2. Seperti Rumah

1610 Words
Ketika kehangatan yang diberikan seseorang mampu mencairkan kebekuan hatimu. Maka, itulah tempat yang pantas disebut rumah. Tempat untukmu berlabuh. __Anonymous__ ___ Suara gaduh yang berasal dari dapur berhasil membangunkan Admund dari lelapnya kenikmatan tidur di pagi hari. Dengan berat hati ia membuka kedua matanya dan merutuki siapa pun orang yang membuat suara ribut karena telah berani mengusik waktu lelapnya yang sangat berharga. Weekend adalah waktunya yang paling tidak ingin dia sia-siakan untuk urusan apa pun, karena dia akan tertidur sepanjang hari sebagai ganti hari-harinya yang selalu sibuk di hari kerja sehingga dia sering kali kekurangan tidur. Oleh sebab itu di kala hari libur seperti saat ini dia tidak ingin diusik dan memilih tidur sampai puas sebagai gantinya. Menoleh ke atas nakas dimana jam masih menunjukkan pukul 06.15 pagi. Dan seharusnya ia masih bisa menikmati waktu tidurnya sampai menjelang siang nanti. Nyawanya masih belum sepenuhnya kembali, bahkan kedua matanya masih menyipit sewaktu melihat jam weker-nya tadi. "s**t! Siapa yang membuat keributan di apartemenku pagi buta seperti ini. Tak tahukah bahwa hari sabtu merupakan hari berhargaku untuk tidur dan bermalas-malasan sepanjang hari!" Gerutu pria itu yang semakin merasa terusik. Admund terus menggerutu dan berusaha menutupi kedua telinganya menggunakan bantal dengan posisi tengkurap. Bukannya kembali tertidur, yang ada dia malah mencium aroma sedap yang cukup menggugah selera ketika dia masih memejamkan kedua matanya. Membuat perutnya yang kosong seakan meronta minta untuk diisi. Memang rasanya ia masih tidak rela jika waktu tidurnya harus dipangkas hanya karena adanya suara keributan di rumahnya sepagi ini, namun aroma sedap tersebut mau tak mau cukup mengganggu tidur nyenyaknya yang ia yakini tidak akan nyenak lagi jika dia lanjutnya, ditambah perutnya yang justru berbunyi tak bisa diajak untuk berkompromi. Tampaknya jika seperti ini ia takkan mungkin bisa tertidur lagi. Mendapati bahwa perutnya sudah berbunyi meminta jatah untuk diisi. Dengan malas Admund kembali bangun dari posisi tidurnya dan berjalan keluar kamar menuju sumber aroma yang membuatnya lapar. Berjalan dalam keadaan shirtles, dengan hanya mengenakan bokser yang dipakainya sewaktu tidur semalam. Menampilkan d**a bidangnya terekspos dengan perut sixpack yang menggoda bagi para wanita. Ketika sampai di dapur, Admund mendapati sesosok gadis mungil tengah memasak dengan bersenandung pelan. Gerakannya cukup gesit dan luwes membuat Admund menaikkan sudut bibirnya ke atas membentuk senyum tipis. Ia baru ingat bahwa semalam Arnest menitipkan adik kecilnya Carl padanya. Hampir saja ia mengira bahwa sosok yang membuat keributan di dapurnya sepagi ini adalah ibunya, tapi nyatanya dugaannya salah. Dan satu hal yang cukup membuat Admund senang, ternyata Carl gadis yang pandai memasak. Itu artinya ia tidak perlu repot-repot membuang bahan makanan yang selalu dibawakan ibunya setiap 4 hari sekali. Dan kebetulan kemarin ibunya baru saja mengisi persediaan bahan makanan di kulkasnya hingga penuh. Namun sayangnya  bahan makanan tersebut selalu berakhir membusuk di kulkasnya karena ia hanya bisa memasak makanan instan atau memesan makanan lewat online. Parahnya, ia juga jarang makan di apartemen, karena dia lebih suka makan di luar dari pada sendirian di apartemen. Awalnya ia pikir apa yang dilakukan ibunya hanya sia-sia belaka, mengingat Admund sendiri tidak bisa memasak. Tapi kini persepsinya salah, bahan masakan yang dibawakan ibunya ternyata cukup berguna bagi gadis kecil yang tengah menguasai dapurnya saat ini tanpa menyadari kehadiran Admund sama sekali. Admund berdehem sejenak untuk mengalihkan eksistensi Carl dari kesibukannya memasak. Terlihat Carl sedikit tersentak lalu memutar tubuhnya menghadap Admund sepenuhnya. Matanya menyipit seolah menilai dan tak lama kemudian wajahnya memerah. Sementara Admund hanya bisa mengerutkan keningnya bingung mencoba menebak apa yang tengah dipikirkan Carl. "Hmm apa yang sedang kau lakukan di dapurku?" "Memasak," jawaban singkat yang cukup logis, mengingat Admund hanya mencoba untuk sekedar berbasa basi pada Carl. Tapi raut kecewa nampak di wajah Admund mendengar jawaban singkat Carl. Bodoh. Memang jawaban apa yang diharapkan Admund dari sebuah pertanyaan yang sudah pasti jawabannya. Ternyata menjadi seorang direktur sebuah perusahaan komputer tidak membuat otaknya cukup pintar mencerna apa yang sedang berlangsung. "Siapa yang memperbolehkanmu memasak," bukan sebuah pertanyaan, melainkan sebuah sindiran. "Memangnya kau melarangku?" "Hm, tidak juga," umpan balik yang lontarkan Carl mampu membuatnya bungkam dan memilih untuk mengalah. Karena dia tahu, Carl bukan tipe gadis yang suka berbasa-basi. Admund memutuskan untuk pergi dari dapur dan mandi untuk menjernihkan pikirannya. Niat baiknya yang mencoba beramah tamah pada Carl membuahkan hasil yang menyedihkan. Dan parahnya dia malah terlihat konyol dengan pertanyaan absurd yang keluar dari mulutnya. Sesampainya di kamar mandi ia segera mengguyur tubuhnya di bawah shower. Menikmati kucuran air yang menyirami tubuhnya layaknya hujan. Sesekali ia juga bersenandung, biasanya ia sangat jarang mandi di pagi hari seperti saat ini di kala weekend. Hanya saja sepertinya hari ini adalah pengecualian, karena perutnya telah menghianatinya karena rasa lapar setelah mencium aroma masakan yang semoga saja seenak aromanya ketika gadis itu memasak tadi. "Mandi di pagi hari tidak terlalu buruk. Ini menyegarkan." Admund bergumam pelan dan sesekali bersenandung pelan di tengah aktivitas mandinya. Tak lama kemudian terdengar seseorang tengah memanggilnya dari luar. "Uncle, sarapan sudah siap," suara Carl yang berteriak menggema di dalam aparteman Admund. "Wait, Om? Anak itu, berani-beraninya dia memanggilku dengan sebutan itu. Dia kira aku setua itu apa," terlihat Admund menggerutu tak terima, merasa terusik mendengar Carl menyebutnya dengan sebutan Uncle. "Aku harus memberinya pelajaran karena berani memanggilku dengan sebutan itu." Admund segera menyelesaikan aktivitas mandinya dan menghampiri Carl yang terlihat menata hidangan sarapan di atas meja dengan senyum tanpa dosanya. 's**t! Bagaimana bisa gadis kecil ini dengan santainya menata hidangan sarapan setelah membuatku naik darah karena sebutannya yang tak enak didengar tadi.' Memang sih usiaku dengan Carl terpaut 12 tahun, tapi tidak seharusnya dia menyebutku dengan panggilan menyebalkan itu bukan. Lagi pula dia kan tahu sendiri kalau aku ini adalah sahabat kakaknya. Paling tidak dia juga harus memanggilku kakak atau langsung memanggil namaku saja, tidak perlu menggunakan embel-embel Uncle. Mengingatnya kembali membuatku naik darah. Aku benar-benar akan merasa tua jika dia tetap memanggilku dengan sebutan tak layak itu. Aku harus memperingatinya. "Halo Uncle, lagi melamun ya?" Carl berhasil mengembalikan Admund ke dunia nyata dengan melambaikan tangannya di depan wajah Admund berulang kali. "Bukan urusanmu." Admund segera menepis tangan Carl dan memalingkan wajahnya. Lagi-lagi dia terlihat konyol di depan Carl dengan ketahuan sedang melamunkan hal yang membuatnya jengkel. Sementara Carl yang mendapat balasan cuek dari Admund hanya mengangkat kedua bahunya acuh dan segera duduk di meja makan tanpa mempedulikan Admund. Ia makan dengan tenang seolah-olah menganggap bahwa Admund tidak ada. Terus mengabaikannya hingga suara Admund mengintrupsi kegiatan makannya. "Hei gadis kecil, tidakkah kau punya sopan santun untuk menawari orang yang lebih tua darimu makan." Admund berkata sarkas mendapati bahwa dirinya diabaikan. "Jika mau makan ya makan saja, tidak perlu mengataiku tidak punya sopan santun. Lagi pula aku sudah memanggilmu untuk makan dari tadi bukan, tapi kau malah tetap berdiri layaknya orang bodoh di situ dari tadi." Pasrah, itu yang dirasakan Admund. Ia tidak akan bisa menang melawan perkataan gadis kecil bermulut tajam itu. Dengan setengah menggerutu pelan, Admund menarik kursi dengan sedikit kasar dan ikut makan dikarenakan perutnya sudah protes minta diisi. Bahkan ia baru ingat, bahwa semalam ia tidak makan. Pantas saja perutnya berbunyi. "Bagaimana, enak bukan?" Carl bertanya dengan nada bangga. "Hm, lumayan. Tidak buruk." Admund menyahut singkat dan melanjutkan makan. "Huh.. Pelit komentar," gerutu Carl, yang dibalas Admund dengan mengangkat kedua bahunya cuek. "Dasar Uncle tua." "Hei, tadi kau bicara apa gadis kecil?" Admund bertanya sambil memincingkan matanya, menusuk. "UNCLE TUA PELIT KOMENTAR," ujar Carl dengan penekanan disetiap suku katanya. Tak lupa senyum miring terkembang di bibirnya tatkala mendapati ekspresi Admund yang terlihat kesal. "KAU! Berhenti memanggilku dengan sebutan Uncle. Aku tidak setua itu dan aku bukan Uncle-mu. Ingat itu." Admund berkata dengan kesal yang malah dibalas dengan tawa lebar Carl, seolah-olah apa yang diucapkan Admund adalah sebuah pertunjukan comedy yang sangat lucu. "Haha kau tahu, ekspresimu saat marah sangat lucu, sama seperti bapak-bapak yang menasehati anaknya." Carl berkata dengan diakhiri menjulurkan lidahnya mengejek pada Admund yang tengah melotot tak terima. Carl bangkit dari kursinya dan hendak beranjak pergi dari meja makan ketika Admund dengan sengaja menyentak tangan Carl kuat, yang menyebabkan Carl harus mendarat di pangkuan Admund. "Hei Uncle, lepaskan pegangan tanganmu dari pinggangku." Carl berujar kesal yang dibalas seringai oleh Admund. "Tidak sebelum kau memanggilku dengan benar." Admund berbisik di telinga Carl yang seketika membuat bulu kuduknya berdiri. Karena dengan sengaja Admund meniup-niup belakang telinga Carl berniat menggoda. "Uncle! berhenti bertingakah konyol dan lepaskan aku. Aku mau mandi." "Panggil namaku, baru kulepaskan." Admund semakin mendekatkan wajahnya pada leher jenjang Carl, yang seketika menimbulkan sensasi geli karena terpaan napas Admund di tengkuk lehernya. "Oke-oke, Uncle? Memang namamu siapa?" Carl memiringkan wajahnya menghadap Admund yang masih setengah tidak percaya akan pertanyaan yang dilontarkan Carl tadi. "Jadi kau belum tahu namaku gadis kecil?" Admund membalikkan pertanyaan Carl yang dibalas gelengan polos oleh Carl. 's**t! Bagaimana bisa gadis kecil ini tidak mengetahui nama seseorang yang akan tinggal sementara waktu dengannya. Kukira Arnest sudah memberitahunya mengenai aku, tapi nyatanya... Ah sudahlah.' "Oke, perkenalkan namaku Admund. Sahabat kakakmu," ujar Admund dengan menekankan kata 'sahabat' dan mengulurkan sebelah tangannya pada Carl. "Ohh, namaku Carl Harwood adik dari Arnest Harwood." Carl membalas uluran tangan Admund dan menarik diri dari pangkuan Admund. Berhasil. "Lantas, kau mau aku memanggilmu apa? Uncle Admund, Uncle m***m, Uncle tua, Mr.tua, atau..." Jeda sejenak sebelum Carl melanjutkan. Kali ini disertai seringai yang mengembang di bibirnya, membuat Admund memincingkan matanya curiga. "Deddy." "Apa? Kau memanggilku apa? Deddy? Aku bukan Papamu oke. Lebih baik kau memanggilku Admund atau kakak." "Kakak?" "Ya kakak. Kurasa itu lebih baik dari pada Uncle atau semacamnya." "Baiklah kak, aku mandi dulu." Carl berujar pelan tak lupa mendaratkan sebuah kecupan kilas di pipi Admund sebelum berlari menuju kamarnya. Admund terdiam mematung di meja makan dengan memegang pipinya yang tadi sempat dicium Carl. Tak lama kemudian senyum tipis mengembang di bibir Admund. "Huh, ada apa ini." Admund berujar pelan dengan memegang dadanya yang kembali berdetak tak normal. "Tapi ini lumayan menyenangkan," senyum miring kembali tersungging di bibir Admund. Untuk pertama kalinya ia merasakan sensasi itu, perasaan seolah senang yang tidak bisa dia gambarkan. Meskipun ini terasa aneh, tapi dia menikmatinya, momen seperti ini sangat jarang ia dapatkan. Tanpa sadar hingga Carl telah menghilang dari pandangannya, ia masih saja terduduk dengan seulas senyum yang mengembang. Ini gila, padahal dia bukan lagi seorang remaja labil yang akan berdebar-debar, tapi nyatanya ini tidak terlalu buruk pikirnya. Tbc---  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD