9. Dua Orang Asing

1113 Words
"Ini di mana?" Hanna tampak bingung saat pertama kali membuka mata. Dia melihat ruangan bernuansa putih yang dominan dengan aroma disinfektan. "Rumah sakit?" "Benar. Ini di rumah sakit." Suara Luke membuat Hanna seketika sadar jika ada orang lain di ruangan yang sama dengannya. Dia menoleh ke arah sofa. "Kamu ...." "Ya. Saya Luke, asisten pribadi Tuan Adam." Hanna tak mengatakan apapun. Dia memandang cairan infus yang menggantung di sampingnya, lalu perlahan kepalanya seperti me-refresh ingatan saat dirinya masih berada di depan gedung Rose Bar. "Di mana dia?" "Dia?" Luke memiringkan kepala seperti tidak mengerti dengan pertanyaan Hanna. "Maksudku Pak Adam. Apa dia masih di sini?" "Kenapa kamu mencari Tuan?" Alih-alih menjawab Luke malah kembali bertanya kepada Hanna. "Hanya bertanya," ucapnya seraya mengalihkan pandangan ke arah lain. Luke merasa aneh. Entah kenapa semakin memikirkan situasi ini membuatnya berpikir jika ada sesuatu di antara wanita di depannya dengan sang tuan. "Jika kamu mencari tuan hanya untuk membahas proyek villa danau bulan, sebaiknya kamu lupakan saja. Karena tuan sudah mengambil keputusan maka hampir mustahil untuk mengubahnya." "Begitukah ...." Hanna menundukkan kepala. Tiba-tiba secara samar ingatan saat momen di mana Adam berlari dengan panik ke arahnya muncul dalam benaknya. Ingatan apa ini? Apa ini halusinasi? Hanna tak begitu yakin karena itu benar-benar kabur. Dia menggelengkan kepala berusaha menghempaskan ingatan tersebut. "Asisten Luke!" Luke menoleh. "Bisakah kamu membantuku? Aku akan sangat berterima kasih jika kamu membantuku mendapatkan kembali proyek itu. Aku pasti memberikan sesuatu yang pantas sebagai imbalan." Mendengar apa yang dikatakan Hanna membuat Luke memiliki sedikit keinginan untuk membantunya. Sayang dia tidak punya sedikit pun kuasa untuk melakukannya. "Maaf, aku ...." Pintu tiba-tiba terbuka sebelum Luke menyelesaikan kalimatnya. Tampak Adam berdiri di sana dengan sorat mata yang tajam. "Tuan?" "Tunggu lah di luar." Tidak perlu perintah kedua bagi Luke untuk meninggalkan ruangan tersebut. Dia bahkan tak menoleh ke belakang dan hanya berjalan lebih cepat kemudian menutup pintu dengan rapat. Hanna mengernyitkan kening saat manatap Adam. "Kamu ...." "Aku baru tahu jika kamu memiliki begitu banyak trik kotor." "Apa maksud kamu?" Hanna bertanya dengan bingung. Namun Adam hanya mendengus sambil menunjukkan tatapan matanya yang sinis. "Kamu sungguh luar biasa. Tidak banyak orang yang berani mengorbankan kesehatan sendiri untuk mencapai tujuannya. Tapi kamu mampu melakukannya." "Bahkan setelah menggunakan trik itu kamu tak ragu memohon pada orang asing. Benar-benar murahan!" Saat mengatakan itu mata Adam dipenuhi dengan emosi dan kebencian. Dia menatap Hanna, berharap Hanna akan memberinya sedikit penjelasan. Kendati demikian Hanna hanya bergeming. Dia memilih tetap diam meski kata-kata Adam terdengar sangat kejam dan menyakitkan. Ketika Adam sudah selesai bicara, Hanna berganti menatap mata pria itu. "Apa yang kulakukan itu salah?" tanyanya, terdengar polos. Adam tak percaya akan mendengar pertanyaan semacam itu. Tangannya terkepal dan emosinya benar-benar memuncak. "Aku hanya melakukan semua yang aku bisa demi mendapatkan apa yang aku inginkan. Tidak masalah bahkan jika aku harus memohon pada orang asing. Apa itu salah?" tanya Hanna, lagi. Adam menggertakkan gigi. "Kamu pikir Luke dapat membantumu mendapatkan proyek itu? Dia bahkan tak akan ikut campur di dalamnya." "Alih-alih kepadanya, jika kamu benar-benar ingin memohon kenapa tidak sekalian datang langsung padaku?!" Adam seperti ingin menguji batas Hanna. Tetapi Hanna malah bersikap seolah itu bukan suatu yang sulit baginya. "Haruskah?" Hanna menatap mata Adam seperti berkata 'aku dapat melakukannya'. Adam terkejut. Sedetik kemudian Hanna sudah melepas jarum infus di tangannya lalu turun dari ranjang untuk berlutut. Namun, Adam langsung