dari dalam menghampiri Hanna sebelum berjalan ke pintu utama.
Hanna yang baru akan meminum minumannya segera menaruhnya kembali saat mendengar suara pintu terbuka. Semua pengurus rumah berbaris menyambut kedatangan tuan mereka.
"Pak Adam!"
Hanna mendengar samar panggilan yang diucapkan oleh Mateo. Nama yang tidak asing secara pasti membuat keningnya mengerut.
"Adam? Mungkinkah ...."