Chapter 2

1771 Words
Pipi Teresa berkerut ia menunduk menyembunyikan wajah yang bersemu. Ini baru pertama kalinya Teresa mendengar kata-kata Elang yang begitu manis dan lembut. “Gimana? Mau kan maafkan aku?” tanya Elang sekali lagi setelah beberapa saat suasana kamar hening. “Hem … maaf ya?” Teresa memutar bola mata sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan jari. “Nanti deh aku pikirin. Sekarang aku mau siap-siap dulu, mau cepat-cepat ke rumah Mama dan adukan semua perbuatanmu, Mas.” Tere beranjak berjalan untuk membuka lemari. Sesekali melirik disertai sebuah senyuman jahil. “Kamu gila, Re? Gimana caranya hal kayak gitu, mau kamu adukan sama Mama. Ini privasi kita, Re. Ingat, kamu harus menjaga aib suamimu.” Elang tidak menyangka selain polos Tere juga begitu naif. Mungkin ini sudah risikonya menikah dengan bocah yang umurnya berpaut jauh darinya. Teresa melirik malas. "Iya ... mulai deh ceramahnya." Padahal dia tidak benar-benar serius dengan apa yang diucapkan. “Kita lihat saja nanti, Mas. Apa yang harus kamu lakukan buat nebus kesalahanmu.” Dalam perjalanan ke rumah mama Dera mobil Elang berhenti di depan sebuah supermarket. “Tunggu sebentar ya? Mama nitip nyuruh beliin kue kesukaannya tadi.” Setelah Tere mengangguk Elang bergegas keluar dari mobil berangsur menghilang ketika masuk ke dalam pusat perbelanjaan tersebut. Tere menatap dari dalam mobil, siapa sangka lelaki yang selama ini dipuja-puja oleh kakaknya saat bercerita di dalam kamar dengannya kini menjadi suaminya. “Elang itu orangnya setia, sifatnya yang dingin dan cuek gak ngasih peluang buat cewek-cewek dekatin dia. Terus dia itu … kalau udah jatuh cinta sama satu orang bakalan cinta banget, dan ga akan berpaling begitu aja. Seperti dia cinta aku sekarang.” Tiba-tiba Tere mengerjap saat mengingat kata-kata Kayla--kakaknya, beberapa waktu lalu. Saat itu juga, Terasa mengerjap memikirkan sesuatu. Apa mungkin sampai saat ini Elang juga masih berpikir dengan hal yang sama. Tentu, kalau tidak, Elang tidak mungkin menyebut nama Kayla semalam. Entahlah apa yang membawanya dalam takdir harus menikah dengan calon kakak iparnya sendiri. Kekhawatirannya hari itu membawa kepanikan. Ketakutan memikirkan Kayla apa dia sedang diculik? Atau dia dalam masalah besar? Awalnya Teresa juga merasa khawatir akan hal itu. Sehingga sebuah pesan masuk dan kini mengubah delapan puluh lima derajat kehidupannya. “Dek, maaf ya kakak gak bisa datang ke pernikahan itu.” Seketika Teresa panik disaat tinggal menghitung jam acara akan dimulai. Pun seluruh keluarga, semua mencari keberadaan Kayla justru kakak Teresa itu hanya mengirimkan sebuah pesan melalui aplikasi w******p dan meminta supaya Teresa tidak memberi tahu siapa-siapa kalau dia menghubungi. Teresa yang sudah siap memakai bridesmaid berwarna light pink dengan rambut sepundaknya sudah tertata rapi mencari tempat aman untuk menjawab telepon. Bridesmaid adalah kata dalam Bahasa Inggris yang dalam Bahasa Indonesia berarti pengiring pengantin (wanita). “Kakak di mana? Kenapa nggak pulang? Kakak ada masalah sama Mas Elang? Itu baju-baju kakak kok gak ada di lemari?” Teresa menyergap Kayla dengan seribu pertanyaan, sebab ia tahu suasana sedang genting tidak perlu bertele-tele. “Dek, ada masalah yang harus kakak selesaikan, dan kakak nggak tau sampai kapan kembali. Dek-“ “Kakak di mana sekarang? Biar Tere bantuin nyelesain masalahnya.” “Dengerin kakak dulu, Dek. Jangan berisik, nanti Mami sama Papi denger gimana?” Teresa diam, sambil melihat sekeliling waspada takut jika ada orang mendengarkan. “Katakan apa, Kak?” “Dek, aku minta kamu gantiin kakak jadi pengantin hari ini.” “Hah?!” Mata Teresa seketika membulat sempurna saat mendengar kalimat keramat itu. “Aku mohon, Dek. Kamu satu-satunya orang yang kakak percaya, aku takut kalau gada yang gantiin kakak keluarga Elang dan keluarga kita bakalan pecah. Kamu tau sendiri kan, Dek? Mereka itu sudah sahabatan lama?” Teresa tahu itu, dan bagaimana mungkin harus dirinya yang menjadi orang yang ditunjuk Kayla. “Aku percaya kamu gak akan jatuh cinta sama Elang, dan juga sebaliknya, Tere. Aku mohon turuti kemauan kakak, jadi istri Elang sampai kakak kembali menyelesaikan masalah ini. Kamu sayang, kan sama kakak?” “I-iya.” Tapi tidak seperti ini caranya. “Kalau kamu sayang, turuti permintaan ku. Kakak juga sayang sama kamu, Dek.” Seperti itulah setiap kali Kayla meminta sesuatu dari Tere. Dengan kata-kata lembut selembut sutra Tere akan memberikan apa saja yang dia mau, barang-barang kesayangan hadiah dari Papinya bahkan tak jarang Tere juga menuruti permintaan Kayla menunduk mengelap sepatu heels yang dikenakan Kayla di tempat umum. Semua itu tidak masalah bagi Teresa asal membuat senyum Kayla dan Maminya mengembang. Akhirnya setelah berdiskusi antara keluarga pernikahan itu terjadi begitu lancar semua mengikuti ide Tere untuk menggantikan pengantin wanita. “Jangan salahkan aku jika perasaanku yang sudah lama terpendam karena terhalang hubungan kita, kini justru kamu beri peluang untuk aku berpaling perasaan padanya.” Itulah gumaman Elang yang Tere dengar saat setelah melaksanakan ijab qobul sambil menatap layar ponselnya. Ketika Teresa melirik ada foto Kayla di sana. Namun ia tidak mengerti sama sekali apa maksud dari kata-kata itu. Mama Dera begitu berterima kasih pada Teresa karena sudah menyelamatkan rasa malu keluarganya. Dan kini wanita itu sangat menyayangi dirinya melebihi Elang anaknya sendiri. Hingga setelah pernikahan Teresa membuat sebuah kesempatan. Dia tidak ingin ada hubungan di atas ranjang maka dari itu memutuskan untuk tidur terpisah. Namun semua rusak begitu saja setelah kejadian semalam. Kini ia harus berpikir keras memikirkan nasibnya sendiri bagaimana kalau Kayla kembali. Status janda akan disandang bahkan dia sudah tidak memiliki lagi mahkota selama ini menjadi kebanggaannya. “Ngelamun apa? Serius banget.” Suara lelaki membuatnya tersentak membuyarkan dari lamunan, mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya Tere menoleh ke arah Elang. Ralat, bukan Elang. Tapi itu adalah Jordan. Wajah Tere berubah menjadi panik saat melihat lelaki tinggi memiliki tubuh sedikit kurus itu. Masih jelas diingatan bagaimana Elang mengajarnya hingga kini bahkan luka lebam masih jelas di wajahnya. “Jo, kamu-“ Tere melepas sabuk pengamannya ingin turun saat mendorong pintu tangan Jordan menghalaunya. “Tidak perlu turun, Re. Aku Cuma mau nyapa kamu doang kok. Kamu nggak papa kan, Re?” Teresa menggeleng. Padahal Elang sudah benar-benar menghancurkannya semalam.. Netra Teresa mulai tidak tenang terus saja menatap pintu pusat perbelanjaan jaga-jaga jika Elang keluar dari sana dia akan menutup pintu dan pura-pura tidur tidak melihat Jordan. “Jo, masih sakit?” tanyanya kali ini matanya berpindah menatap lebam di pipi Jordan. Luka tergores dipinggiran berwarna biru keunguan, melihat itu Tere turut merasa ngilu. “Maafiin mas Elang ya, Jo. Dia memang begitu, aku aja kalau bisa mungkin dimakan.” Memang sudah dimakan sih. “Nggak papa, Re. Santai aja, sebagai seorang cowok perkelahian itu hal wajar, setelah menentukan siapa yang kalah ditempat kejadian, saat ketemu lagi mereka baik-baik aja. Lagian dia marah itu wajar sebagai seorang suami yang cinta sama istrinya.” “Tapi dia nggak cinta sama aku.” Teresa tertawa nyengir menertawakan dirinya sendiri. “Kami lelaki berbeda, Re. Mungkin kalau para wanita lagi berantem setelah adu mulut, masih singgung-singgungan di sosmed. Blokir kontak tapi masih kepo sama story nya. Hahahaha kayak Julidah sama Julita noh.” Teresa tertawa mendengar kata-kata Jordan. Temannya itu memang selalu lucu walaupun sedang sedih. Ehem! Dalam mobil yang melaju sedang, Teresa diam. Melihat mobil berlalu-lalang sepertinya lebih menyenangkan dari pada melihat Elang yang mengesalkan. “Seru banget tadi ngobrolin apa?” “Bukan apa-apa, Cuma hal biasa,” jawab Tere sambil menatap arah samping. “Waah hebat sekali ya, bukan apa-apa tapi buat kamu ketawa kayak tadi.” “Terus salah kalau ketawa? Kamu maunya aku nangis aja gitu?” “Iya aku suka kalau kamu nangis kayak tadi malam manggil-manggil namaku.” Teresa melengos malas disertai pipi yang memerah. Tentu kajadian semalam adalah hal yang memalukan kalau dibahas lagi. Ia berdehem tanpa menoleh berkata, “Iya, terus kamu teriak-teriakin nama Kayla, begitu?” Elang menyunggingkan bibir. “Kalau itu menghibur kenapa nggak?” Tere mengepal erat, ingin rasanya meninju bibir Elang saat ini juga. Kata-katanya tidak bisa percaya baru saja sebelum keluar rumah minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi, tapi justru kini mengulang lagi. Tere melipat kedua tangannya di d**a bibirnya mengerucut, mata indah itu menyorot ke depan tidak ingin berpaling. Elang terkekeh dengan istri kecilnya itu, sifatnya yang kekanakan sangat mudah dibohongi. Ia merasa senang seperti mendapat sebuah mainan baru. “Mas, aku mau tanya sama kamu.” Suara Tere membuat Elang menoleh sejenak. “Apa?” “Sebenarnya perasaan, Mas Elang, gimana sih sama Tere?” Tere tau ini hal yang sensitif untuk dipertanyakan. Terlebih lagi perjanjian dengan Kayla untuk tidak memiliki perasaan satu sama lain. “Penasaran ya?” goda Elang. “Dih, nanya serius juga.” “Perasaanku sama seperti perasaanmu, Re.” Hah? “Udah ah, nggak usah tegang begitu. Kita sudah sampai tuh,” ucap Elang kemudian melepaskan sabuk pengamannya. Diliriknya Tere masih bengong tanpa berkedip. Setelah menyeringai ia mencondongkan tubuh tepat di depan Teresa. Sontak membuat gadis di hadapannya memejamkan mata. “Kamu mau apa, Mas?” tanyanya gugup. Elang menyeringai terkekeh kemudian melepaskan kaitan sabuk pengaman yang membelenggu tubuh Tere. “Memangnya mau ngapain kalau nggak ngelepas ini.” Kemudian Elang menyandarkan tubuhnya lagi. “Hai Tere … menantu kesayangan Mama.” Dera menyambut Tere di depan pintu. Bahkan wanita itu sudah tidak sabar menghampiri Tere menggandeng mengajaknya masuk. “Mama dan Bik Ida sudah masak dari pagi kesukaanmu lho, ayo Tere duduk.” Mama Dera menarik kursi untuk Tere duduk. Tere tersenyum kikuk dia merasa mama Dera terlalu memanjakannya. Matanya jengah ketika melihat makanan di atas meja, ada banyak aneka macam menu rendang, capcay, udang goreng, dan masih banyak lainnya. “Mama apa di sini mau ada acara arisan?” tanya Tere mendongak menatap Mama Dera. “Nggak ada, Re. Mama memang sengaja masak saat tau kamu mau datang ke sini.” “Tapi ini terlalu banyak, Ma. Sayang sekali kalau nggak habis nanti,” tutur Tere. “Makanya habiskan, Tere. Biar Mama seneng.” “Tapi, Ma—” “Mau sampai kapan kalian bicara terus? Aku sudah lapar, Ma.” Elang terlihat iri melihat kedekatan Tere dan Dera. Setelah makan pasti banyak pertanyaan. Apa Elang kasar padamu? Apa Elang memperhatikanmu dengan baik? Apa Elang ini dan itu, seolah Elang adalah seorang penjahat di samping anak kecil. Ck dan benar saja, setelah makan siang selesai mama Dera menanyakan itu semua. “Tere, kamu mau kan malam ini tidur di sini. Mama takut di rumah sendirian, Papa lagi ke luar kota.” “A-ku.” Teresa terbata. Tentu saja dia tidak ingin. Jika tidur di rumah ini akan membuatnya sekamar lagi dengan Elang. Ia masih trauma dengan kejadian semalam. “Tentu saja, Teresa mau, Ma.” Elang bicara selangkah lebih dulu sebelum Tere menjawab. Menaikkan turunkan alisnya lelaki meminta Tere untuk menyetujuinya. Tentu ini adalah kesempatan untuknya. Dasar lelaki buaya! -TBC-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD