Seharian ini Carl tampak lebih murung dari pada biasanya. Setelah pertemuan tidak diduganya dengan seseorang yang sangat ingin ia hindari selama empat tahun belakangan ini. Namun rupanya takdir berkata lain ketika dia harus kembali bertemu dengan pria itu yang membuatnya tak dapat lagi berpikir dengan jernih.
Ia harus dipertemukan kembali di waktu yang sangat tidak tepat. Ditambah sebuah kenyataan bahwa ia telah mempunyai seorang anak. Hal itu menunjukkan bahwa dia telah bahagia dengan keluarga kecilnya. Berbeda dengannya yang sering kali masih saja terbayang-bayang akan kejadian di masa lalu.
'Bodoh, untuk apa masih memikirkannya? Sudah jelas bahwa dia bukan siapa-siapamu. Berpikirlah secara realistis, dia telah bahagia dengan keluarga kecilnya dan kau telah memiliki tunangan yang sangat mencintaimu,' makinya dalam hati ketika dirinya masih saja mengingat masa lalu yang sulit untuk dilupakan.
Carl memutuskan untuk bangkit dari tempatnya duduk dan mulai memasuki kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang kusut karena terlalu banyak berpikir hal yang tidak perlu lagi ia pikirkan. Seharusnya dia bisa menjalani harinya dengan tenang dan tak lagi dibayang-bayangi oleh masa kelam itu.
Seusai membasuh wajahnya, Carl segera keluar dari kamar mandi dan mendapati bahwa Austin telah berdiri di kamarnya dengan setelan jas kerja rapi sambil menenteng sebuah dasi yang ditunjukkan pada Carl. Ekspresi pria itu tampak tertekuk saat mengulurkan sebuah dasi padanya, yang itu artinya Carl sudah dapat menduganya bahwa Austin pasti gagal lagi untuk membuat simpul dasinya dengan benar.
"Pasangkan." Austin menyerahkan dasi yang dipegangnya pada Carl yang langsung diambilnya dengan sebuah senyum tertahan.
"Dasar manja, membungkuk sedikit." Austin dengan patuh membungkukkan badannya agar sejajar dengan tinggi tubuh Carl yang hanya sebatas pangkal daun telinganya.
"Memangnya kenapa kalau aku manja, kan kau tahu sendiri aku tidak pernah bisa memasang dasi dari dulu sampai sekarang," ucap Austin dengan wajah cemberut.
"Iya iya, jangan marah." ucap Carl seraya merapikan kemeja Austin dan memasangkan jas kerjanya setelah selesai membuat simpul dasi yang melingkar di leher pria itu dengan sempurna..
"Oh iya, nanti malam pesta pembukaan cabang perusahaan Heackel Corp di New York. Kamu siap-siap ya, dandan yang cantik. Aku juga mengundang Papa kamu untuk datang ke sana, sekalian juga mengumumkan kalau kamu adalah tunanganku."
Austin mengecup bibir Carl sekilas sebelum kembali menegakkan badannya sembari mengerling nakal yang seketika membuat kedua pipi gadis itu memerah malu..
"Austinnn."
Austin segera mengecup kening Carl lama dan mencuri satu kecupan singkat di bibir Carl -lagi- dan segera keluar, sebelum Carl melemparinya dengan bantal di kamarnya.
Sementara Carl hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Austin yang selalu berniat menggodanya seperti itu. Yah mereka memang telah bertunangan, lebih tepatnya sejak dua tahun yang lalu. Memang Carl masih belum bisa mencintai Austin sepenuhnya, mungkin itu karena ia masih merasa takut untuk mencintai kembali dan tersakiti.
Bukan tanpa alasan Carl menerima lamaran Austin, itu semua dikarenakan kegigihan Austin dalam mendekatinya tanpa lelah dan selalu bersedia dijadikan sebagai sandarannya disaat ia sendiri. Austin selalu ada untuk Carl, bahkan Austin begitu tulus mencintainya.
Setelah kedekatan mereka selama dua tahun akhirnya Austin datang untuk melamarnya. Mengingat semua kebaikan Austin padanya, rasanya tidak mungkin bagi Carl untuk menolak lamaran Austin. Dan lagi pula Carl yakin bahwa Austin akan bisa membahagiakannya. Austin begitu tulus mencintainya, jadi tidak mungkin Austin menyakitinya, seperti dia.
Mengingat kembali tentang dia, entah mengapa membuat perasaan Carl menjadi bimbang. Padahal tujuannya kembali ke New York adalah untuk meminta restu kepada Ayahnya untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius, pernikahan.
'Ya Tuhan, mengapa aku kembali bimbang. Padahal aku telah memantapkan hatiku untuk memilih hidup dengan Austin, seseorang yang mencintaiku. Jika memang Austin adalah jodohku, maka satukanlah kami dalam sebuah ikatan dan biarkan aku membalas perasaannya. Jika dia bukan untukku, maka biarkan Austin bahagia. Karena aku menyayanginya.'
***
Carl mematut dirinya di depan cermin. Ia kini telah memakai long dress berwarna ungu tua dengan hiasan bunga di bagian d**a dan terdapat semacam kain yang dibentuk bunga di bagian sisi perut sebelah kiri.
Di bagian belakang long dress yang dipakai Carl terdapat pita berukuran sedang yang semakin mempermanis penampilan Carl saat ini, dengan tali spageti yang menggantung manis di kedua pundak putih Carl.
Sempurna. Itu kata yang pas untuk penampilan Carl saat ini, ia terlihat begitu cantik dengan long dress yang dikenakannya kini di tambah make up natural yang digunakan Carl semakin menambah kesan natural dan elegan disaat yang bersamaan.
CKLEEK
Pintu terbuka dan masuklah Austin yang telah siap dengan setelan jas formal berwarna hitam membalut tubuh tegapnya. Rambutnya di sisir rapi ke belakang dan diberi gel rambut yang semakin menambah kesan tampan di mata kaum hawa.
Selama beberapa saat mereka berdua mematung dalam diam. Saling mengagumi keindahan makhluk ciptaan Tuhan di hadapannya hingga akhirnya Carl tersadar dari keterpanaannya dan segera membuang muka.
Blushing, itu yang terjadi pada Carl. Ia merutuki kebodohannya yang sempat mengagumi pesona Austin. Memang tidak salah sih, mengingat Austin adalah tunangan Carl sendiri. Tapi tetap saja, ia malu.
Tak lama setelah Carl membuang muka Austin pun tersadar dari keterpanaannya dan segera menghampiri Carl.
"Terpesona padaku eh?" Austin memegang dagu Carl dan mendongakkannya, wajah Carl masih merah dan ia mencoba mengalihkan pandangannya dari mata Austin. Hal tersebut membuat Austin mengembangkan senyumnya semakin lebar.
"Jangan menggodaku." Carl mendorong d**a bidang Austin karena ia malu ketahuan memandangi Austin secara intens tadi.
"Dan kau, tadi juga sempat terpesona padaku kan?" Lanjut Carl mencoba membalikkan keadaan.
Austin tersenyum semakin lebar tanpa berniat membantah perkataan Carl. "Ku akui aku memang terpesona padamu tadi, saat ini, bahkan sampai kapan pun aku selalu terpesona padamu. Kau tahu, kamu sangat cantik malam ini." Austin semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Carl.
"Bolehkan aku menciummu? Jujur, aku tidak mau kau pergi ke pesta itu dengan dandanan secantik ini. Aku takut ada seseorang yang mencoba mengambilmu dariku."
Bisik Austin possesive di telinga kiri Carl seraya melingkarkan kedua tangannya melingkupi pinggang ramping Carl. Dan Carl wajahnya semakin merona mendengar penuturan Austin yang begitu possesive padanya.
'Bagaimana mungkin dia tega meninggalkan lelaki seromantis dan semanis Austin hanya demi lelaki lain? Sepertinya aku harus bisa menghilangkan rasa bimbangku dan memantapkan hatiku untuk Austin. Ya! Untuk Austin yang begitu mencintaiku.' Bisik Carl dalam hati.
***
Memasuki balroom hotel, langsung saja kilatan blitz dari berbagai kamera menerpa wajah Austin dan Carl. Sontak para awak media langsung mengerubungi kedua sejoli yang tengah menjadi sorotan publik saat ini.
Berbagai pertanyaan datang silih berganti menanyakan mengenai status mereka. Tak heran mengingat bahwa Austin adalah seorang CEO dari Heackel Corp dan Carl adalah seorang designer yang mengikuti jejak ibunya sebagai seorang designer.
"Mrs. Harwood dan Mr.Heackel apakah kalian adalah sepasang kekasih? Apakah benar kabar yang tengah beredar bahwa kalian telah bertunangan?"
Kurang lebih seperti itulah pertanyaan yang diajukan oleh wartawan yang tengah meliput pembukaan cabang perusahaan Heackel Corp saat ini. Tapi dengan segera para petugas keamanan menggiring para paparazi untuk memberikan jalan bagi Austin dan Carl lewat.
"Kau tahu, aku tidak menyangka kau akan mengundang paparazi untuk meliput pembukaan Heackel Corp." Carl berkata pada Austin begitu mereka memasuki gedung balroom tempat diadakannya pesta.
"Maaf Carl tidak memberitahumu, aku memang sengaja mengundang mereka untuk meliput pembukaan cabang Heackel Corp. Karena aku akan memperkenalkanmu pada awak media bahwa kau adalah tunanganku dan kita akan segera menikah."
"Huh kau tahu, itu berlebihan."
Setibanya di dalam Austin mengajak Carl untuk menyapa beberapa kolega bisnis Austin dengan tangan Carl yang menggandeng lengan Austin.
"Permisi Tuan Robert, senang Anda bisa hadir diacara pembukaan cabang Heackel Corp ini."
"Oh tentu saya sangat senang bisa hadir diacara anda Mr. Heackel. Ngomong-ngomong siapa wanita cantik di samping anda ini?"
"Oh perkenalkan dia Carley Harwood, tunangan saya." Carl mengulurkan tangannya ke arah Mr. Robert yang di balasnya dengan ramah.
"Senang berkenalan dengan anda."
"Sama-sama, anda sangat pintar memilih calon istri Mr. Heackel."
"Ya, tentu saja saya sangat beruntung memilikinya."
Disisi lain terdapat sepasang mata yang sedari tadi terus mengawasi kedua sejoli yang telah menjadi perbincangan hangat sedari mereka memasuki balroom hotel. Lebih tepatnya seseorang tersebut tengah menatap sang wanita yang tengah melingkarkan lengannya pada lengan si pria.
Matanya tajam menusuk, menyimpan sejuta emosi yang hanya pria itu yang tahu. Tangannya terkepal erat, seolah siap meremukkan gelas berisi cairan bening kekuningan yang saat ini sedang dipegangnya.
Ia marah, ia begitu marah mendapati fakta bahwa wanitanya telah bersama dengan pria lain. Ditambah sebuah kenyataan bahwa pria yang tengah menggandengnya malah mengakui secara terang terangan bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang telah bertunangan bahkan akan segera menikah.
-Wanitanya- Cih! Masih pantaskah ia menyebut dia wanitanya? Setelah perlakuannya dulu. Sungguh egois jika ia masih mengharapkan kalau dia masih menjadi wanitanya. Bahkan ia sendiri yang telah melepaskannya. Bahkan ia hampir merusak masa depannya, menyakitinya. Menyesal, itu yang ia rasakan. Jika dengan menyesal dapat mengembalikan wanitanya, maka ia sudah menyesal sekarang. Tapi ia tahu bahwa itu mustahil. Tapi bolehkah ia berharap?
___
Carl merasa bahwa sedari tadi ada yang tengah mengawasinya, entah siapa. Memang sedari tadi ia masuk telah menjadi pusat perhatian, tapi bukan itu yang ia risaukan. Sedari tadi ia merasa ada yang mengawasinya secara intens. Beberapa kali ia mencoba mengedarkan pandangannya pada sekeliling ruangan, tapi ia tidak mendapati sesuatu yang menurutnya mencurigakan.
Sementara Austin masih saja menyapa beberapa kolega bisnisnya. Akhirnya Carl meminta izin untuk keluar ruangan sebentar untuk menghilangkan pikiran buruk yang melandanya.
"As, aku ingin keluar ruangan sebentar, mungkin ke taman belakang. Kau tahu aku tidak terlalu suka keramaian, apalagi dijadikan sebagai bahan perbincangan."
Carl menolehkan kepalanya ke sepenjuru ruangan dan memang banyak orang yang menatapnya dengan berbagai eskpresi. Ada yang tersenyum, mendengus iri, tatapan kagum, memuja dan lain sebagainya sehingga membuat Carl merasa risih.
"Baiklah jangan terlalu lama, aku akan segera menyusulmu setelah menyapa beberapa kolega bisnisku." Austin mengecup kening Carl sebentar sebelum Carl keluar dari balroom.
"Huh... dadaku serasa sesak berada di dalam sana." Carl menghembuskan napasnya lega setelah berada di taman belakang balroom hotel.
Carl mengamati beberapa lampu yang berada di taman belakang sebagai pencahayaan. Lalu matanya menatap ke langit dan terkesiap memandang kilauan bintang yang bertaburan di langit malam dengan bulan berbentuk sabit yang semakin memperindah langit malam.
"Wahh di sini sangat indah, aku tidak membayangkan akan bisa melihat bintang di malam hari." Carl masih sibuk mengagumi kilauan bintang dan tiba-tiba sepasang lengan kokoh memeluknya dengan erat dari belakang.
"As akhirnya kau kemari, lihat bintang itu sangat indah."
"Aku merindukanmu."
DEG!
Carl mematung selama beberapa saat. Suara ini, suara ini bukan suara Austin. Ia hafal betul suara Austin, dan ia yakin bahwa yang tengah memeluknya saat ini bukanlah Austin melainkan...
Setelah tersadar dari keterkejutannya, Carl segera membalikkan badannya dan benar dugaannya bahwa orang itu adalah, Admund Malinowsky.
Sebelum Carl berniat melepaskan pelukan Admund yang ada di pinggangnya, secara spontan Admund langsung membungkam Carl dengan bibirnya. Melumatnya intens, meluapkan segala macam emosi yang sedari tadi dipendamnya.
Carl yang tersadar dengan apa yang diperbuat Admund segera saja memberontak saat Admund menciumnya, memukul d**a bidang Admund dengan kasar meski tak berefek apapun. Admund berusaha membuka mulut Carl dengan lidahnya tapi Carl sama sekali tidak mau membuka mulutnya dan akhirnya Admund menggigit bibir Carl dengan keras hingga mulut Carl terbuka dan lidah Admund langsung menerobos masuk ke dalam mulut Carl, mencecap segala rasa yang ada di dalam mulut Carl yang sangat dirindukannya.
Carl benar-benar marah, apa yang telah diperbuat Admund sama saja dengan lelaki itu tengah melecehkannya -lagi- sekuat tenaga Carl berusaha melepaskan ciuman Admund yang brutal. Admund berusaha membuka mulut Carl, tapi Carl tidak akan membiarkannya. Ia telah memiliki Austin, ini tidak boleh terjadi.
"Arghh...." Admund menggigit bibir Carl dengan keras, sungguh apa maunya pria ini sebenarnya. Tak puaskah ia menyakitinya di masa lalu, dan kini ia berniat mengulanginya lagi. Air mata Carl mengalir dari kedua pelupuk matanya.
Mendapati Carl menangis secara otomatis Admund langsung tersadar dengan apa yang telah dilakukannya kini. Ia segera melepaskan ciuman sepihaknya pada Carl.
"Carl maafkan aku, aku..."
PLAKKK
Satu tamparan telak langsung mendarat di pipi Admund. Carl masih menangis sesenggukan dengan tangan yang menutupi mulutnya tak percaya dengan apa yang telah terjadi. Ternyata lelaki itu dari dulu sampai sekarang tetap saja sama, b******k.
"Aku membencimu."
Dua kalimat singkat yang diucapkan Carl sebelum berlari memasuki balroom hotel dan segera meminta Austin untuk segera mengantarnya pulang yang langsung disanggupinya dengan bingung dan pandangan khawatir, melihat penampilan Carl yang bisa dikatakan tidak baik-baik saja.
Sementara di taman Admund masih diam mematung mendengar perkataan Carl yang ditunjukkan padanya sebelum dia pergi. Carl membencinya. Kata-kata itu masih berputar dipikiran Admund bagai kaset rusak yang membuatnya sesak.
Dia bodoh, bagaimana mungkin ia melampiaskan kemarahannya pada Carl karena ia mendapati fakta bahwa Carl telah menjadi milik pria lain dihidupnya. Bagaimana mungkin dia kembali menyakiti wanita yang dicintainya.
Bagaimana mungkin tadi dia hampir kembali melecehkan Carl. Bagaimana mungkin ia tidak bisa menahan hasratnya untuk mencium Carl. Bagaimana..
Terlalu banyak kata bagaimana yang ada dalam benak Admund hingga membuatnya mengacak-acak rambutnya secara frustasi. Dia gila. Ya dia gila, karena bagaimana mungkin disaat seperti ini ia malah menginginkan Carl untuk menjadi miliknya secara seutuhnya.
"Arghh. Aku harus bisa mendapatkan Carl kembali, apa pun caranya."
Tbc---