menarik tangan Hanna dan memaksanya berdiri sebelum benar-benar berlutut di hadapannya. "Apa yang kamu lakukan?!" bentaknya dengan suara yang sangat lantang. Hanna menaikan sedikit sudut bibirnya seperti sedang tersenyum. "Bukankah ini yang kamu minta? Aku akan memohon." Wajah Adam terlihat merah padam. "Kamu pikir aku akan melanjutkan proyek itu bahkan jika kamu berlutut di depanku?!" Adam semakin menguatkan cengkeraman tangannya. Hanna merasa kesakitan. Dia berusaha melepas cengkeraman Adam. "Bukankah itu yang kamu mau? Aku memohon padamu untuk proyek danau bulan." "Apa kamu sungguh menginginkan proyek itu?" Adam menghempaskan tangan Hanna tetapi tak melepaskan tatapan tajamnya. "Ya. Aku menginginkannya." "..." Adam seperti kehilangan kata saat mendengar jawaban Hanna. Tangannya kembali terkepal, dan dia berbalik ke arah pintu lalu memanggil Luke. "Luke!!" "Ya, Tuan?" Luke datang. "Hubungi GH Interior dan batalkan pertemuan besok." "Tapi Tuan ... Kenapa tiba-tiba?" Adam melirik Hanna. "Red Star yang akan mengerjakan proyek villa danau bulan." Luke jelas memiliki banyak pertanyaan saat menerima perintah tersebut. Namun melihat situasi yang terjadi saat ini membuatnya harus patuh tanpa banyak bertanya lagi. "Kamu puas?!" Adam bertanya dengan nada dingin setelah melihat Luke pergi. "Ya." Jawaban Hanna semakin membuat Adam kesal. Dia menatapnya sinis dan berkata, "Aku harap situasi ini tidak akan pernah terulang. Bahkan jika kebetulan terulang, kamu harus ingat jika kita adalah dua orang asing yang tidak saling mengenal." "Akan lebih baik jika kamu tidak muncul di hadapanku!" Hanna tidak mengatakan apapun untuk membalas ucapan Adam. Bahkan saat pria itu pergi, Hanna masih diam di samping ranjang. "Pada akhirnya kita akan menjadi orang asing yang tidak saling mengenal. Ya. Mungkin memang lebih baik seperti ini." Hanna mencoba menahan lebih lama agar air matanya tidak menetes. Namun tidak bisa. Air matanya mengalir bahkan tanpa persetujuannya dan membuat kedua pipinya menjadi basah. Flashback of .... .... Kantor tim satu. "Mbak Hanna! Cepat ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku sungguh penasaran bagaimana bisa proyek danau bulan tiba-tiba kembali ke tangan kita." Kata-kata Jihan membuat anggota tim lain bingung. Windi menggaruk tengkuknya dan bertanya, "Apa ini? Jadi proyek danau bulan itu benar-benar sempat dibatalkan?" "Ups!" Jihan menutup mulutnya karena sadar sudah keceplosan. "Jihan, katakan apa itu benar? Proyek danau bulan sempat dibatalkan?" tanya Windi, lagi. "Memang benar itu sempat dibatalkan," sahut Hanna. Windi pun langsung beralih kepada Hanna. "Lalu bagaimana ceritanya hingga bisa dilanjutkan?" "Iya. Aku juga tidak tahu." Jihan manatap Hanna. "Apa yang sudah Mbak Hanna lakukan?" "Aku ...." Hanna tersenyum misterius. "Itu rahasia." "..." "Halah! Mbak Hanna ...." Semua, termasuk Billy menghela nafas kecewa saat mendengar jawaban Hanna. "Mbak Hanna gak asyik! Mainnya rahasia-rahasiaan," celetuk Jihan. "Sudah sudah! Tidak perlu mempermasalahkan hal itu lagi. Bukankah yang terpenting adalah proyek villa danau bulan kembali ke tangan kita?" Hanna mengedipkan mata lalu tertawa. "Itu benar! Yang penting kita tidak kehilangan proyek di depan mata," sahut Riska. Yang lain pun setuju. Jihan menyodorkan tangannya, meminta yang lain ikut bersamanya, lalu berteriak dengan suara yang keras. "Hidup tim satu!" Hanna hanya pasaran mengikuti kegilaan ini. Dia ikut berteriak sambil mengacungkan kedua tangannya. "Hidup tim satu!" ... Suasana yang berbeda berada di kantor tim dua. Alih-alih fokus dengan pekerjaan masing-masing mereka lebih memilih menyaksikan kebahagiaan di tim lain. "Manajer, bukankah kamu bilang mereka tidak akan mendapatkan proyek itu?" Nanda menatap kesal anggota timnya yang bertanya kepadanya. "Bodoh! Kamu pikir aku tahu segalanya?! Jangan banyak bicara dan kerjakan saja pekerjaan mu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD