Jakarta, Indonesia.
Teresa menunduk memeluk lututnya sendiri. Setiap tetesan air mata seolah darah yang menetes dari sayatan hatinya.
Tubuh kecil polos ditambah rambut panjang sepundak begitu acak-acakan itu terlihat frustasi. Ia hanya tertutup selimut tebal warna putih dengan erat ia pegang seolah memegang harga dirinya. Namun sepertinya itu tidak ada gunanya saat mengingat kesalahan semalam yang telah dia lakukan.
Rasa takut seketika bergelayut dalam hatinya. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Puing-puing penyesalan terus saja menelusup dalam relung hatinya. Menciptakan nestapa tiada ketentuan hulu hilirnya.
Setelah semalam menangis merenungi nasibnya, Teresa merasa lelah. Kaki jenjang berkulit putih itu perlahan-lahan turun dari atas ranjang. Ia memberi motivasi untuk dirinya sendiri bahwa, semua telah sia-sia jika banyak waktu telah ia gunakan untuk menangis.
Gadis memiliki hoby bermain gitar dan bernyanyi itu tanpa menoleh ke belakang memijakkan kaki ke lantai dingin. sebelum kemudian ia merasa tubuhnya melayang terangkat ke atas ketika sesosok tubuh tegap tercetak jelas tanpa penghalang membawanya dalam dekapan.
“Kamu nggak usah keras kepala padahal pada dasarnya membutuhkan bantuanku.” Tanpa aba-aba Elang--suaminya. Membawa tubuh Tere dalam dekapannya.
Tubuh mungil gadis berambut pendek sepundak itu dibawa ke dalam bathtub yang sudah diisi setengah dengan air hangat tidak lupa aroma wangi vanila kesukaan Tere dan kini menjadi candu untuk Elang ketika dekat dengan istrinya itu.
Di dalam kamar mandi yang didominasi marmer berwarna coklat bercorak putih Tere tertunduk. Ia seolah enggan untuk menatap pria yang sudah merenggut semua darinya itu.
“Mandilah, Mama mengundang kita untuk makan siang, katanya dia kangen sama kamu.”
Diam.
“Kenapa diam?” tanya Elang menatap Tere lekat-lekat.
“Ah, aku tau, baiklah kalau kamu keberatan aku mau minta mama batalin aja.”
“Jangan!” Tere diam bukan tidak ingin datang ke rumah Mama Elang. Tapi ada sesuatu hal yang dia pikirkan.
Dan begitu saja Elang tidak peka! Harusnya dia tau itu. Terlebih lagi lelaki itu penyebab semua ini, dan kini justru bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Dasar menyebalkan!
Teresa biasa dipanggil Tere itu baru saja lulus dari kuliahnya tingkat S1 dan dalam bidang teknik menajemen. Dalam waktu dekat dia berencana akan melanjutkan studi selanjutnya. Tapi semua kacau ketika Elang merusaknya kini.
Semalam gadis yang memiliki suara merdu, dan pawai memainkan gitar Akustik itu semalam diminta oleh teman-temannya menyanyikan satu lagu di acara pernikahan salah satu temannya. Tere begitu lihai, suara lembut dan merdu menghanyutkan siapa saja ketika mendengarnya. Duduk di kursi tinggi dengan kaki menyilang semua mata tertegun melihatnya.
Begitu cantik dan mempesona, suaranya yang menyanyikan lagu pop melow membuat hati pendengar bergetar. Apa lagi hati seorang yang sedang merindukan kekasihnya atau seseorang yang telah ditinggal menikah. Seperti seorang laki-laki yang sedang berdiri memegang segelas sloki menatap Tere lekat-lekat di ujung penonton.
Dia Jordan, mantan kekasih Teresa yang baru saja dia putuskan karena Teresa telah bersuami secara tiba-tiba.
“Maafin aku, Jo. Aku tau ini berat buat kita, tapi … takdir nggak memungkinkan kita berjodoh.”
“Aku mengerti, berada di posisimu pasti sulit, maka dari itu aku memilih mengalah demi hubunganmu. Aku harap kamu bisa bahagia sama Elang, cowok pilihan orang tuamu.”
Sepasang bola mata nanar itu saling menatap. Raut wajah mereka begitu sendu seolah tidak ingin melepaskan satu sama lain. Jordan meminta pada Teresa satu pelukan sebagai tanda perpisahan. Sebagai seorang pacar berganti gelar menjadi teman.
Tere menepuk-nepuk punggung Jordan dan menyelipkan sebuah senyuman saat berakhir.
“Semua pasti baik-baik saja,” ucapnya.
Tanpa di sadari sepasang bola mata menatap ke arahnya tajam disertai sebuah kepalan tangan.
Langkah lebar Elang menghampiri mereka berdua, satu buah pukulan tepat mengenai wajah Jordan.
Mereka bertiga seketika menjadi tontonan. Ada yang saling berbisik ada pula yang menutup mulutnya karena terkejut.
Hal ini sungguh di luar rencananya.
Tidak ingin menjadi pusat perhatian menimbulkan rasa malu tak berkesudahan, Tere manarik Elang mengajaknya meninggalkan pesta.
Belum cukupkah Elang sudah membuat hidupnya kacau untuk menebus kesalahan yang tidak dia lakukan. Dan harus menambahnya dengan membuat kekacauan di pesta.
Penderitanya Tere kian bertambah ketika semalam sepulang dari pesta tiba-tiba di dalam Elang dalam keadaan emosi yang bergejolak menuntut haknya sebagai suami.
Padahal sebelumnya, mereka sudah sepakat, setelah pernikahan tidak akan mencampuri urusan masing-masing, dan tidak ada hubungan di atas ranjang selayaknya suami istri sebenarnya.
Dan kini apa yang Elang lakukan? Dia justru memaksakan kehendak disaat perjanjian mereka baru berjalan satu bulan! Dan bukannya menolak Teresa justru terbuai dalam bisikan lembut membawanya ke atas nirwana.
"Nggak usah nyesel, kan itu udah tugas kamu melayani aku, suamimu."
Memikirkan kejadian semalam kepala Tere berdenyut, gadis itu menguar rambutnya saat setelah menyadari. Memang seharusnya seperti itu. Dia tidak pandai dalam hal rumah tangga, tapi dia tahu melayani suami adalah kewajiban seorang istri.
“Kita pergi ke rumah mama, tapi ... biarin aku mandi dulu. Sekarang kamu keluar sana!” ketusnya seperti anak kecil mengusir temannya.
“Gak mau aku aja yang mandikan?” goda Elang dengan alis dimainkan naik dan turun.
“Nggak!”
“Yakin?”
“Kamu keluar atau aku teriak?”
Ck Elang berdecak, bukan beranjak justru bergeming menyandarkan punggung ke dinding marmer itu sambil melipat tangannya di depan dadaa. Matanya memandang Teresa seolah mengejek. Senyum tipis terukir dari wajahnya.
“Aku bilang keluar!” pekik Teresa memicingkan mata sambil menunjuk arah pintu.
“Kalau aku tidak mau, kamu mau apa?”
“Kamu harus mau pokoknya!”
Ck bahkan seorang gadis kecil seperti Tere tidak akan mempan memerintahnya.
Brus!
Elang tiba-tiba tersentak ketika tiba-tiba Tere menyemprot dengan shower.
“Tere, apa yang kamu lakukan?” Elang tidak terima ia merebut benda itu dari tangan Tere.
“Sekarang kamu rasakan pembalasanku ya.” Elang mengarahkan shower pada Tere.
“Aduh, Mas, kena mataku!”
“Biarin, emang aku peduli? Aduh, Tere, mataku kena sabun!”
“Bodo amat week.”
Suara gaduh terdengar dari arah luar membuat bik Runi—asisten rumah tangga tersenyum-senyum sendiri. Senang akhirnya mereka bisa melepas canda tawa sebab selama sebulan menikah mereka begitu dingin sangat jarang bertegur sapa walau serumah.
***
Netra coklat pekat itu sesekali melirik cermin sambil menggosok rambut yang basah, tubuhnya berbalut bath robes berwarna putih sesekali melirik cermin memantulkan bayangan Elang sedang duduk santai menikmati asap nikotin begitu santai menghisap kemudian menghembuskan hingga asap dibuang percuma itu mengepul ke atas udara memenuhi ruang.
Dada bidang berotot dan bagian perut memiliki cetakan enam menyerupai roti benar-benar perfeksionis. Tanpa memakai kaos, Elang hanya memakai boxer berwarna hitam. Lelaki itu tampak santai seolah tidak memiliki beban apa pun, tidak seperti Teresa yang memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Teresa buru-buru menggelengkan kepala. Membuang perasaan tidak nyaman yang terus bergelayut dalam kepalanya. Ia memilih berfokus untuk menyolok hair dryer sambil menatap pantulan wajahnya sendiri dari cermin.
Sambil mengeringkan rambut disertai suara dengungan hair dryer Teresa memikirkan kejadian semalam lagi. Tentang Elang menyebut nama satu orang wanita. Ya, wanita yang benar-benar membuat hidupnya kacau seperti ini.
Cita-citanya, harapannya, dan juga kekasihnya. Ah, tidak. Semua itu sudah lenyap begitu saja ditelan oleh kenyataan.
Kenyataan karena dia harus menikah secara mendadak. Dan kini ia harus menjalani kodratnya sebagai seorang istri. Sebab seperti yang dia ketahui menurut dan melayani suami dengan baik itu adalah tugasnya. Meskipun tidak ada cinta di antara mereka.
Tiba-tiba Tere tersentak ketika tangan Elang menyentuh pundaknya.
“Sudah selesai?” tanyanya sambil menatap cermin langsung berserobok dengan mata Tere. Cermin itu seolah sebuah benda yang mengurung mereka berdua.
“Lihat rambut kamu jadi seperti arumanis tu kelamaan dikeringkan bahkan cuma satu sisi aja. Sini biar aku aja yang keringin!”
Tere diam memberikan hair dryer, kemudian hanya pasrah ketika Elang memberi toner yang terasa dingin menyapa kulit kepala, ditambah pijitan lembut membuat Tere rileks memejamkan mata hanyut dalam sesaat. Matanya melebar ketika mendengar suara hair dryer hidup tangan Elang berhenti memijat.
“Dipijit seperti itu aja keenakan, apa lagi dipijit lainnya.”
"Dih."
Teresa mencabik disertai bibir mengerucut. Kemudian mengambil sisir dari tangan Elang.
“Sini, aku bisa sendiri!” ketusnya. Kemudian menyisir rambut pendeknya sendiri.
“Tere, aku minta maaf.” Suara bariton Elang saat ini terdengar begitu serius.
Tere melirik sejenak sambil mengoles krim siang ke wajahnya. “Untuk?”
“Untuk kejadian semalam.”
Tere menghela kemudian menutup pot krim lalu memutar tubuh menatap Elang.
“Mungkin kalau untuk apa yang telah kita lakukan, itu hakmu sebagai seorang suami. Aku gak masalah, Mas. Tapi … ini bukan karena itu-“ ucapannya terpotong.
Seperti yang dia ketahui kalau seorang istri melayani suami dengan akan mendapat pahala dia tidak masalah dengan itu. Dia ikhlas. Namun Teresa tidak bisa menolerir satu kata yang terucap dari bibir Elang.
“Aku ga suka kamu sebut nama kak Kayla, Mas. Padahal aku yang ada di bawahmu. Apa kamu tau itu rasanya gimana? Sakit banget, Mas.” Matanya berkaca-kaca satu kedipan saja akan meluruhkan air mata.
Melihat mata Tere berkaca-kaca, Elang semakin terasa seperti dicambuk oleh rasa bersalah. Ia merutuki perbuatannya sendiri sebab tanpa sadar membuat Tere terluka secara fisik mau pun perasaan.
“Maafin aku, Re. Aku benar-benar kalap semalam. Aku janji bakalan nebus kesalahanku, tapi sekarang aku minta maaf. Kamu mau, kan maafin aku?”
Teresa diam, terlihat mengusap air mata dengan tangan.
“Aku tau, kehadiranku memang nggak diharapkan. Tapi bukan gini caranya.” Masih sibuk mengusap air mata dari tangan kanan ke kiri.
“Siapa yang bilang kamu nggak diharapkan, Re?” Butuh waktu jeda ketika Elang dan mendekat duduk berlutut memegang kedua pundak Tere dan matanya menatap dalam mata indah yang dipenuhi air mata itu.
“Kamu sangat berharga buat aku, Re. Berharga dibanding apa pun.”