4th years leter...
“Carl?”
Suara panggilan yang ditujukan padanya seketika membuat gadis itu terkesiap dan tersadar dari lamunannya akan memori 4 tahun silam. Memang sudah empat tahun berlalu, namun ia masih mengingat persis bagaimana ketika semuanya berjalan dengan lancar, sampai pada saat itu tiba. Saat yang membuatnya merasakan sakit hati dan terhianati dalam waktu yang bersamaan. Memori kelam itu terlalucsulit untuk dilupakan, karena tiap kali ingatan itu melintas dalam benaknya yang ada hanya rasa sakit dan takut akan hal itu.
Napasnya memburu, masih segar di ingatannya bagaimana sosok itu menjadi orang yang dulu sempat ia kagumi dan sukai. Ketika dirinya yang masih remaja labil begitu memuja sosok pria dewasa yang dia harapkan akan menjadi pendamping hidupnya kelak, namun kenyataannya tidak demikian. Dunia orang dewasa terlalu menyakitkan untuk ia cerna dulu, hingga membuatnya kembali meragukan rasa cinta. Dia sadar bahwa dulu ia terlalu munafik untuk dapat mencerna semuanya, dan kini ia sadar bahwa dirinya yang dulu begitu bodoh hingga terlalu berharap. Yang pada akhirnya hanya membuatnya kembali memiliki trauma akan penghianatan.
Ragu. Itu yang dirasakan Carl saat ini. Disaat ia telah meninggalkan tempat yang menyimpan kenangan indah dan buruknya di kota ini. Memilih pergi dari pahitnya realita dunia yang tak mampu ia hadapi. Menjadi seorang pecundang yang lebih memilih kabur dan tak ingin lagi mengungkit masa lalunya yang hsnya memberikan luka yang dalam.
Tapi kini ia kembali, setelah sekian tahun meninggalkan kota ini untuk kembali menata hatinya yang rapuh. Menguatkan hatinya bahwa ia mampu. Mampu untuk menghadapi apa pun yang akan menghadangnya nanti. Dan berharap bahwa semuanya akan berjalan lancar setelah ini.
Memejamkan mata dan menghembuskan napas selama beberapa detik, saat pesawat yang membawanya kembali pada kota yang membawa mimpi buruk kedua setelah Paris. New York City.
Paris. Kota yang membawa mimpi buruk saat mengetahui orang yang paling kau sayangi harus berpisah dan pergi meninggalkanmu tanpa sepatah kata pun. Menimbulkan luka menganga yang tak bisa kau sembuhkan seorang diri. Hingga harus merasakan kesepian saat orang yang kau butuhkan untuk merangkul dan menguatkanmu justru lebih memilih untuk sibuk dengan dunianya sendiri tanpa mau mengurusimu. Membuatmu membenci hari yang paling spesial untukmu. Hari ulang tahunmu.
New York. Kota yang membuatmu mampu membagi beban yang kau tanggung selama ini hingga membuatmu nyaman. Tapi setelah kenyamanan itu kau dapat, kau harus kembali menerima kenyataan bahwa bahagia itu semu.
Setelah kau merasa nyaman bahkan mampu menyerahkan apa pun yang kau miliki pada sesuatu yang membuatmu nyaman. Nyatanya itu semua tak mampu membuatnya tetap berada di sisimu. Karena dia bukan milikmu dan kau tak ubahnya seperti jalang yang mengemis cintanya.
Ironis. Carl tersenyum kecut mengingat kembali kilasan memorinya yang cukup buruk. Sesulit itukah rasanya hanya untuk merasakan bahagia? Jika iya, maka ia akan memilih untuk tidak merasakan bahagia. Jika bahagia mampu membuatmu merasakan sakit yang teramat setelahnya.
"Kau tak apa Carl?"
"Ya, aku baik- baik saja," ucap Carl spontan saat menyadari bahwa hanya ada dia dan Austin di dalam kabin pesawat yang mereka tumpangi.
"Lebih baik kita segera keluar." Carl langsung menyeret kopernya keluar dengan Austin yang menyusulnya di belakang.
"Kau benar tak apa Carl? Kau tau, jika kamu belum siap kita bisa menundanya. Aku bisa memesan tiket penerbangan paling awal besok."
Austin kembali menanyai Carl saat mereka berada dalam taksi menuju apartemen yang dibeli Austin selama mereka berada di New York. Mengingat sedari tadi Carl tampak murung dan juga sering melamun sejak mereka berada di dalam pesawat. Hal itu tentu membuat Austin cemas.
"Tidak perlu As, aku baik-baik saja. Maafkan aku karena membuatmu khawatir." Carl mencoba tersenyum meski terkesan dipaksakan.
"Baiklah Carl, jangan dipendam sendiri. Aku selalu ada untukmu."
Austin menarik Carl agar bersandar pada d**a bidangnya, yang membuat Carl merasa nyaman dan terlindungi. Tak lama setelahnya Carl dapat merasakan bahwa kelopak matanya mulai memberat dan perlahan kesadarannya menghilang.
"Mimpi indah Carl. Aku mencintaimu."
Kata terakhir yang diingat Carl sebelum ia jatuh ke alam mimpi. Dapat dirasakannya kecupan lembut di dahinya sebelum ia benar-benar terlelap tidur lelap.
***
Austin mengangkat Carl memasuki apartemen yang mereka tempati dengan posisi bridal style, karena ia tak tega membangunkan Carl yang terlihat begitu lelap dalam tidurnya. Meskipun ia akui bahwa dirinya sendiri juga sangat lelah.
Sesampainya di dalam apartemen, Austin segera membawa Carl memasuki kamar dan menidurkannya sepelan mungkin agar Carl tidak merasa terusik tidurnya.
Terlihat Carl sempat mengeliat selama beberapa saat sebelum kembali terlelap dalam tidurnya. Diusapnya wajah Carl yang putih mulus dan menyingkirkan sisa rambut yang menutupi wajah cantik Carl.
Austin terus saja memperhatikan wajah Carl tanpa jengah dan ia menunduk untuk mengecup wajah Carl, berawal dari kening, hidung, kedua pipinya dan kemudian mengecup sekilas bibir Carl. Tapi hal tersebut rupanya cukup mengusik tidur Carl hingga ia mengerjapkan kedua matanya menyapu sekeliling.
"As, kita sudah ada di apartemen? Mengapa kau tidak membangunkanku?" Carl mengambil posisi duduk dan mengamati sekitar.
"Aku tidak tega membangunkanmu, jadi aku menggendongmu."
"Apa, kau meggendongku? Kau tahu aku berat, lagi pula aku tahu kau juga lelah. Harusnya kau membangunkanku, aku tidak mau merepotkanmu."
Carl memprotes tindakan Austin yang menurutnya berlebihan. Tidak seharusnya Austin menggendongnya dari bawah hingga ke apartemen yang setahu Carl letaknya berada di lantai paling atas entah lantai ke berapa.
Padahal ia sendiri jelas tahu jika Austin pasti lelah, mengingat sebelum mereka pergi ke New York, Austin harus lembur selama beberapa hari untuk menyelesaikan pekerjaannya di Australia. Bahkan terdapat lingkaran hitam di antara kedua matanya karena ia kurang tidur. Pria itu menurutnya terlalu baik untuknya, selama bertahun-tahun ia selalu berusaha membuatnya merasa bahagia dan melupakan kenangan buruk itu. Dialah orang yang membuatnya mau kembali membuka hati meskipun sampai saat ini ia masih belum benar-benar membuka hati sepenuhnya pada Austin.
"Lebih baik kau beristirahat sekarang, aku tidak ingin kau sakit."
Carl beranjak dari tempat tidurnya untuk pergi ke dapur. Tetapi langkahnya tertahan oleh lengan Austin yang menariknya sehingga Carl jatuh terduduk di pangkuan Austin dan Carl dapat merasakan hangatnya dekapan Austin yang tengah memeluknya erat.
"Aku mencintaimu," bisik lirih Austin di telinga Carl yang ditanggapi Carl dengan diam. Selalu seperti ini, membuat Austin hanya mampu tersenyum kecut.
Austin melonggarkan pelukannya dan menarik dagu Carl agar menghadap kedua matanya. Secara perlahan Austin mulai mendekatkan wajahnya hingga tidak ada jarak di antara mereka. Bibir Austin menempel pada bibir Carl.
Merasa tak ada respon, Austin mulai menekan bibirnya pada bibir Carl. Menghisapnya lembut penuh cinta, membuat Carl merasa bahwa dia adalah wanita yang sangat beruntung karena merasa dihargai dan dicintai oleh lelaki sebaik Austin. Tapi sekali lagi ia hanya bisa diam. Tak membalas atau pun menolak setiap perlakuan manis Austin padanya. Bibirnya seakan kelu bahkan untuk bergerak setiap Austin menciumnya, seperti saat ini.
Austin melepaskan bibirnya dari bibir Carl yang tadi diciumnya. Tak ada balasan. Yah, selalu seperti itu. Tapi itu bukan masalah bagi Austin, selama Carl selalu ada di sampingnya baginya itu sudah cukup.
Naif memang, tapi ia tidak bisa memaksakan keinginannya. Austin akan melakukan apa pun untuk membuat Carl nyaman berada di sampingnya, meski terkadang hal itu membuatnya terluka. Yang terpenting adalah kebahagiaan Carl, prioritas utamanya.
"Aku akan memasak untuk makan malam." Carl segera beranjak dari tempat tidur menuju dapur untuk menghindari Austin.
Carl merasa kecewa, bukan kecewa karena perlakuan Austin padanya. Akan tetapi kecewa pada dirinya sendiri karena ia tak mampu membalas perasaan Austin yang begitu tulus padanya.
Ia merasa marah karena masih saja menyimpan cintanya pada lelaki yang sudah jelas bukan untuknya, lelaki yang menyakitinya, mematahkan hatinya. Demi Tuhan! Bahkan ia telah bertunangan, tapi mengapa ia belum juga bisa membalas perasaan Austin.
***
Admund POV
Sudah 4 tahun, entah apa yang dilakukannya. Begitu banyak kata maaf yang ingin kusampaikan padanya, tapi aku tak yakin ia akan mau memaafkanku. Lagi pula mungkin ia sudah membenciku. Ralat, sagat membenciku.
Adik. Pemikiran bodoh yang dulu selalu kutanamkan pada otakku saat ia selalu ada di sampingku. Menghiraukan getaran aneh yang selalu kurasakan saat ia di sisiku.
Munafik, itu kata yang pantas untukku. Mengesampingkan perasaan nyata yang kurasakan padanya dan lebih meyakinkan bualan logika untuk kupercaya.
Lamunanku kembali terusik saat kurasakan celanaku ditarik-tarik oleh seseorang. Dan aku segera memasang senyum terbaikku dan mengulurkan tanganku padanya untuk kugendong.
"Papa," yah.. buah hatiku yang sagat kusayangi. Bennedict Malinowsky.
"Ya sayang, kau mau apa?"
"Aku mau mainan lobot yang balu Papa," ucap Benedict, atau biasa dipanggil Ben dengan suara cedelnya dan jangan lupakan wajah imutnya yang sangat menggemaskan membuatku gemas menciumi setiap inchi wajahnya.
"Geli Papa," Ben terkikik geli mendapati papanya menciumi waahnya tanpa ampun.
"Baiklah sayang, ayo kita membeli mainanmu."
"Yeyyy..." Ben bersorak gembira dan langsung menghadiahi papanya ciuman di kedua pipinya.
***
Setibanya di mall, Admund segera saja memarkirkan mobilnya di basement dan turun dari mobil tak lupa dengan Ben dalam gendongannya berjalan memasuki mall. Di dalam mereka segera saja meluncur ke tempat dimana menjual mainan anak-anak.
Dalam perjalanan mereka menuju tempat menjual mainan anak-anak tak jarang banyak dari kaum hawa yang menatap kagum pada Admund. Meski pun terlihat jelas bahwa Admund tengah menggendong sang buah hati, tetap saja tak mengurungkan mata kaum hawa untuk tak melirik Admund dengan tatapan memuja.
"Sayang kamu pilih gih mainan yang kamu suka, Papa tinggal beli es krim dulu ya buat kita," ucapan Admund seketika dianggguki Ben dengan semangat dan langsung menuju mainan kesukaannya, robot transformer.
Selesai mengambil mainan kesukaannya Ben segera saja berlari mencari papanya ke stand penjualan es krim. Ketika tengah asik berlari, tak segaja ia menabrak seseorang sehingga mainannya jatuh dan patah.
Tetapi orang yang ditabrak malah tak menghiraukan dan terus berjalan sembari menelepon. Ben yang mendapati mainan barunya rusak langsung saja menangis sesenggukan membuat seorang wanita muda datang menghampirinya dan berusaha menenangkannya.
"Hey boy, kenapa menangis? Anak lelaki kan nggak boleh nangis," ucap wanita tersebut seraya menyeka air mata yang menetes di kedua pipi gembil Ben.
"Nama kamu siapa sayang?"
"Nama saya Ben tante," ujar Ben dengan masih sesenggukan sisa menangis tadi.
"Ya udah, orang tua Ben dimana sekarang?" dan Ben pun langsung menunjuk arah belakang wanita itu.
"Ben kamu kenapa? Apa yang kamu lakukan pada anak saya." Admund berkata dengan nada sedikit membentak ketika mendapati Ben tengah menangis sesenggukan bersama seorang wanita. Dan ketika ia menoleh pada wanita tersebut sontak kedua mata Admund membelalak kaget.
'Wanita ini...'
"Carl..."
"Admund."
Tbc---