7. Mama?

1582 Words
Langit tengah diselimuti awan tebal, dan mentari kini juga telah meredupkan cahayanya di ujung senja. Tampak sesosok gadis tengah melangkahkan kakinya dengan gontai di tepi jalan beraspal. Tatapan matanya lurus ke depan, akan tetapi tidak dengan pikirannya. Pikirannya entah pergi melayang kemana. Pandangannya tampak layu seolah tengah memikirkan sesuatu. Gadis yang memakai dress berwarna biru muda selutut tanpa lengan tersebut jika diperhatikan dengan lebih teliti, tampak wajah gadis tersebut tengah lesu seperti memiliki banyak beban pikiran. Lingkaran mata hitam di antara kedua kelopak matanya, cukup menandakan bahwa ia kurang beristirahat. Hembusan angin yang cukup kencang mampu menerbangkan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. Ia tampak tak peduli pada hembusan angin yang sewaktu-waktu akan membuat rambutnya tampak kusut, karena ia hanya fokus dengan pikirannya sendiri. Justru dengan adanya hembusan angin ia merasa lebih baik, pikirannya yang tengah bingung bisa lebih tenang walau untuk sesaat. Hingga tanpa sadar langkah kaki membawanya pada taman yang terletak tidak jauh dari apartemen miliknya. Taman tersebut tampak asri dan hijau dengan banyaknya tanaman yang diatur sedemikian rupa hingga memiliki pemandangan yang indah dan enak dipandang mata. Namun sayangnya hal itu tidak terlalu membantu ketika dirinya tengah memiliki banyak beban pikiran. Gadis bernama Carl tersebut melangkahkan kakinya menuju salah satu bangku yang disediakan di taman tersebut. Ia mendudukkan tubuhnya seraya memejamkan matanya sejenak. Lalu pandangan matanya kembali menelusuri keseluruhan penjuru taman. Dan tatapan matanya terfokus pada seorang anak lelaki berumur antara 3-4 tahunan yang tengah sibuk bermain seorang diri. Kedua alisnya terangkat dan matanya menyipit, pikirannya menerawang mencoba menggali ingatan mengenai sesosok anak kecil tersebut. Carl merasa familiar dan seperti pernah melihat anak tersebut, hanya saja ia lupa kapan tepatnya ia melihat anak tersebut karena posisinya yang membelakangi pandangannya. Ingin rasanya mengabaikan anak tersebut, namun langkah kakinya justru membawanya menghampiri anak kecil tersebut. Hingga tanpa disadarinya ia telah berada tepat di belakang bocah tersebut. "Hey... Apa yang kau lakukan?" Carl menundukkan badannya mencoba menyapa anak kecil tersebut yang tengah bermain sendiri dengan wajah murung. "Aku sedang menunggu Mama." ujar pelan anak kecil tersebut dengan kepala menunduk. "Memang Mama kamu kemana?" Tak ada jawaban dari anak tersebut, melainkan hanya sebuah gelengan kecil yang diberikannya sebagai respon, dengan ekspresi wajah murung. "Hey mengapa bersedih? Siapa namamu?" Anak kecil tersebut kembali menoleh dan memperhatikan Carl secara seksama. "Nama aku Bennedict. Aku sedih karena semua temanku selalu berangkat dan pulang sekolah dijemput Mamanya, sedangkan aku tidak." Jawaban yang dilontarkan anak kecil bernama Bennedict tersebut sontak membuat Carl terkejut. Kini ia telah mengingat siapa anak tersebut. Dia adalah Ben, anak dari.... Admund. Sebenarnya, ia ingin mengabaikan dan segera pergi menjauh ketika mengetahui bahwa anak tersebut adalah anak dari Admund. Akan tetapi pengakuan Bennedict yang dilontarkannya barusan, justru membuatnya merasa kasihan sekaligus bingung. Wanita macam apa yang dinikahi Admund sampai mengantar dan menjemput anaknya saja tidak pernah? Lagi-lagi rasa penasaran menghampirinya, membuatnya kembali menerka-nerka apa yang telah terjadi pada kehidupan Admund, setelah ia pergi menghilang selama empat tahun yang lalu. "Memang Mama kamu sibuk ya? Sampai tidak bisa mengantar jemput kamu sekolah? Kan masih ada Ayah kamu?" Lagi-lagi hanya gelengan kepala yang diberikan anak tersebut. "Aku bahkan tidak pernah tau siapa Mamaku." Jawaban yang diberikan Bennedict kembali membuat Carl merasa bingung dan dilanda tanda tanya besar. Kehidupan rumah tangga seperti apa yang dijalankan oleh Admund sampai anaknya sendiri tidak mengetahui sosok mamanya sendiri? "Kakak cantik?" "Y_ya..?" "Bolehkah aku memanggil kakak dengan sebutan Mama?" "A_apa?" pertanyaan yang diberikan anak tersebut tentu membuat Carl merasa kaget dan tidak tau harus menjawab apa. "Jadi, tidak boleh ya kak?" Anak kecil tersebut menatap Carl dengan pandangan mata sayu, sebelum kembali menunduk dan tampak kedua bola matanya sudah mulai berkaca-kaca. Karena merasa tidak tega melihat anak tersebut akan menangis dan berwajah sedih, maka secara perlahan Carl mengusap puncak kepala anak tersebut dan mengucapkan kata-kata yang menurutnya benar-benar konyol. "Baiklah, kamu boleh memanggil kakak dengan sebutan mama. Jadi, jangan menangis lagi ya..." 'Gila! Ini benar-benar gila. Bagaimana mungkin aku membiarkan anak dari Admund memanggilku dengan sebutan Mama? Itu sama saja dengan aku memberikan peluang bagi Admund untuk kembali masuk ke dalam hidupku. Tetapi, aku juga tidak tega jika harus melihat anak itu menangis. Apa aku salah?' "Benarkah?" Ben mendongak dan menatap wajah Carl dengan mata berbinar senang. Mau tak mau membuat Carl yang masih meragukan jawabannya sendiri ikut tersenyum kemudian mengangguk. Ben sontak langsung menghadiahi Carl dengan pelukan erat, yang dibalas Carl dengan mengelus pelan punggung kecilnya. "Jadi seperti ini rasanya dipeluk Mama." Perkataan Ben yang diucapkan di sela pelukan mereka, cukup membuat hati Carl sedikit merasa tercubit. Setidaknya ia cukup beruntung bisa merasakan kasih sayang kedua orang tuanya secara utuh, meski pada akhirnya kedua orang tuanya berpisah. Jika dibandingkan dengan Bennedict yang bahkan tidak pernah mengetahui dan merasakan kasih sayang dari mamanya. "Ngomong-ngomong kenapa kamu meminta kakak untuk kamu panggil Mama? Apa kamu tidak takut kalau kakak ini orang jahat?" "Tidak mungkin! Kakak orang baik. Buktinya kakak tidak menyakiti Ben. Waktu di mall, kakak juga baik sama Ben." Carl tersenyum tipis mendengar jawaban yang diucapkan Ben. Ternyata anak ini masih mengingat kejadian di mall beberapa hari yang lalu. "Apa kamu tau nama kakak?" Hanya gelengan polos yang diberikan Ben. "Nama kakak Carl. Kamu boleh memanggil mama Carl atau Mama saja oke!" "Oke Mama!" Ben mengacungkan jari jempolnya ke arah Carl yang hanya tersenyum melihat tingkah menggemaskan dari Bennedict. Namun senyuman yang semula merekah itu langsung pudar begitu ia melihat sesosok orang yang sangat ingin dihindarinya, kini telah berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Ia ingin pergi dan secepatnya melarikan diri seperti sebelum-sebelumnya. Namun ia tau bahwa hal itu tidak bisa dilakukannya. Tidak mungkin ia langsung pergi begitu saja meninggalkan Ben tanpa penjelasan yang masuk akal. Mau tak mau ia harus menghadapi semuanya. Ia tidak bisa terus-terusan lari dari masalah. Mungkin ini saatnya untuk meminta penjelasan atau mungkin menyelesaikan permasalahan mereka yang belum terselesaikan. "Papa..." Ben langsung melepaskan diri dari pelukan Carl dan berlari menghampiri Admund yang langsung menangkapnya dalam sebuah gendongan sebelum akhirnya menciumi kedua pipi chubby Bennedict yang menggemaskan. Setelahnya Ben langsung meminta turun dari gendongan Admund dan menarik tangan papanya untuk dibawa ke arah Carl berada. Sementara Carl hanya bisa menarik napas panjang untuk memantapkan hatinya yang kacau. "Papa, kenalkan ini Mama Carl. Cantik kan?" Sebisa mungkin Carl mencoba untuk tersenyum menanggapi perkataan Ben, akan tetapi senyuman itu hanya terukir di bibir, tidak sampai pada kedua matanya. "Mama..?" "Aku bisa menjelaskan semuanya." Carl menyahut cepat pertanyaan Admund, mencegah untuk membuat Admund curiga dan berpikir yang tidak tidak. "Baiklah. Sayang bisakah kamu masuk ke mobil dulu? Papa ada urusan sebentar dengan kakak ini, oke?" "Oke papa!" Ben mengangkat jempolnya ke arah Admund sebelum bergegas masuk ke dalam mobil Admund yang berada tak jauh dari Admund dan Carl berada saat ini. "Baiklah, apa yang ingin kau bicarakan?" Setelah keheningan sekian detik, akhirnya Carl angkat bicara. Ia tidak ingin terlalu lama hanya berdua dengan Admund, sebisanya ia ingin segera menyelesaikan masalahnya dengan Admund dan memulai hidup barunya dengan tenang. "Bagaimana bisa Ben memanggilmu dengan sebutan Mama?" ""Itu, awalnya aku juga tidak mengerti. Tapi secara tiba-tiba Ben meminta izin untuk memanggilku Mama ketika aku sedang menghampirinya dan bertanya mengapa dia sendirian. Dia juga mengatakan, bahwa dia tidak pernah mengetahui sosok ibunya." Terdengar helaan napas panjang dari Admund, sebelum menjawab pernyataan Carl. "Itu mamang salahku, cepat atau lambat Ben akan bertanya siapa Mama kandungnya. Tapi sayangnya aku tidak tau harus menjawab apa." Admund menghentikan penjelasannya sebentar dan tampak mengalihkan pandangannya ke atas sebelum melanjutkan, "sebenarnya, aku tidak pernah menikah dengan siapa pun." "Apa?" "Yaa bisa dikatakan, bahwa Ben adalah hasil dari hubungan gelapku dengan seorang wanita. Wanita itu hanya menuntut materi padaku, tanpa adanya pertanggungjawaban. Dan setelah wanita itu melahirkan, dia menyerahkan hak asuh Ben sepenuhnya padaku. Kemudian dia entah menghilang ke mana, aku tidak tau." "Aku tidak menyangka kehidupanmu begitu rumit." "Ya, aku tau." "Emm... sebelumnya aku ingin bertanya. Apa maksud dari semua teror yang kau berikan padaku beberapa hari belakangan ini?" Carl menatap Admund tajam, mencoba mencari jawaban dari segala sesuatu yang menjadi beban pikirannya beberapa hari ini. "Kau ingin tau jawabannya?" senyum sinis terkembang di sudut bibir Admund. "Katakan." "Bagaimana jika kukatakan, kalau aku ingin merebutmu kembali dari Austin?" "Kau..., GILA!" "Terserah apa katamu. Tapi aku yakin, namaku masih ada di hatimu." "Rasa itu sudah mati sejak lama." Carl memalingkan wajahnya, mencoba memungkiri bahwa perkataan Admund benar adanya. "Kalau begitu... aku akan menghidupkannya kembali di hatimu." "Jangan bermimpi!" "Itu kenyataannya." "Berhenti membual, dan jangan mengganggu kehidupanku lagi." Tak ingin memperpanjang lagi, Carl benar-benar merasa muak dengan perkataan pria itu yang seolah ingin mempermainkannya lagi. "Aku tidak berjanji." "Kau...." Carl segera beranjak pergi dari duduknya dari pada menghadapi tingkah Admund yang menurutnya sangat kekanak-kanakan. Tapi belum sempat melangkah, sebuah tangan telah menahannya dan langsung memeluknya dari belakang. Carl berusaha memberontak dan melepaskan diri dari pelukan erat tersebut. Tapi nihil, semakin Carl memberontak, maka semakin erat pula dekapan tersebut. "Lepaskan..." Tak ada jawaban dari Admund, yang ada hanya suara guntur yang mulai menghiasi langit dengan cahaya kilatnya. Bahkan langit telah berwarna kelabu sepenuhnya, pertanda bahwa hujan akan turun sebentar lagi. "Aku mencintaimu..." suara lirih itu akhirnya mampu membuat Carl diam dan menghentikan pemberontakannya untuk terlepas dari dekapan Admund. Namun sebuah tangan dengan kasar langsung menepis dekapan erat tersebut, dan sebuah hantaman keras langsung dilayangkannya pada sesosok yang mendekap Carl dengan lancangnya hingga membuat Admund jatuh tersungkur.  Admund tampak menyeka hidungnya yang mengeluarkan darah segar, namun ia terlihat tidak memmasalahkan hal tersebut.  "Jangan pernah mengganggu CALON ISTRIKU lagi. Camkan itu!" Ucapan tersebut dilontarkannya dengan tegas dan penuh penekanan, untuk menyadarkan Admund bahwa Carl telah menjadi miliknya. Sementara Carl hanya mampu diam tak berkutik melihat kejadian barusan. Ia tak menyangka bahwa Austin akan datang dan langsung menghajar Admund. "Ayo pulang!" Austin langsung menarik tangan Carl dengan erat hingga membuat Carl sedikit meringis, saking eratnya pegangan Austin pada pergelangan tangannya. Di sisi lain hujan mulai turun membasahi bumi dengan derasnya. Sementara Admund masih diam tak beranjak dari tempatnya tersungkur tadi. Lagi-lagi sebuah senyum sinis terukir di sudut bibirnya. Sebelum akhirnya sebuah cairan merah berhasil diludahkan dari mulutnya. "Ini baru permulaan." Tbc---  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD