11. Kecewa

1510 Words
Carl pulang dengan wajah yang sedikit ceria, karena sejenak ia bisa melupakan sedikit masalahnya. Gadis itu sangat berterima kasih pada Admund yang cukup bisa membuatnya sedikit terhibur dengan mempertemukannya dengan Benedict yang memiliki tingkah begitu lucu dan menggemaskan. Sejenak ia memang merasa ragu dan bimbang untuk kembali bertegur sapa dengan pria itu seolah tidak pernah ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka. Tapi Carl berusaha melupakan masa lalu dan mencoba untuk memperbaiki hubungan mereka layaknya kakak adik seperti dahulu. Meski Carl menyadari masih ada sedikit rasa yang tersimpan di sudut hatinya terdalam, dan juga perkataan Admund yang mengatakan bahwa ia akan merebutnya dari Austin cukup mengganggu pikiran Carl saat berada di dekat Admund. Berulang kali ia menekankan pada dirinya sendiri bahwa Admund tidak akan berani mengambil tindakan nekat seperti hal itu yang dimana itu semua hanya akan membuatnya kembali membenci pria itu. Apa lagi dia saat ini bukan pria bebas seperti sebelumnya, dia memiliki seorang anak, jadi mana mungkin dia berani melakukannya bukan? Sibuk berkutat dengan pemikirannya sendiri, hingga tak terasa bahwa langkah kakinya telah sampai di depan pintu apartemen yang ditinggalinya dengan Austin. Ketika membuka pintu apartemennya dengan pelan dan juga seulas senyum yang terkembang di bibir Carl, lalu gadis itu dibuat kaget dengan berdirinya sesosok orang yang sangat ingin dihindarinya untuk saat ini. Austin berdiri tak jauh dari pintu masuk dengan wajah datar dan juga kedua tangan yang disedekapkan di depan d**a. Ekspresinya begitu datar menatap kedua mata Carl secara intens seolah tatapan tersebut ingin mengulitinya. Caral yang mendapati tatapan tajam menusuk yang dilayangkan oleh Austin hanya memalingkan wajahnya dan hendak berlalu ke kamarnya tanpa menghiraukan pria itu yang jelas-jelas seolah tengah menunggunya sedari tadi. "Menikmati reuni bersama seseorang di masa lalu? Atau justru kau ingin mengulang masa lalu hm?" langkah kaki Carl seketika terhenti saat mendengar ucapan penuh sarkasme yang diucapkan oleh Austin padanya. "Apa maksudmu As? Aku tidak mengerti..." menolehkan kepala pada sosok pria di hadapannya, Carl menatap Austin dengan pandangan menuntut penjelasan dari ucapan pria itu. "Aku tau semuanya, dan aku baru sadar... kalau aku hanya dijadikan sebagai pelarian selama ini." Austin memalingkan wajahnya dengan ekspresi kecewa dan juga senyum sinis yang tersungging di ujung bibirnya. "Apa maksudmu aku hanya menjadikanmu sebagai pelarian? Aku tidak pernah menjadikanmu sebagai pelarianku As, mengertilah aku..." tak terima dengan ucapan pria itu yang seolah menganggapnya hanya memanfaatkan pria itu demi ambisinya, Carl mencoba untuk menjelaskan. Namun ucapannya terpotong oleh pertanyaan pria itu yang membuat lidahnya kelu selama beberapa saat. "Jika kamu memang tidak menjadikanku sebagai pelarian, sekarang aku bertanya. Apa kau mencintaiku?" Austin sedikit menaikkan nada suaranya dan menatap Carl dengan serius. "A_aku..." lidahnya mendadak terasa kelu, ia tak mungkin bisa membohongi pria itu dan perasaannya sendiri. "Aku apa? Kau tidak bisa menjawabnya bukan? Semuanya sudah jelas." Austin langsung beranjak keluar dari apartemennya dengan membanting pintu apartemen yang memang belum sempat ditutup kembali oleh Carl. "Ass... Austin tunggu dulu penjelasanku!" Carl hanya bisa diam di depan pintu yang sudah ditutup dengan keras oleh Austin, ia tidak menyangka bahwa dengan kembalinya ia ke New York, akan meretakkan hubungannya dengan Austin yang telah dengan susah payah ia bangun. Kini posisi gadis itu serba salah. Di sisi lain, ia tengah mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Admund sebagai kakak beradik dan mencoba berdamai dengan masa lalunya agar ia tidak lagi dibayang-bayangi oleh masa lalu yang membuatnya sulit untuk memulai kehidupannya yang baru dengan tenang. Di lain sisi, sifat Austin yang menjadi begitu sensitif dan pencemburu akhir-akhir ini semakin membuat gadis itu serba salah dalam hubungan ini. Bahkan Carl belum sempat bertanya mengenai siapa wanita yang makan siang dengan Austin saat di restaurant tadi siang, tapi kini Austin malah kembali marah padanya tanpa mau mendengarkan penjelasannya. Tanpa terasa setitik air mata kembali menetes di pipi Carl saat ini. Awalnya hanya satu tetes, namun lama-kelamaan tetes demi tetes air mata yang lain ikut serta keluar dari pelupuk matanya, menandakan kerapuhan batinnya sebagai seorang wanita. Mengapa semuanya terasa semakin runyam saat ini, kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka seolah terus bertambah setiap harinya tanpa adanya penyelesaian dan jalan keluar. Itu semua dikarenakan keegoisan mereka yang lebih memilih bungkam dan mementingkan emosi ketika ada waktu untuk bertegur sapa. Carl memutuskan untuk pergi ke kamarnya dan tak lupa mengunci pintunya dari dalam, sebelum kembali meluapkan isak tangisnya yang coba ia pendam selama seharian ini. Carl langsung membenamkan wajahnya pada bantal untuk meredam suara isakannya yang kian menjadi. Lalu perlahan ia menarik laci di nakas dan mengeluarkan sebuah buku diary berwarna merah dengan tulisan 'My Diary' pada atas sampul bukunya. Lalu Carl mengambil bulpoin bulu dengan warna senada dan langsung mengungkapkan seluruh isi hati dan perasaannya pada buku diary yang memang menampung segala keluh kesannya disaat yang dibutuhkan seperti saat ini. Semua yang tak bisa ia ungkapkan, isi hatinya, semua tertuang dalam bait-bait kalimat berisi curahan hati dalam buku diary  merah yang menjadi saksi kisah hidupnya yang tak pernah indah. Selesai menulis semua isi hati dan perasaannya pada buku diary, Carl menaruh buku diary itu  di atas d**a dan memeluknya dengan erat. Sebelum kemudian kantuk terasa mulai memberatkan kedua kelopak mata Carl yang membengkak akibat terlalu lelah menangis, hingga alam bawah sadar perlahan mulai mengambil alih kesadarannya menuju alam mimpi. Masih dengan buku diary merah dalam pelukannya, kedua kelopak mata bengkaknya terpejam. Rambut cokelatnya yang panjang tergerai menutupi sebelah wajah cantiknya. Meski begitu, wajah gadis itu tetap terlihat cantik meski sisa-sisa air mata masih membekas di antara kedua pipinya, hidungnya yang memerah juga menjadi saksi bisu atas kesedihannya. *** Mentari telah tenggelam dan awan hitam kini telah bergantian datang menyelimuti bumi. Bulan tak lagi menampakkan sinarnya dan bintang pun terasa enggan menunjukkan kemilaunya. Hembusan angin malam tampak cukup kencang hingga menyibakkan gorden jendela yang terbuka. Carl yang masih tertidur sedikit mengeliatkan badannya yang saat ini tertidur dalam posisi telungkup memeluk guling. Matanya terasa berat untuk terbuka, atau mungkin itu efek karena ia terlalu lama menangis hingga membuat kedua matanya membengkak dan terasa berat. Gadis itu mengucek matanya dengan sebelah tangan kiri saat udara dingin terasa menusuk kulitnya. Dengan paksa Carl mencoba bangun dan sekilas menengok ke arah jam dinding, ia mendapati bahwa waktu telah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Meski terasa enggan, ia dengan sangat terpaksa mendudukkan badannya sambil mengambil sebuah sweater karena udara dini hari seperti saat ini terasa lebih dingin dari biasanya. Gadis itu juga menyempatkan diri untuk berjalan ke arah jendela guna menutup gorden yang terbuka, tak lupa juga untuk mengunci jendela tersebut agar angin malam tak masuk dan semakin membuatnya kedinginan. Merasa haus, Carl segera melangkahkan kakinya ke arah dapur mini yang berada di apartemennya dan menuju ke arah kulkas  untuk mengambil sebotol minuman  air putih di sana, lalu mencari gelas untuk menuangkan minuman tersebut ke dalamnya. Setelahnya ia segera menegak habis satu gelas air putih tersebut untuk melegakan tenggorokannya yang terasa kering. Tak lama kemudian, suara dering telepon gadis itu berbunyi menggema memecah kesunyian malam. Carl berjalan untuk mengangkat telepon tersebut tanpa menyalakan lampu dapur yang saat ini hanya remang-remang. "Halo ini siapa?" ‘Halo? Apakah kau tau alamat apartemen Austin? Saat ini dia sedang berada di club malam butterfly, keadaannya sangat tidak memungkinkan untuknya pulang dalam kondisi mabuk berat seperti saat ini.’ Carl terdiam cukup lama untuk mencerna apa yang tengah terjadi pada saat ini. Pikirannya buntu tak tau harus berkata apa, bibirnya terasa kelu untuk mengucapkan sepatah kata pun. Karena saat mendengar kata mabuk, pikirannya secara otomatis langsung teringat akan kejadian semalam dimana pria itu hampir melecehkannya karena dia mabuk berat dan paginya pria itu bersikap seolah tak mengingat apapun setelahnya. ‘Halo? Apa kau masih mendengar ahh..., hentikan Austin.’ Mendengar apa yang barusan terjadi via telepon, mendadak tangan Carl terasa lemas tak bertenaga hingga ia tanpa sadar menjatuhkan ganggang telepon tersebut hingga jatuh menggantung ke bawah. Tak dihiraukannya suara wanita yang meneleponnya tadi terus terusan berkata halo karena tak mendapat balasan apa pun darinya, yang ada di benaknya kini adalah apa yang tengah dilakukan Austin di club malam bersama dengan seorang wanita? Ditambah sekilas tadi ia mendengar bahwa wanita tadi sempat menyebut nama Austin sambil mendesah, membuat pikiran gadis itu semakin kacau dan dipenuhi pikiran-pikiran negatif tentang Austin. Carl cukup menerima fakta bahwa Austin mungkin masih marah padanya perihal kepergiannya dengan Admund tadi siang. Tapi kini amarah sudah tak dapat dibendungnya lagi, sudah dua kali pria itu mengecewakannya, dimana dia melampiaskan amarahnya dengan pergi ke club malam dan mabuk-mabukan. Jujur saja  Carl sangat membenci pria pemabuk dan juga perokok. Karena dalam hidupnya dia sudah cukup trauma dengan seorang pria pemabuk dia tidak ingin mengulang hal itu lagi dalam hidupnya. Carl sebisa mungkin menghapus air matanya yang semakin deras menangis. Ia hanya akan menunggu hingga Austin kembali dan meminta penjelasan dari pria itu untuk kelanjutan hubungan mereka. Bukankah pria itu telah berjanji akan menerima apapun masa lalunya. Tapi mengapa sekarang ia justru melakukan hal yang jelas-jelas gadis itu tekah memberitahunya bahwa ia membenci perbuatan pria itu. Ia tidak ingin jika Austin akan berubah menjadi pria berengsek seperti itu, ia tidak rela jika harus menjadi penyebab pria itu menjadi sosok yang berkelakuan buruk karena dirinya, dan pada akhirnya hanya akan menyakiti mereka berdua nantinya. 'Semua terserah padamu, jika kamu tidak bisa merubah sifat dan perilakumu. Jangan salahkan aku kalau aku akan pergi meninggalkanmu.' Tangis Carl kembali menggema di dapur. Tak ia pedulikan lagi dinginnya lantai apartemen tempatnya duduk terisak saat ini. Ia hanya bisa menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut untuk meredam suara isakannya yang entah akan berhenti sampai kapan. To be continued...  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD