10. Mengabaikan

1558 Words
Setelah  insiden malam itu, kini Austin dan Carl saling diam mendiamkan. Tidak ada salah satu di antara mereka yang berinisiatif untuk mengajak berbicara atau sekedar menyapa terlebih dahulu. Carl dengan segala kekecewaannya pada Austin, sementara Austin dengan segala ketidak tahuannya akan kejadian malam itu. Saat terbangun dari tidurnya, pria itu hanya mengingat bahwa terakhir kali ia berada di club malam dan dengan sengaja memesan minuman beralkohol untuk membuatnya mabuk. Lalu setelahnya ia pulang kembali ke apartemen dalam keadaan mabuk dan tidak mengingat apapun lagi. Kepalanya terasa sangat pusing, hingga membuat pria itu meminum aspirin yang entah sudah berada di atas nakas samping tempat tidurnya. Dapat ia asumsikan bahwa yang menyiapkan aspirin tersebut adalah Carl. Namun ia masih memilih untuk diam, kekecewaannya pada gadis itu belum sepenuhnya hilang, ia masih butuh waktu untuk semuanya. Carl yang mendapati sikap Austin seakan tidak memiliki rasa bersalah sama sekali, tentu saja merasakan sesak di dadanya. Austin berubah. Hanya itu yang tertanam di benak gadis itu saat ini, ia tidak mengetahui bahwa pria itu mungkin saja tidak mengingat sama sekali kejadian semalam. Namun ego dan rasa sakit hati telah menutup matanya, ia enggan membahas hal semalam karena tidak ingin kembali terluka. Sebisa mungkin ia menahan matanya yang kembali berkaca-kaca. Mengapa disaat ia mulai membuka hati dan perasaannya, tapi malah rasa sakit dan kekecewaan yang didapatinya? Sesulit inikah hanya untuk merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Mereka berdua kini sarapan dengan diam, tak ada interaksi sama sekali di antara keduanya. Ego saling bercokol di kepala masing-masing, tak ada satupun yang mencoba mengalah dan mencari jalan tengah untuk permasalahan mereka. Padahal kunci utama dalam sebuah hubungan adalah saling adanya kepercayaan dan komunikasi yang terjalin dengan baik, namun saat ini mereka melupakan hal itu, dan lebih mementingkan egonya masing-masing. Membuat kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka tidak mendapatkan titik pencerahan atau bahkan akan semakin rumit ke depannya. "Aku berangkat ke kantor." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Austin langsung keluar dari apartemennya. Tidak ada lagi kecupan hangat di kening yang biasanya selalu dilayangkannya pada Carl sebelum berangkat ke kantor. Hanya ada suasana yang dingin dan terasa sangat tidak nyaman sepanjang mereka makan tadi. Makanan yang dimakan oleh pria itu juga masih tersisa banyak. Pekatnya atmosfer tak nyaman yang menyelimuti membuat nafsu makan mereka seolah hilang entah kemana, untuk mengunyah dan menelan makanan yang telah masuk ke mulut saja rasanya seperti tercekat di tenggorokan. Carl sendiri memutuskan untuk diam dan tidak berusaha mengungkit kembali tentang kejadian malam itu. Ia tidak ingin memperkeruh suasana dengan mengatakan yang sebenarnya pada Austin. Hatinya masih belum siap untuk mengungkitnya kembali, mungkin ia akan mengatakannya, tapi tidak untuk sekarang. Ia masih butuh waktu untuk sendiri dan menenangkan pikirannya yang kembali kacau. ** Ketika jam telah menunjukkan waktu makan siang Carl memutuskan untuk makan siang di luar, karena ia cukup malas jika harus memasak dan memakannya sendiri di rumah. Apa lagi nafsu makannya benar-benar buruk seharian ini, ia hanya menyantap 3 suap nasi pagi tadi dan tak memakan apapun lagi setelahnya. Gadis itu menyetop taksi yang membawanya pada sebuah restoran dengan nuansa interoir klasik yang menaunginya. Carl sengaja memilih duduk di pojok ruangan dekat jendela yang berada tak jauh dari pintu masuk restoran, sehingga Carl dapat melihat lalu lalang orang yang keluar masuk restoran maupun yang tengah berlalu lalang di jalanan. Ia memesan steak dan juga orange juice sebagai menu makan siangnya. Ketika pelayan datang membawakan makan siangnya, ia hanya tersenyum dan mengangguk pada pelayan tersebut sebelum memakan makanannya. Ketika hendak menyuap makan siangnya, tiba-tiba tatapan mata Carl tertuju pada sepasang pria dan wanita yang tampak asik mengobrol makan siang di cafe seberang jalan dari restoran tempat gadis itu makan siang kini. Pasangan tersebut adalah Austin dengan seorang wanita dengan balutan pakaian kerja yang melekat pas pada tubuhnya, membuatnya tampak terlihat cantik dan elegan. Rambutnya yang panjang tergerai dicat warna merah maroon, membuat tampilannya terlihat segar dan fashionable. Pakaian yang dikenakannya juga benar-benar mengikuti gaya lifestyle yang sedang trend saat ini. Carl mencoba mengenyahkan segala pikiran negatif yang muncul di kepalanya, dan meyakini bahwa wanita itu pasti hanyalah rekan bisnis Austin. Terbukti dari pakaian mereka berdua yang masih mengenakan setelan kerja lengkap. Tapi mengapa Austin tampak tersenyum tanpa beban di sana. Mereka tampak berbincang riang seolah telah mengenal satu sama lain begitu lama, padahal baru beberapa hari mereka berdua berada di negara ini. Sementara sikapnya tadi pagi pada Carl begitu dingin tidak seperti biasanya. Apa ia egois jika merasa sedikit iri dengan keakraban Austin dengan wanita itu? Dia tidak suka ketika melihat Austin dekat dengan wanita lain apa lagi saling berpegangan tangan. Ia hanya ingin Austin tertawa ketika bersamanya, tidak ketika dia sedang bersama wanita lain. Carl akui bahwa kejadian kemarin saat ia bersama Admund memang tidak bisa dibenarkan, atau mungkinkah ini yang dirasakan Austin ketika melihat Admund memeluknya kemarin? Ada perasaan sakit dan tidak rela ketika melihat seseorang yang sudah kita klaim bahwa ia adalah milik kita ternyata dekat dan melakukan kontak fisik dengan orang selain kita. Sebisa mungkin kualihkan pandanganku dari pasangan tersebut, tapi sia-sia. Ekor mataku selalu melirik ke arah mereka, dan seketika hatiku merasakan sakit ketika melihat Austin mengusap sudut bibir wanita tersebut dengan lembut. Pisau yang kugenggam untuk memotong steak saat ini kupererat ketika melihat adegan tersebut. Sesak. Tak sanggup lagi, kutengadahkan pandanganku ke atas untuk menghalau air mata yang kurasa sebentar lagi akan segera menetes. 'Kumohon jangan menangis! Kumohon jangan menangis!' tapi semua itu gagal ketika sebulir bening cairan menetes di antara kedua mataku. Secepat mungkin kuusap kasar air mataku agar tidak ada yang tau kalau aku menangis. Bunyi denting pisau dan garpu yang terjatuh di atas piring tampak sedikit menggema di restoran itu. Seleranya untuk makan seolah hilang sudah. Yang ada hanya rasa sesak yang bersarang di d**a, seolah ada batu yang menghimpit dadanya. "Hentikan tangisanmu b******k!" kuumpat diriku sendiri ketika tetesan air mataku terasa enggan untuk berhenti. Kualihkan pandanganku ke arah mereka lagi, dan aku mendapati mereka telah keluar dari restoran dengan tangan saling bertautan dan juga senyum merekah terukir di bibir keduanya. Kutepuk-tepuk dadaku yang terasa sesak, mengapa rasa sesak ini begitu tidak nyaman. 'b******k! Lalu apa maksud perbuatannya semalam. Sebisa mungkin aku mencoba melupakan apa yang dilakukannya semalam padaku, tapi nyatanya sekarang apa?' Hatiku sakit, dadaku terasa sesak, kututupi wajahku dengan kedua telapak tanganku. Siapa pun yang melihatku saat ini pasti akan berpikir jika aku terlihat begitu menyedihkan, tapi apa daya saat air mataku terasa enggan untuk berhenti mengalir. Tiba-tiba ada sebuah sapu tangan yang diulurkan tepat di depan wajahku. Dengan ragu kuambil sapu tangan tersebut dan segera mengelap wajahku yang sembab. Lalu secara perlahan kuangkat kepalaku untuk mendapati siapa yang memberiku sapu tangan tersebut. Mataku sedikit membeliak kaget ketika mendapati bahwa Admundlah yang mengulurkan sapu tangannya untukku. Tak lama kemudian dia duduk di depanku dan seorang pelayan yang akhirnya datang membawa pesanannya. Inginku langsung kabur dan beranjak pergi dari restoran ini, tapi itu tak mungkin kulakukan karena makananku bahkan belum sempat kusentuh. Aku bingung harus berkata apa pada dia, karena pada dasarnya saat ini aku hanya ingin sendiri, aku tidak ingin bersama dengan siapapun. "Menangislah... aku tau kau membutuhkannya saat ini." Ujar Admund yang menatapku dengan tatapan yang entah Carl terlalu bingung untuk mendeskripsikan arti dari tatapan tersebut. "Untuk apa kau ke sini." Dengan nada defensif Carl bertanya maksud dan tujuan pria itu kembali datang menemuinya, padahal sudah berulang kali gadis itu memperingati agar pria itu tidak lagi datang dan menampakkan batang hidungnya di hadapannya lagi. "Ini restoran umum kau tau? Tentu saja aku ingin makan siang." Dengan santai Admund menjawab pertanyaan Carl yang cenderung menaruh curiga berlebih padanya "Kalau begitu makanlah, aku akan pergi." setelah mengucapkan hal itu, langsung kulangkahkan kakiku hendak beranjak keluar. Tapi dengan sigap dia menarik tanganku dan membawaku keluar dari restoran tadi. "Lepaskan aku, apa yang akan kau lakukan?" Gadis itu setengah membentak saat Admund dengan seenaknya menyeret tangannya untuk mengikuti langkah pria itu. "Diamlah, aku tidak akan melakukan hal yang tidak-tidak padamu." Setelahnya aku hanya diam dan mengikuti kemana pun dia membawaku. Karena lelah untuk memberontak, dengan pasrah kuikuti langkah kaki besarnya yang membawa entah ke mana. Hingga pada akhirnya dia membawaku pada sebuah taman bermain anak-anak. 'Apa maksudnya membawaku ke sini?' Setelah beberapa saat bingung dengan pemikiranku sendiri, tiba-tiba sebuah suara tampak memanggilku dari kejauhan. Kutelahkan kepalaku dan aku langsung mendapati seorang anak kecil langsung memeluk kedua kakiku erat. "Mama... aku kangen sama Mama." "Ben, Mama juga kangen sama kamu." kutundukkan badanku agar bertumpu pada lutut dan membalas pelukan Bennedict dengan sama eratnya. Entah mengapa dengan memeluk Bennedict dapat membuat perasaanku sedikit lebih baik dari sebelumnya. Hingga tanpa kusadari setetes bening cairan menetes dari pelupuk mataku. "Mama kenapa? Kok nangis?" Ben menatapku dengan tatapan matanya yang terlihat begitu menggemaskan menurutku. Jari mungilnya yang kecil dengan lembut mengusap air mataku yang tadi menetes dan membasahi kedua pipiku. "Ben nakal ya, Makanya Mama nangis? Ben janji nggak akan nakal lagi kalau begitu." Ucapan Ben yang terlihat begitu lugu dan lucu, hingga mau tak mau membuat Carl ikut tersenyum dan kembali memeluknya dengan pelukan erat. "Ben nggak nakal kok, Mama tadi cuma kelilipan debu makanya nangis." "Beneran?" Kedua mata bulatnya tampak berkedip dua kali seolah memastikan ucapan Carl benar atau tidak. "Iya." "Horeee, Mama kalo gitu ayo kita main." "Ehemm mentang-mentang punya Mama baru, Papanya dilupakan." Admund memasang wajah sedih yang dibuat-buat, dan ikut mendudukkan badannya. "Maaf ayah." Ben langsung memeluk Papanya dan mencium pipi Admund lalu Carl secara bergantian. Sekilas mereka tampak seperti keluarga yang bahagia. Dan tanpa mereka sadari, sesosok lelaki tampak melihat mereka bertiga sedang tersenyum senang sebelum menutup kaca jendela mobilnya dan melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. "Admund terima kasih." Admund hanya tersenyum tipis sebagai jawaban dari ucapan Carl. To be continued...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD