Gamang

1041 Words
Detik berganti menit, hari-hari dilalui tak terasa begitu indah. Kian lama Teresa semakin lupa siapa dirinya. Lupa kenyataan bahwa suami yang kini begitu dicintainya adalah seseorang pinjaman. Suatu saat, kapan saja pemilik sebenarnya akan kembali untuk mengambil. Ia lupa akan kenyataan itu. Semakin lama ia melalui hari terbiasa dengan kehadiran Elang, hidupnya tergantung dengan lelaki itu. Bahagianya merupakan kebahagiaan Elang, begitu pun sebaliknya. Sedangkan Keyla sudah menghilang bagai ditelan bumi. Nomor yang dipakai selama ini untuk menghubungi Teresa telah lama tidak aktif lagi. "Kamu nanti pengen anak berapa?" tanya Elang sambil memeluk Teresa yang sedang berdiri di depan cermin. "Hem ... berapa ya?" Teresa menaikkan bola matanya untuk berpikir sambil mengatupkan jari ke pipinya. "Tere rasa ... dua cukup. Kita ikutin program pemerintah, Mas," ujarnya lalu melanjutkan merapikan poni yang menutupi kening. "Tapi aku maunya lima, Tere ... kalau banyak anak, pasti aku semangat kerja." Elang menatap wajah Tere dari pantulan cermin sambil memeluk erat dari belakang. "Itu kebanyakan kali, Mas. Badanku kecil gini, mana bisa aku ngelahirin anak banyak kayak gitu. Kamu ngaco ih, nyebelin dari dulu," dengusnya lalu meletakkan sisir di atas meja. Meninggalkan Elang berdiri di depan cermin. "Awas ada kutumu jatuh, taruh sisir sembarangan." "Ih, kamu ih, bener-bener nyebelin!" Teresa mencabik kembali berbalik melayangkan pukulan di bahu Elang. Suaminya itu mengangkat bahu untuk melindungi muka sambil tertawa menghindari Teresa. "Jangan lari, Woi ... aku mau kasih lihat kalau di rambutku gak ada kutu." Tere menarik sejumput rambutnya untuk memperlihatkan pada Elang yang tergelak di atas ranjang. "Mana coba lihat sini?" Suaminya mengangkat kepala ingin tahu. "Sini, aku mau lihat." Menepuk sisi tempat tempat tidur. Teresa langsung menaikkan kaki ke atas ranjang. Mencondongkan kepala ke arah Elang ingin membuat percaya. "Tunggu, tunggu ... aku melihat sesuatu di kepalamu." Tere mengerjap lalu menaikkan kepalanya menatap Elang. "Benarkah? Apa?" Elang menenggelamkan kepala Teresa lagi ke dalam pangkuannya. "Makanya biar kulihat dulu itu apa. Diam, aku mau lihat," ucapnya. "Ah, Tere, ini ternyata namaku yang bersemayam di kepalamu." "Kamu ini ada-ada aja, Mas. Mana ada kayak gitu, ngarang." Sebuah cubitan berlabuh di pinggang Elang hingga membuat meringis. "Cewek itu kenapa sih suka banget nyakitin pasangannya kalau lagi tersipu?" "Nggak tau Tere, Mas. Mungkin bisa tanyain sama Mama. Dia tau jawabannya," balas Teresa sambil bersandar di head board memeriksa chat masuk baru saja. Ternyata itu dari Kinan, teman baiknya sewaktu kuliah beberapa bulan yang lalu. Mereka berjanji akan melanjutkan studi S2 bersama-sama di kampus yang sama. Namun, semua rencana telah sirna ketika dia diharuskan menikah dengan Elang. Merasa tidak enak, akhirnya Teresa memutuskan untuk menelepon temannya itu. "Akhirnya aku bisa ngelanjutin kuliah, Tere ... aku diterima di kampus itu." Elang semakin mendekat mengikis jarak di antara keduanya. Sambil ikut mendengar apa yang telah dibicarakan Teresa dan tamannya. Ia memeluk dari belakang melingkarkan tangan ke perut posesif. "Kamu udah diterima di kampus Bakti?" tanya Tere antusias. Elang mengambil sejumput rambutnya yang berada di pipi lalu melabuhkan sebuah kecupan. "Hu um, makasih ya, atas bantuannya selama ini. Semoga kamu bisa lanjutkan juga walau udah merit. Oh iya, Re. Gimana kalau kita ketemuan?" "Tentu aja, kamu mau kita ketemuan di mana?" Sambil bicara Teresa mendapatkan serangan kecupan di pipi sampai berulang-ulang seakan tidak sabar nunggu Teresa selesai menelpon. "Restoran Gran Rosela!" "Oke, oke, kita ketemuan di restoran Gran Rosela. Jam--" Teresa melirik Elang minta jawaban. Tentu saja ia tidak boleh pergi tanpa seizin nya. "Delapan malam, habis sholat isya, Sayang," bisiknya di dekat telinga Teresa hingga membuat perempuan itu bergidik. "Kinan, halo? Kamu masih di sana?" tanya Teresa. Sambil menahan geli karena kejahilan Elang menelusupi ceruk lehernya. "Berhenti ih, Mas. Geli ...." ia menahan kepala Elang sambil menoleh ke arahnya. "Kalau aku nggak mau, gimana?" Elang semakin bergelayut mengusap-usap kan jamblangnya yang beberapa hari belum ia cukur ke pipi Teresa. "Astaga ... kalian ini nggak tau malu banget, sih! Jelas-jelas teleponku masih nyambung, kalian malah bercocok tanam." Teresa tergelak saat mendengar ucapan Kanan. Begitu pun dengan Elang terkekeh-kekeh. Lalu merebut ponsel dari tangan Tere. "Jam lapan malam, Tere sama gue akan datang ke restoran Resela. Sekarang biar dia tidur siang, jangan ganggu kami mau cocok tanam." Tut. "Aman." Elang menyeringai lebar setelah mematikan sambungan telepon Kinan. Sudah dipastikan, bahwa teman Tere itu akan bersungut-sungut di mana pun berada. "Mas! Kenapa di matiin,? Aku masih mau ngomong ... nyebelin ih," sungut Teresa. "Ngembek? Maaf, lagian suami pulang dari luar kota masa dianggurin. Aku kan kangen." Elang menempelkan pipi di punggung Teresa manja. "Mas." "Heum?" "Mas, pergi ke Surabaya kan, tiga hari ini?" "He em, kenapa? Aku kan sudah bilang sama kamu sebelum pergi. Kamu nggak percaya?" Elang membalik tubuh Tere menghadapkan padanya. "Bukan gitu." "Kenapa?" tanya Elang lagi. "Gimana kabar Mbah Uti?" "Udah lumayan sih, cuma butuh istirahat aja di rumah," jawab Elang. "Dia bilang nitip salam buat kamu, cucu menantu kesayangan. Cepat-cepat buatkan seorang buyut. Dia gak sabar pengen nimang anak kita, katanya." Senyum tipis tersemat dari bibir Teresa. Kemudian dalam sedetik menjadi berubah saat mengingat tentang siapa dirinya. "Mas, apa kamu juga ketemu kak Keyla?" Mengigit bibir bawahnya takut. Sebab, tiap kali Teresa membicarakan Keyla, Elang selalu marah. Entah apa yang terjadi dengan suaminya itu sehingga ia tidak memperbolehkan siapa pun menyebut nama Keyla tunangan yang begitu di cintai, dulu. Cukup lama Elang terdiam. Hanya helaan napas yang begitu berat terdengar. Tere merasakan tubuh hangat suami menjauh. Dan benar saja, ketika ia menoleh Elang sudah bersandar di head board. "Mas, marah?" tanya Tere lagi takut. Rahang tegas Elang mengeras seolah menahan geram. Namun dengan cepat digantikan senyuman. "Buat apa aku marah? Nggak mungkin aku marahin istri kecil yang cantik dan manja ini." Elang menjepit ujung hidung Teresa sehingga membuat menggaduh kesakitan. "Sakit, Mas!" Elang tidak ingin membahas tentang Keyla yang sudah lama menghilang. Kendati begitu, Teresa tidak pernah tenang. Perasaannya mulai serakah ingin memiliki Elang seutuhnya. Ia mulai melupakan janji pada kakaknya, bahwa ia menikah untuk sementara. Perasaan gamang selalu menelusup ke dalam relung hatinya. Namun, senyum kebahagiaan yang didapat setiap hari mengusir kekhawatiran. "Yang jadi istriku itu kamu, bukan Keyla. Mungkin dia juga udah bahagia sama cowok lain pilihannya di sana." "Dia bilang padaku waktu itu mau kembali sama kamu, Mas. Dan saat hari itu tiba, mungkin aku akan mengembalikanmu padanya." -TBC- Jangan lupa tekan love ya, kalau kalian suka sama n****+ ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD