Baru saja Admund berniat bergelung dalam tidur siangnya yang berharga dan mengelana ke alam mimpi. Tapi kini ia dapat merasakan tubuhnya diguncang oleh seseorang dengan cukup kuat yang kembali membuatnya mengumpat untuk yang kesekian kalinya dalam hari ini. Tadi pagi waktu tidurnya telah terpangkas oleh suara gaduh yang dibuat gadis itu, sekarang apa lagi yang mau diperbuat gadis itu untuk mengganggu waktu tidurnya.
‘Ck, tak bisakah waktu tidur siangku yang berharga tak terusik untuk yang kesekian kalinya.’ Admund kembali mengumpat dalam hatinya mendapati hal itu.
Mencoba mengabaikan apa pun yang mengganggu tidur siangnya dengan menggunakan bantal dan membenamkan wajahnya pada bantal. Akan tetapi bukan kedamaian dan ketenangan yang didapatinya, malah guncangan pada tubuhnya yang semakin kuat dan jangan lupakan teriakan gadis yang cukup keras itu mampu membuat kepalanya pusing serasa ingin pecah.
"Kak Admund ayo bangun. Temani aku berbelanja dan berkeliling hari ini."
Ujar gadis yang tak lain adalah Carl tersebut seraya mengguncangkan tubuh Admund dengan cukup keras, berharap Admund bersedia untuk menemaninya berbelanja dan berkeliling kota New York yang tidak begitu dikenalnya setelah sekian lama menetap di Paris. Namun tetap saja guncangan yang dilakukan pada tubuh tegap pria itu seolah tak mempan, hal itu terbukti ketika pria itu sama sekali tak merespon ucapannya yang membuat Carl semakin merasa kesal ketika melihatnya.
"Kak Admund ayo temani aku berkeliling kota New York."
Carl kembali berkata cukup keras di sebelah telinga Admund, berharap Admund kembali membuka mata dan terbangun dari tidurnya. Tapi rencananya gagal, Admund malah mengambil bantal dan menutupi kedua telinganya karena merasa terganggu dengan teriakan Carl kemudian kembali tidur.
"Oh ayolah kak, please. Kau harus mau menemaniku berkeliling kota New York ini sekarang, aku benar-benar bosan di sini. Jadi, jalan terbaik yang harus kau lakukan adalah menemaniku berke..."
BUKKK
Sebuah bantal berwarna putih dengan sukses menghantam wajah Carl yang tengah bersusah payah membujuk Admund agar mau menemaninya. Tapi yang didapatinya adalah hantaman bantal yang sukses memotong ucapannya dan dengan tidak berdosanya si pelaku yang tak lain adalah Admund kembali bergelung dengan bantalnya.
"Berisik!"
Satu kata singkat yang seketika membuat amarah Carl naik ke ubun-ubun dan terasa ingin meledak saat ini juga. Tapi ia berusaha menetralkan rasa emosinya dengan memejamkan kedua matanya selama beberapa saat.
"Oke, kalau kakak tidak mau menemaniku berkeliling kota hari ini aku akan pergi sendiri. Dan jika aku tersesat atau tidak kembali ke apartementmu jangan pernah coba mencariku."
Carl berbalik badan keluar dari kamar Admund dan tak lupa membanting pintunya cukup kuat hingga menimbulkan bunyi bedebum yang cukup keras. Sementara Admund kembali meneruskan tidurnya yang sempat terganggu. Ia tak ambil pusing dengan perjaraan gadis kecil itu, dia tidak akan kabur begitu saja tanpa dirinya. Jadi dia lebih memilih melanjutkan tidur siangnya dan akan menemaninya lain kali.
***
Setelah beberapa lama kemudian terdengar getaran handphone di sisi nakas tempat tidur Admund. Ia meraba di sekitar nakas dan setelah mendapatkannya ia segera menekan tombol hijau tanpa melihat siapa yang tengah menelpon dalam keadaan kedua mata masih terpejam akibat rasa kantuk.
"Hallo.." suara serak khas bangun tidur terdengar dari mulut Admund yang masih telungkup.
"Hallo Admund, ini aku Arnest."
" Oh Arnest, ada apa?"
"Aku hanya ingin memastikan bahwa keadaan Carl baik-baik saja."
"Hm kau tenang saja, dia baik-baik saja."
"Oh syukurlah, aku benar-benar khawatir karena dia tidak bisa dihubungi. Kupikir dia marah karena aku hampir saja melupakan hari sepesialnya."
"Hari sepesial?" Kening Admund mengkerut tak mengerti, ia perlahn muli membuka kedua matanya yang masih terasa berat untuk dibuka.
"Iya hari spesialnya, seharusnya kemarin sebelum berangkat aku menyempatkan diri untuk mengucapkannya, tapi aku benar-benar lupa," terdengar nada menyesal dari ucapan Arnest di sebrang sana, membuat Admund sekali lagi diliputi tanda tanya besar di otaknya.
"Maksudmu? Jangan berbelit-belit, aku benar-benar tak mengerti," ujar Admund seraya membalikkan badannya hingga terlentang.
"Apa aku belum memberitahumu?"
"Jangan berbelit-belit Arnest, atau kumatikan handphone-ku."
"Oke oke, sekarang adalah hari ulang tahun Carl."
"Oh..."
"Baiklah, bisa aku minta satu hal padamu? Kumohon buat Carl bahagia di hari ulang tahunnya. Karena aku tidak sedang berada di sisinya,jadi turuti apa saja maunya hari ini. Oke, aku mengandalkanmu!" Pinta Arnest di sebrang sana dengan suara yang terdengar serius.
Belum sempat Admund membalas perkataan Arnest. Pria itu telah memutuskan panggilannya terlebih dahulu hingga membuat Admund urung menanyakan hadiah apa yang sekiranya akan disukai oleh gadis itu.
"Jadi sekarang hari ulang tahunnya. Baiklah, aku akan mengantarkannya keliling New York hari ini."
***
Entah sudah berapa jam Admund berkeliling kota New York ini. Bahkan matahari sudah tenggelam di balik kokohnya bangunan-bangunan pencakar lagit yang menjadi ciri khas kota New York.
Lalu lalang kendaraan di jalanan kota New York sedikit membuat Admund menghela napas frustasi. Pasalnya sampai saat ini, ia belum menemukan sesosok yang dicarinya. Bahkan saat malam tanpa terasa telah menjelang dan sesosok itu belum juga ditemukannya.
Khawatir. Tentu saja hal itu yang dirasakan Admund saat ini. Dimana ia adalah seseorang yang selalu menepati janjinya dan nyatanya kini ia malah tidak bisa menepati janjinya.
Ia sudah berkeliling mencari ke tempat-tempat yang memiliki kemungkinan bahwa sesosok itu ada di sana. Dimulai dari taman, tempat bermain, pusat perbelanjaan, salon, juga beberapa tempat yang menurutnya banyak disukai para gadis untuk sekedar menghabiskan waktunya. Tapi hasilnya nihil, ia tak menemukan sosok itu dimana pun.
Carl. Satu nama yang langsung terpatri dibenaknya saat ia melihat siluet seorang gadis yang tengah terduduk sambil melempar beberapa batu kecil ke arah danau yang menimbulkan beberapa riak air kecil dipermukaan air danau yang semula tenang.
Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, ia segera menghampiri sesosok yang menurutnya adalah Carl tersebut. Dan dugaannya benar, gadis itu adalah Carl. Dengan ekspresinya yang murung.
"Carl, kenapa kau ada di sini?" Admund mencoba menyadarkan Carl akan aksistensinya, membuat gadis itu menoleh dan mendapati Admund telah berdiri menjulang di sisinya.
"Mengapa kau kemari? Bukankah aku tidak menyuruhmu untuk mencariku," ucap Carl mengalihkan pandangannya ke arah danau yang tenang.
"Aku ada di sini karena mencemaskanmu."
"Kau tidak perlu mencemaskanku. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagi pula kau bukan siapa-siapaku." Carl kembali berucap tanpa memandang Admund. Tatapannya terlihat kosong, seolah ada suatu hal yang tengah mengganjal pada diri gadis itu.
"Hei! Kau adalah tanggung jawabku sekarang, karena sahabatku menitipkanmu padaku. Jadi, kau adalah tanggung jawabku."
Admund memengang kedua bahu Carl dan menatapnya tepat ke dalam manik matanya. Mencoba mencari sebuah jawaban akan sikap Carl yang menurutnya aneh. Tadi pagi seingatnya Carl bersikap biasa saja, bahkan dia bersikap cuek dan berani mengatainya. Tapi sekarang.. entah. Admund sendiri tidak bisa mengerti.
Tanpa diduga, Carl menundukkan kepalanya dan Admund dapat merasakan bahu Carl bergetar.
'Apa dia menangis?' Batin Admund berkecamuk. Menghiraukan segala bentuk pertanyaan yang berkecamuk di benaknya, Admund segera meraih Carl ke dalam pelukannya.
Mendekap dan menyandarkan kepala Carl di dadanya. Ia mengelus punggung Carl dengan lembut, memberikan ketenangan hingga Carl tak mampu membendung air matanya lagi. Dan tangisnya pun pecah membasahi kemeja Admund. Sekian lama berada dalam posisi tersebut, akhirnya tangis gadis itu mereda.
"Merasa lebih baik? Kau bisa berbagi carita denganku jika kau mau. Kudengar, jika seseorang mempunyai sebuah beban dan membaginya dengan orang lain. Maka kau akan merasa lebih baik setelahnya," ucap Admund setelah mereka melepaskan pelukan tadi dan kembali duduk di atas rumput tepi danau.
Lama tak ada jawaban dari Carl, dan Admund berpikir mungkin Carl belum siap atau tidak ingin menceritakan masalahnya pada Admund yang masih menjadi orang asing baginya. Maka dari itu ia berniat untuk mengalihkan pertanyaan.
"Aku..." tapi pikirannya salah, mungkin Carl bersedia membagi sedikit cerita padanya hingga membuatnya bersedih.
"Aku kesepian," dua kata yang diucapkan Carl, membuat Admund mengernyitkan alisnya bingung. Tapi ia tetap diam menanti kelanjutan cerita yang akan disampaikan Carl.
"Dulu di hari ulang tahunku yang ke-8 tahun. Aku ingin menemui kedua orang tuaku untuk meminta hadiah ulang tahun. Aku sengaja bangun dini hari hanya untuk menagih hadiah yang dijanjikan kedua orang tuaku. Aku bangun pukul 2 dini hari dan aku berjalan mengendap-endap ke arah kamar orang tuaku."
"Setelah berada di depan kamar orang tuaku, aku medengar suara orang tuaku seperti sedang bertengkar. Karena penasaran, aku menguping pembicaraan mereka di balik pintu. Bahkan aku mendengar ibu tengah menagis dan berkata bahwa dia ingin berpisah dengan ayah. Aku juga medengar ayah mengucapkan kata cerai. Aku sungguh takut..."
Air mata menetes di kedua manik mata Carl. Lalu ia mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan.
"Meski saat itu aku baru menginjak umur 8 tahun, aku tahu apa maksud dari kata cerai dan berpisah yang diucapkan orang tuaku. Aku menutup kedua telingaku untuk menyangkal apa yang aku dengar tadi. Tapi sia-sia."
"Aku menangis dalam diam dan berlari ke kamarku. Aku menutup telingaku dengan bantal, berharap apa yang aku dengar hanya sebuah mimpi buruk." Carl mengusap air matanya dan kembali mengambil napas, mengurangi rasa sesak yang memenuhi dadanya.
"Tepat di pagi harinya, aku melihat Ayah telah membawa dua koper besar dan berniat meninggalkan rumah. Aku mengikuti Ayah dan menarik tangannya, tapi ia tak bergeming. Kemudian Mama menarikku ke dalam kamar dan mengunciku disana."
"Dan saat itulah aku sadar bahwa keluargaku tak lagi utuh. Keluargaku telah tercerai berai. Aku tinggal dengan Mama dan Papa menjemput kak Arnest yang saat itu menginap di rumah Kakek. Lalu Papa membawa kak Arnest kembali ke New York, sedangkan aku dan Mama tetap di Paris."
"Mulai saat itu semuanya berubah, aku selalu mengurung diri di kamar. Mama juga lebih sering menenggelamkan dirinya dengan bekerja mengurus butiknya hingga selalu pulang larut malam. Mulai saat itu aku selalu membenci hari ulang tahunku. Seperti hari ini."
Carl mengakhiri ceritanya dengan menutup kedua matanya. Membiarkan hembusan angin malam menerpa wajahnya.
Entah mengapa sedikit beban yang selama ini dipikulnya sendiri terasa lebih ringan, seolah ikut terbawa angin. Mungkin benar apa yang di katakan Admund tadi, bahwa membagikan sedikit masalahmu akan meringankan sedikit bebanmu.
Kini Carl membelalakkan matanya, saat secara tiba-tiba sepasang lengan kekar memeluknya erat. Admund memeluknya. Membuatnya merasa nyaman dan tangannya ikut terulur membalas pelukan Admund sama eratnya. Menghabiskan sisa malam itu dengan berpelukan hingga tengah malam.
***
-Kenyamanan yang kau rasakan saat ini, bisa saja hanya sebuah permulaan takdir yang coba digulirkan Tuhan untukmu. Sebuah awal yang akan menuntunmu pada realita dunia. Bahwa untuk mencapai kebahagiaan dunia, kau harus mampu melalui pahitnya dunia yang kau pijaki saat ini. Karena, takdir hidupmu baru saja dimulai. Dunia yang kejam, dengan segala kearogansiannya.-
TBC--