Sepulang dari acara pesta tersebut sikap Carl jadi semakin aneh. Ia kerap kali berusaha menghindar dari Austin tiap kali bertatap muka dan menjaga jarak, membuat Austin menjadi semakin khawatir dengan keadaan Carl.
Bagaimana tidak khawatir jika sepulang dari acara pesta tersebut sikap Carl jadi semakin dingin dan pendiam pada Austin. Belum lagi sewaktu dipesta tak sengaja Austin melihat Admund juga turut hadir diacara pesta tersebut.
Austin khawatir, ia khawatir bahwa hati Carl akan kembali meluruh untuk seseorang dimasa lalunya. Untuk seseorang yang telah menyakitinya, mempermainkannya.
Austin benar-benar takut bahwa usahanya selama ini hanya berbuah sia-sia. Perjuangannya untuk mendapatkan Carl selama ini tak mudah. Ia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan Carl hingga berhasil mengikatnya dalam tali pertunangan.
Tapi ia tahu itu tidak cukup. Seseorang di masa lalunya benar-benar memberikan efek yang besar bagi Carl.
Jika memang dugaan Austin benar, sebab selama beberapa hari ini Carl menghindar darinya adalah karena seseorang di masa lalunya. Admund Malinowsky. Entah apa yang telah dilakukannya, hingga Carl tak berniat menceritakannya sama sekali. Padahal sebelumnya, Carl selalu membaginya dengan Austin. Tapi kini, Carl bahkan selalu menghindar dan lebih banyak mengurung diri di kamarnya.
Jika dengan kembalinya Carl ke New York dapat merengangkan hubungan yang telah dengan susah payah ia bangun dengan Carl, maka ia lebih memilih untuk tidak ke New York sama sekali. Setidaknya sampai pernikahan mereka dilaksanakan.
Egois memang, tapi itulah manusia. Setiap orang pasti akan melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, meski terkadang harus megorbankan orang lain untuk kepuasan mereka.
Oke, mungkin itu berlebihan. Tapi setidaknya itulah kenyataannya. Austin semakin berniat untuk memajukan tanggal pernikahannya menjadi sebulan lagi dengan Carl. Dengan atau tanpa persetujuan Carl.
Biarlah orang berkata bahwa ia egois atau pun naif sekali pun. Austin hanya berusaha untuk mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya saat ini. Ia hanya ingin mempertahankan. Setidaknya itulah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk memiliki Carl sepenuhnya. Meski ia tahu, ia tidak bisa memiliki Carl sepenuhnya. Karena hati Carl, masih menjadi milik seseorang dimasa lalunya. Dan ia masih belum sanggup untuk mengukir namanya di hati Carl.
Entah sampai kapan ia akan terus bersabar dengan segala ketidakpastian ini. Cinta bertepuk sebelah tangan? Cih klise. Tapi akan terasa begitu menyakitkan bila kau merasakannya.
Hal yang paling menyakitkan adalah jika kau telah mencintai seseorang, tapi orang itu masih mencintai orang lain. Meski beribu cara kau coba untuk menghapus nama orang lain di hatinya, tapi tak pernah berhasil. Miris, itulah yang kau rasakan.
Mencoba melupakannya pun tak mudah. Jika kau telah mencintai seseorang dengan begitu dalam, maka tak mudah bagimu untuk menghapusnya dari hati dan pikiranmu.
Karena tanpa kau sadari hati dan pikiranmu telah terpaku pada satu nama. Satu nama yang menjadi cahaya dalam hidupmu. Menjadikan warna pada hari-harimu menjadi lebih berwarna. Hingga bagaimana mungkin kau mampu berpaling pada orang lain jika seseorang yang menjadi cahaya dalam hidupmu terasa lebih indah dan menggiurkan dari pada apapun di sekelilingmu.
"Persiapkan segala sesuatunya dengan lengkap, dan pastikan tidak ada yang salah."
"....."
"Bagaimana dengan undangannya? Apa sudah jadi?"
"...."
"Bagus! Cepat sebarkan dan jangan lupa undang orang itu."
"...."
"Oke! Kuserahkan padamu."
Tuttt
Sambungan telepon terputus meninggalkan senyum tipis yang terukir di sudut bibir Austin saat ini. Keinginannya untuk segera memiliki Carl benar-benar terbukti. Kini surat undangan pernikahan mereka yang akan di laksanakan sebulan lagi telah di sebar luaskan. Jadi tidak ada alasan untuk mundur atau pun menundanya. Dan kini saatnya bagi Austin untuk membagikan kabar bahagia ini pada Carl.
Dengan senyum yang senantiasa bertengger di sudut bibirnya Austin kini melangkah dengan pasti ke kamar Carl. Sungguh antusias menyampaikan kabar yang menurutnya bahagia ini. Ia dan Carl akan segera membentuk sebuah keluarga kecil. Memikirkannya membuat senyuman di wajah Austin semakin mengembang.
Tak mendapati sahutan dari dalam kamar membuat Austin langsung saja memutar kenop pintu dan mendapati Carl tengah berbaring tidur dengan lelapnya di kasur dalam keadaan meringkuk.
Senyum tipis di bibir Austin kembali hadir mendapati posisi tidur Carl yang tak ubahnya seperti anak kecil dalam kandungan. Bahkan dalam posisi seperti ini pun Carl masih terlihat begitu cantik di mata Austin. Membuatnya jadi tidak tega untuk membangunkan Carl dari tidur lelapnya.
"Happy sweet dream my lady. Love you."
Austin mencium kening Carl lama sebelum beranjak keluar dari kamar Carl dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Disisi lain Carl kembali membuka kedua matanya yang tadi terpejam sesaat setelah Austin keluar dari kamarnya. Ya, sedari tadi Carl tidak tidur. Ia hanya berpura-pura untuk tidur. Tanpa bisa dicegah air mata Carl menetes membasahi kedua pipinya.
Tak sengaja ketika hendak ke dapur, Carl sempat menguping pembicaraan Austin via telepon tadi dan perasaannya kembali bimbang.
Ia merasa belum siap. Belum setelah apa yang telah dilakukan Admund padanya sewaktu di balroom kemarin. Ia menyadari satu hal, bahwa perasaannya dari dulu hingga sekarang masih sama. Perasaan itu masih ada dan belum hilang. Seiring waktu yang berjalan ternyata belum mampu menghapus rasa cintanya padanya.
'Tuhan! Apa yang harus kulakukan?'
***
Malam ini Austin sengaja mengajak Carl untuk makan malam berdua di salah satu restoran pilihan Austin. Bahkan Austin telah menyiapkan dress selutut berwarna putih s**u dipadukan dengan high hels setinggi 7cm berwarna krem untuk di kenakan Carl.
Setibanya di restoran yang dituju. Austin langsung membukakan pintu mobil untuk Carl dan menggandeng lengan Carl untuk memasuki privat room yang telah di pesan oleh Austin.
"Can I help you sir?" Seorang waiters datang menyambut Austin yang tengah memasuki restoran.
"Ya, reservasi atas nama Austin Heackel."
"Ok sir, please follow me."
Austin kembali menggandeng tangan Carl dengan lembut mengikuti waiters yang menunjukkan meja makan mereka.
Setelahnya Austin langsung menarikkan kursi untuk Carl duduk. Dan memanggil kembali waiters untuk menyampaikan pesanan mereka.
Meja makan yang mereka tempati berada di pojok ruangan yang menampilkan pemandangan deburan ombak melalui dinding kaca yang membatasi restoran dengan pantai. Yang dengan sukses membuat Carl menganga takjub dengan apa yang dilihatnya kini.
"As, ini benar benar indah. Kau sengaja menyiapkan semua ini?"
"Ya, aku sengaja melakukannya. Melihatmu tampak murung selama beberapa hari ini membuatku khawatir."
"Maafkan aku membuatmu khawatir." Carl menundukkan wajahnya merasa bersalah atas sikapnya yang selalu menghindar dari Austin beberapa hari terakhir ini.
"Sudahlah tak perlu dibahas. Aku mengerti perasaanmu, lebih baik kita makan."
Carl kembali menampilkan senyum kakunya saat Austin berusaha mengalihkan pembicaraan saat makanan pesanan mereka telah tiba. Dan mereka pun memakan makanan mereka dengan diam, tanpa pembicaraan yang berarti.
Carl yang masih bimbang dengan perasaannya, sementara Austin yang masih bingung harus berkata apa. Ia akan mengatakannya pada Carl, tapi ia tau ini bukan saat yang tepat. Belum lagi, ia masih takut akan adanya penolakan dari Carl. Dan jadilah makan malam yang seharusnya dihiasi dengan canda tawa bahagia, kini hanya diselimuti dengan kesunyian. Serta pemikiran masing-masing jiwa akan kelanjutan hubungan mereka.
***
Seusai makan malam, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di tepi pantai sebelum kembali ke apartement mereka.
Carl melepaskan high hels setinggi 7 cm-nya di tepi pantai, dan segera menginjakkan kaki telanjangnya menapaki pasir pantai yang berwarna putih.
Hembusan angin malam langsung menerpa tubuh Carl, tapi tidak menyurutkan keinginan Carl untuk merendam kaki telanjangnya menyentuh air laut yang dingin sebatas mata kaki.
Carl memejamkan kedua kelopak matanya menikmati hembusan angin malam dan menghirup udara pantai dalam-dalam. Berusaha melepas segala beban pikiran yang selama beberapa hari ini bergelayut di otaknya. Menjernihkan pikirannya yang terasa lelah.
Dinginnya terpaan angin dan air laut yang menerpa tubuh Carl seolah tak dihiraukannya. Hingga sebuah jas tersampir menutup kedua bahunya yang memang hanya mengenakan dress selutut tanpa lengan.
Carl menoleh ke samping saat dirasakannya sepasang lengan kokoh memeluk pinggangnya erat dan sebuah kepala menyender di salah satu pundaknya. Tepat seperti dugaan, bahwa yang melakukannya adalah Austin.
"Angin malam tak baik untuk kesehatanmu." Carl hanya tersenyum menanggapi perkataan Austin.
Sesaat memori Carl kembali berputar pada kejadian di taman belakang balroom hotel kemarin. Saat seseorang secara tiba-tiba memeluknya dari belakang dan..
Carl menggelengkan kepalanya berusaha mengenyahkan memori yang selama beberapa hari ini menghantui pikirannya. Tidak, aku tidak boleh mengingat kejadian itu lagi. Dia bukan siapa-siapaku, aku harus melupakannya.
"Apa yang mengganggu pikiranmu?" Pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan Austin membuat Carl kembali pada dunia nyata.
"Bukan apa-apa."
"Aku tahu ada yang mengganjal pikiranmu. Tapi aku tidak akan memaksamu untuk bercerita."
"Maaf," hanya kata maaf yang dapat terucap dari bibir Carl mengingat semua kesabaran Austin dalam menghadapinya.
"Carl, pesta pernikahan kita akan dimajukan bulan depan dan undangan pernikahan kita sudah tersebar." Austin melepaskan pelukannya pada Carl. Ketika Carl hendak berbalik, dapat dilihatnya Austin telah berlutut dengan membawa kotak merah berisi cincin berlian putih dengan ukiran yang simpel dan elegan membuat cincin itu tampak manis ditempa cahaya rembulan.
"Will you marry me Mrs.Heackel?"
Carl kembali menutup mulutnya yang sedikit terbuka mendapati kejutan tak terduga dari Austin. Memang Carl tahu Austin adalah tipe orang yang romantis. Tapi ia tidak menyangka bahwa Austin akan melamarnya disaat undangan pesta pernikahan mereka bahkan sudah tersebar.
"Jadi, apa jawabanmu?" Austin bangkit berdiri ketika tidak mendapati jawaban dari Carl. Jujur, perasaannya kini sedikit berdebar menanti jawaban dari Carl. Tapi ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi, jika ia tidak ingin posisinya terancam karena seseorang dimasa lalu Carl.
"Haruskah aku menjawab, saat undangan pernikahan bahkan sudah kau sebarkan?" Carl berkata seraya menitikkan setetes air mata harunya melihat raut wajah bingung dari Austin.
"Maksudmu? Jadi jawabannya?"
"Yes, I will."
Senyum lebar langsung tersungging di bibir Austin mendapati jawaban dari Carl, perasaan bahagia melingkupinya. Ia segera mengambil cincin yang sudah disiapkannya dan segera menyematkannya pada jari manis Carl di sebelah kiri tangannya.
Pas. Cincin tersebut melekat dengan sempurna di jari manis Carl sebelah kiri, seolah memang dirancang khusus untuk disematkan di jarinya. Karena itu memang kenyataannya.
Tanpa diduga, Austin langsung memeluk tubuh Carl erat seraya mengangkat Carl dalam dekapannya. Memutar-mutarkan tubuh mereka, membuat Carl kembali tertawa dan sejenak melupakan kebimbangan hatinya.
Tapi lagi-lagi momen itu harus terusik saat nada dering ponsel dari dalam tas Carl berbunyi tanpa henti. Mau tak mau membuat Austin dengan berat hati melepaskan dekapannya pada Carl dan membiarkan Carl mengangkat teleponenya.
Carl sedikit berlari kecil menghampiri tasnya yang tergeletak di atas pasir untuk mengambil ponselnya yang terus berdering. Terdapat sederet nomor asing yang tidak dikenalnya tengah menelponnya saat ini.
Dengan ragu Carl menggeser layar hijau dan mengangkatnya.
"Halo? Ini siapa?"
"... "
Lama tak ada jawaban membuat Carl mengernyit bingung dan hendak mematikan ponsel. Tapi lagi-lagi sebuah suara menjawabnya membuatnya refleks menjatuhkan ponselnya di pasir dengan ekspresi terkejut.
"Aku merindukanmu."
'Bagaimana bisa dia...'
TBC---