8. Antara Kau dan Aku

2019 Words
"Mbak Hanna! Benarkah proyek villa danau bulan dibatalkan?" Hanna yang sedang sarapan terkejut melihat notifikasi pesan di layar ponselnya. Pesan tersebut berasal dari Windi yang mana seharusnya dia tidak mengetahui tentang pembatalan proyek villa danau bulan. Bagaimana dia bisa tahu? Hanna masih diam sembari menatap ponsel. Ketika jarinya hendak mengetik membalas pesan tersebut tiba-tiba Hanna mematikan ponselnya lalu kembali melanjutkan sarapan. Dia memutuskan untuk membicarakannya nanti saat di kantor. "Kenapa tidak di makan? Sarapannya tidak enak?" Hanna mengalihkan pandangannya kepada Alex dan Axel secara bergantian. Bertanya-tanya kenapa dua belah hatinya itu tak kunjung menghabiskan makanan mereka. Axel melirik Alex. Keduanya seperti memiliki sebuah pertanyaan. Namun, Alex segera menggelengkan kepala. "Tidak Mommy. Ini enak dan Alex menyukainya." Axel si bungsu ikut menimpali. "Axel juga suka." Hanna pun tersenyum melihat respon keduanya. Setelah menghabiskan suapan terakhir Hanna beranjak dari meja makan. "Habiskan sarapannya. Tak perlu terburu-buru, Mommy mau ke kamar mengambil tas." Begitu Hanna meninggalkan ruang makan, Alex dan Axel kembali menahan gerakan tangan mereka. "Mommy tidak terlihat seperti biasanya." Alex berkata dengan ekspresi yang serius. Axel mengangguk. "Benar kan?! Aku juga berpikir begitu. Mommy terlihat seperti kurang enak badan." "..." Alex kembali memperhatikan ke arah kamar. Tak lama berselang dia turun dari kursi lalu berjalan ke sana. Saat itu Hanna sedang menatap cermin. Alex memantapkan niat melangkahkan kaki kecilnya memasuki kamar kemudian berdiri di samping Hanna. "Mommy! Kemarin malam Mommy di mana?" "Hem?" Hanna menoleh. "Kenapa kamu bertanya begitu? Tentu saja Mommy di rumah, tidur." "Tapi sekitar jam sebelas malam saat Alex terbangun dan ingin mengambil minum di dapur, Alex tak melihat Mommy di kamar sementara pintu kamar terbuka dengan lampu menyala." "..." Kata-kata Alex membuat Hanna terdiam. "Ah! Jam sebelas ya ... Saat itu Mommy keluar sebentar untuk mencari udara segar." "Benarkah?" "Ya." Alex masih menatap Hanna seperti meragukan jawaban tersebut. Dia tiba-tiba berbalik. "Mommy! Mommy harus jaga kesehatan. Jangan sampai Mommy sakit atau kami akan sangat khawatir." Mendengar ucapan Alex membuat Hanna kembali kehilangan kata-kata. Pada waktu yang sama Hanna merasakan perasaan yang hangat. "Anak itu ... Dia sangat pintar! Padahal usianya masih enam setengah tahun tapi sudah bisa mengkhawatirkan Mommy-nya." .... .... Red Star. Setelah mengantar Alex dan Axel ke sekolah Hanna langsung menuju perusahaan. Dia berjalan sambil menatap ponsel. Sekarang bukan hanya Windi yang bertanya tentang pembatalan proyek villa danau bulan tetapi juga Pak David yang tak ingin ketinggalan dengan berbagai macam pertanyaan. Hanna merasa seperti telah melakukan kesalahan. Dia bergegas. Langsung naik lift untuk menuju ke kantornya. Ketika pintu lift akan tertutup Nanda mengulurkan tangan untuk menahannya. "Maaf!" ucapnya seraya melenggang masuk dengan senyum sarkastis. Hanna tak mengatakan apapun. Dia hanya menatap Nanda sekilas sebelum perhatiannya kembali tertuju pada ponsel yang terus memperbarui pesan. Tidak ada sedikit pun minat untuk basa-basi dengan Nanda. Namun, Nanda berbeda. Tampak jelas sekali jika dia ingin memercikkan sedikit api. "Perlu bantuan?" ucapnya, tiba-tiba. Hanna tak mengerti dan tak paham maksud ucapan tersebut. Dia menaikkan sebelah alisnya sembari mulai memperhatikan Nanda. Nanda kembali tersenyum. "Kegagalan di proyek pertama selalu dapat dimaklumi. Namun, itu juga harus melihat seberapa besar nilai proyek yang dibatalkan. Bukankah begitu?" "..." Hanna diam. Tetapi matanya terus menatap Nanda. Seakan tujuan Nanda terhadap Hanna sudah tercapai. Nanda terlihat sangat senang dan puas saat dia perlahan menaikkan tangannya sambil bersedekap. "Haruskah kubantu?" Nanda kembali bertanya. "Kamu tahu, aku dan Pak David sudah saling mengenal lama. Mungkin aku dapat bicara dengannya tentang masalah ini dan berusaha membujuknya." "Memang mustahil untuk tidak membuatnya marah mengingat nilai proyek yang cukup besar. Tapi setidaknya aku bisa membantu agar kamu tidak dipecat. Bagaimana?" Hanna mendengus. "Masalah proyek teluk bulan biarkan aku dan tim satu yang mengurusnya. Kamu atau orang lain tidak perlu ikut campur." "Ikut campur?" Nanda seperti tak percaya mendengar ucapan Hanna. Dia tertawa sinis. "Kamu terlihat sangat percaya diri. Aku benar-benar tak sabar ingin melihat langsung respon Pak David nanti." "..." Hanna langsung keluar lift tanpa membalas ucapan Nanda. Aksi Hanna itu jelas membuat Nanda yang melihatnya menjadi kesal. "Lihat saja! Saat kamu dimarahi nanti aku akan menjadi orang yang tertawa paling kencang." ... Di kantor tim satu. "Jihan! Jelaskan pada kami apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa kamu tidak bilang jika proyek villa danau bulan dibatalkan?!" Jihan hanya diam saat diinterogasi oleh anggota tim satu. Windi menahan kesal, lalu mencengkram bahu Jihan yang benar-benar mengunci rapat mulutnya. "Kamu sungguh membuatku gila. Setidaknya katakanlah sesuatu!" mohonnya, tapi dengan nada yang sedikit tinggi. Billy dan Riska hanya berdiri menatap Jihan. Mereka terlihat lebih tenang meski mungkin memiliki pertanyaan yang sama. Pada saat itu Hanna datang yang membuat keempat orang di ruangan mengalihkan pandangan mereka ke arahnya. "Mbak Hanna!" Jihan melepaskan diri dari Windi lalu berlari menghampiri Hanna. "Sungguh bukan aku!" Jihan menunjukkan dua jarinya seperti ingin meyakinkan Hanna. "Aku tak memberitahu siapapun. Aku benar-benar tidak tahu semua tahu dari mana." Hanna memegang tangan Jihan dan menenangkannya. "Aku percaya," ucapnya. Dua kata yang terdengar sepele itu membuat Jihan lebih tenang. Dia menarik nafas panjang. "Syukurlah jika Mbak Hanna tak mencurigai ku. Tapi, aku masih sangat bingung bagaimana semua orang di perusahaan mengetahuinya. "Mungkinkah ...." Jihan melihat ke kantor tim dua yang berada di sebelah tim satu. Meskipun terpisah tapi sekat di antara dua ruangan terbuat dari kaca yang mana itu transparan. Jihan melihatnya. "Ya. Aku yakin sekali jika merekalah pelakunya." Hanna ikut menatap ke kantor tim dua. Perhatiannya fokus pada Nanda yang tampak menyeringai saat mata mereka tanpa sengaja bertemu. "Hanna!" Suara menggelegar memenuhi ruangan saat Pak David datang. Pria itu berdiri di antara pintu sambil berkacak pinggang. "Bagaimana ini Mbak Hanna, Pak David sudah di sini. Habislah kita." Jihan merangkul lengan Hanna seraya menyembunyikan wajahnya. Dia tak berani menatap langsung Pak David yang sedang murka, atau atasannya itu mungkin akan langsung memecatnya. "Hanna! Kenapa kamu ...." Drt... Drt... Suara dan langkah Pak David tertahan saat ponselnya berbunyi. Dia menatap Hanna sesaat sebelum menjawab panggilan tersebut. Pada saat itu, entah orang-orang dari tim dua atau tim tiga pasti berpikir jika Hanna akan mendapat peringatan keras dari Pak David kerena sudah menghilangkan proyek bernilai puluhan milyar. Nanda tersenyum dari kantor tim dua. Dia sungguh tak sabar melihat bagaimana Hanna akan dimarahi. Setelah beberapa menit Pak David pun selesai dengan telepon tersebut. Perlahan kakinya berjalan menghampiri Hanna sambil menyimpan ponsel di sakunya. "Hanna ...." Pak David berdiri tepat di depan Hanna dengan wajah serius. Namun, ekspresi tak bertahan lama karena sedetik kemudian dia tertawa begitu kencang sampai tanpa sadar lepas kendali. "Hahahahahaha!" Tawanya cukup keras hingga terdengar sampai ke kantor tim dua dan tiga. Aneh! Semua orang tak habis mengerti. Terkhusus Nanda yang langsung pergi ke kantor tim satu mendatangi Pak David. "Pak David, ada apa?" Pak David menarik nafas panjang sebelum berhenti tertawa walau seri bahagia masih terlihat jelas di wajahnya. Bukan hanya Nanda yang penasaran. Semua orang di tim satu, bahkan tim dua dan tiga ikut menguping pembicaraan mereka. "Fuhh!" Pak David menggelengkan kepala. "Saya sungguh berpikir jika proyek villa danau bulan sudah dibatalkan. Namun, Asisten Luke dari Wijaya Group baru saja menghubungi dan memberitahu jika proyek villa danau bulan akan tetap di tangan kita." "..." "Apa yang sebenarnya terjadi?" Pertanyaan itu digemakan semua orang. Tidak ada yang tidak bingung begitu mendengar apa yang disampaikan Pak David. Mereka mendengar sebuah kabar dan berpikir jika proyek villa danau bulan benar-benar telah dibatalkan. Tapi .... "Kenapa bisa begitu?!" Tentu saja Nanda terkejut. Dia menatap Hanna yang kini tersenyum sambil melirik ke arahnya. "Dia ... Padahal aku sudah mengkonfirmasinya. Bagaimana dia bisa melanjutkan kembali proyek yang sudah dibatalkan?!" .... Kemarin malam. "Inikah tempatnya?" Hanna menengadahkan kepala menatap satu bangunan yang cukup mencolok di antara bangunan lainnya. Rose Bar. Itu adalah namanya. Sebuah bar ekslusif yang rumornya hanya menerima tamu dari kalangan atas. Hanna sempat ragu saat memutuskan apakah dirinya akan masuk atau tidak. Namun Hanna menekankan pada dirinya jika malam ini harus bertemu dengan Adam. Proyek villa danau bulan harus tetap dilanjutkan. Hanna bahkan sudah bekerja lembur untuk membuat portofolio serta memohon pada Sekretaris Calvin saat menanyakan jadwal Adam. Mustahil baginya untuk menyerah, atau pulang tanpa hasil apapun. "Baiklah. Aku akan masuk." Hanna berpikir akan mudah jika hanya sekedar masuk. Tetapi salah. Masuk ke dalam Rose Bar tentu tidak semudah itu. "Tolong tunjukkan kartu member." Tidak ada yang dapat ditunjukkan saat penjaga pintu meminta kartu member. Hanna benar-benar terdiam dan tidak memiliki ide untuk membuat alasan. "Emn itu ... Saya datang ke sini untuk menemui seseorang." Penjaga berbadan kekar menatap Hanna. "Siapa?" "Adam Wijaya. Dia ada di dalam." Penjaga pintu masih bergeming. "Kamu sudah buat janji?" "..." Melihat Hanna tak menjawab, respon penjaga pintu itu pun sedikit menjadi kesal. "Jika tidak ada janji kamu tidak boleh masuk. Sebaiknya pergi dari sini, jangan mengganggu kenyamanan tamu kami." "Tunggu! Aku sudah ada janji." Hanna terpaksa berbohong agar diperbolehkan masuk. Namun penjaga pintu tidaklah begitu bodoh. Dia berkata, "Sungguh? Jika begitu tolong telepon." "Apa?" "Jika kamu benar-benar sudah buat janji tentu tidak masalah untuk menelpon, kan? Telepon lah, lalu minta Tuan Adam mengirim seseorang keluar." Hanna bingung. Karena tidak mungkin dirinya bisa menghubungi Adam tanpa nomor telepon. Hanna tidak tahu nomor Adam yang sekarang. "Tidak bisa menghubungi?" Penjaga pintu menggelengkan kepala sambil menghela nafas. "Aku tahu kamu hanya mencari alasan untuk masuk ke dalam. Orang seperti kamu ini sudah tak terhitung jumlahnya." Setelah mengatakan itu penjaga pintu menyuruh Hanna pergi. Namun Hanna tetap bersikukuh. Bahkan dengan dinginnya malam tak membuatnya menyerah untuk tetap berada di sana. Satu jam berlalu dan Hanna masih menunggu. Pada saat itu Adam keluar bersama dengan Luke. Mereka hendak menuju mobil sampai langkah kaki tiba-tiba terhenti saat pandangan Adam tertuju pada sosok wanita yang sedang berjongkok di depannya. Adam merasa familiar. Matanya terus memperhatikan sosok wanita tersebut yang terus menundukkan kepala. Tiba-tiba pupil matanya melebar. "Kenapa kamu di sini?!" Hanna mendengar suara yang akrab dan langsung mengangkat wajahnya. Wajah simetris yang terlihat begitu tampan tepat berada di depannya hanya dalam beberapa jengkal. Dia berdiri. "Pak Adam, saya ...." Hanna cepat-cepat berdiri sambil mengeluarkan berkas dari tasnya. Panggilan formal menyadarkan Adam. Ekspresi pria itu pun seketika berubah. "Jika kamu datang jauh-jauh ke sini untuk proyek villa danau bulan maka lupakan saja. Tidak ada yang perlu di bicarakan." Adam berjalan pergi setelah mengatakan itu. Empat langkah, lima langkah. Hanna menatap punggung Adam yang semakin menjauh. "Adam Wijaya!" Hanna memanggil dengan suara yang cukup lantang. Langkah Adam tertahan mendengar suara Hanna. Luke yang berada di samping spontan memasang badan saat melihat Hanna mendekat. Namun dia segera menyingkir begitu melihat tanda dari Adam. Jarak mereka hanya tersisa dua langkah. Hanna lalu mengangkat berkas di tangannya. "Kamu bahkan belum melihatnya. Lantas tahu dari mana jika aku tidak bisa mengerjakan proyek teluk bulan?" "Ini bukan tentang bisa atau tidak bisa. Aku hanya tidak mau proyek villa teluk bulan berada di tangan orang yang salah." Kalimat Adam sangat dingin. Dia sama sekali tidak berniat berubah pikiran bahkan dengan mempertimbangkan masa lalu mereka. Hanna menatap Adam. Pria yang dulu begitu baik dan perhatian sekarang benar-benar sudah berubah. Hanna tidak menyangka jika hubungan mereka akan berada di titik seperti ini. "Jangan menatapku seperti itu. Apa yang aku lakukan tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan dirimu." Adam berbalik lalu pergi dengan sinis. Hanna tidak memiliki kesempatan untuk menghentikannya. Saat akan membuka mulutnya, dia tiba-tiba merasakan sakit di bagian d**a yang menyebar sampai kerongkongannya. Bukan hanya itu. Hanna juga merasa pandangannya sedikit demi sedikit menjadi kabur. "Sial! Sepertinya aku melewatkan waktu makanku." Brug! Hanna terjatuh. Suaranya yang cukup keras berhasil sampai ke telinga Adam. Namun Adam tak langsung merespon. Dia bahkan tak mencoba untuk melihat ke belakang sampai Luke memberitahu jika Hanna tergeletak pingsan. "Tuan!" Adam yang awalnya mencoba abai tak bisa menahan diri untuk tidak berlari ke tempat Hanna saat melihatnya tergeletak. Dia langsung memangku kepala Hanna, sambil berusaha melihat kondisinya. Saat itu Adam mengingat jika Hanna memiliki riwayat maag yang lumayan parah. Dia menjadi sangat khawatir dan membentak Luke yang hanya mematung seperti orang bodoh. "Cepat siapkan mobil! Kita ke rumah sakit." "Ba-baik Tuan!" Luke segera mengambil mobil di tempat parkir. Dia berniat membantu Adam saat ingin memindahkan Hanna tetapi sang tuan sudah terlebih dahulu menggendongnya seorang diri. Rasa penasaran Luke memuncak. "Siapa sebenarnya wanita ini?" Tetapi Luke tahu ini bukan waktu yang tepat untuk mempertanyakannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD