"Saat honeymoon," sahut Adrian cepat hingga membuat kedua mata Tiara terbelalak tak percaya.
Mungkin yang di maksud Adrian saat bulan madu dirinya dan Sherin, atau bisa jadi juga saat mengakhiri benar-benar melakukan honeymon setelah menikah.
"Maksudmu? Kita akan menikah dan bulan madu? Iya sayang?" tanya Tiara sambil mengurai senyumnya.
"Kau ini ... Honeymoonku dengan Sherin. Di saat itu lah kita akan liburan bersama." Adrian tersenyum sarkas.
Tiara mendorong d**a Adrian hingga sedikit menjauh. Model papan atas itu menunjukkan wajah kesalnya, duduk di sofa tamu.
"Kau benar benar ingin menikah dengannya? ... Apa kau sama sekali tidak menilai perasaanku? Bahkan untuk bertemupun kita sulit, bagaimana jika kau benar benar telah menikah dengannya? Tentu aku akan sulit untuk bertemu denganmu," ucap Tiara dengan kedua tangan yang menyilang di depan d**a.
Dokter muda yang mencapai berbagai prestasi itu kembali menghibur kekasih, di belainya lembut rambut perempuan itu sambil tersenyum.
"Kau tidak perlu khawatir, semua tidak akan berlangsung lama."
Adrian membujuk Tiara dengan segala upaya hingga akhirnya perempuan itu mau mengerti dan menunggu sedikit lama lagi untuk hubungan.
"Aku tadi melihat kau sedang duduk berbincang dengan seorang pasien pria, siapa?" tanya Tiara saat mengingat kejadian waktu lalu sebelum ia masuk ke dalam ruang kerja pribadi Adrian.
Dokter ahli bedah itu terdiam sewaktu-waktu, dari sorot matanya seperti sedang terlintas sesuatu di dalam benaknya.
Pria itu menghela nafas panjang. Sebagai seorang dokter, Adrian mempunyai tanggung jawab atas privasi pasiennya baik masalah kesehatan maupun masalah pribadi yang tak bisa ia ceritakan pada orang lain termasuk Tiara sekalipun.
Mata Adrian seperti sedang menelisik jauh, merangkai setiap kisah yang ada di dengarnya dari pasien pria itu. Ada satu fakta baru yang di dapatnya yang harus ia cari sendiri kebenarannya.
Dari pertemuannya bersama pasien itu, Adrian bisa memetik pelajaran. Bahwa, tidak semua keburukan dan kejahatan bisa di salahkan, di dalamnya ternyata juga terselip. Terkadang, situasi dan kondisi yang memaksakan seseorang untuk melakukan hal hal yang bisa disebut buruk di mata orang lain.
"Ad, Ad ... Kau kenapa? Siapa pasien itu?" tanya Tiara dengan orang yang berkerut melihat Adrian yang termenung.
Adrian tersadar dari pikirannya yang merangkai jauh ke masa lalu, beberapa kali matanya mengerjap untuk mengembalikan kesadarannya.
"Oh ... Bukan siapa siapa, hanya pasien yang pulang untuk pulang," sahutnya tenang.
'Aku harus mencari tahu segera. Jika perkataannya benar, maka masalah besar bisa muncul kapan saja dan menyerangnya kembali. ' Batin Adrian.
Siang telah berganti malam, mentari berganti rembulan. Kerlipan bintang bintang di langit malam memberikan pelayanan bagi gadis yatim piatu itu.
Semilir angin menyapu seluruh bagian permukaan tubuh Sherin, tak terkecuali rambut panjang indahnya yang terurai.
Kulit mulusnya yang hanya tertutupi pakaian tidur berlengan pendek serta celana panjang gombrang membuat bulu roma Sherin berdiri merasakan dinginnya malam.
'Aku bosan sekali seperti ini terus, aku ingin kerja lagi seperti dulu. Menghasilkan uang sendiri lebih bahagia dari pada harus membayar dan menyusahkan orang lain seperti ini. ' Batin Sherin sambil bertopang dagu pada pagar balkon kamar.
Helaan nafas panjang yang keluar dari mulut Sherin mengisyaratkan ada rasa lelah, ingin menyerah dan kepedihan mendalam yang berusaha di pendamnya.
"Jika saja kalian masih bersamaku ... Mungkin saat ini aku menjadi gadis yang paling beruntung di alam semesta ini karena memiliki keluarga seperti kalian," ucapnya tersenyum tipis menatap ke langit yang di penuhi cahaya bintang.
Langit malam yang cerah, nyatanya tak mampu membuat hati Sherin tertular menjadi cerah juga.
Kini telapak tangan kanannya yang terbuka, menjulur ke atas seperti sedang ingin permukaan langit yang di penuhi oleh bintang itu.
Di saat itu juga, sinar yang di pantulkan dari cincin yang melingkar di jari Sherin berkilau sangat indah. Di pandangnya cincin itu, matanya kembali berkaca kaca, dengan bibirnya yang menipis sempurna.
"Sangat indah ..." ucapnya pelan.
Tap ...
Tiba tiba tangan Sherin yang menjulur itu di tarik oleh Adrian dari belakang. Dengan begitu, melepaskan dan mengabaikan di tangan Adrian.
"Ehh ... Kau ... Cincin ku, kenapa kau mengambilnya? Kembalikan ..." Sherin menarik tangan Adrian yang sedang memegang cincin.
Mata Adrian menarik-narik cincin itu, di laporannya lekat cincin yang terbuat dari permata asli yang harganya bisa terbilang mahal.
'Cincin ini, pasti tidak murah. Hebat juga pria tengil itu bisa memberikan hadiah seindah dan semahal ini untuk bocah ini. ' Batin Adrian.
Sherin terus berusaha untuk mengambil cincin di tangan Adrian yang terjulur ke atas, terwujud beberapa kali untuk mencapai tangan Adrian, "Kembalikan Ad, itu milikku," ucapnya kesal.
Adrian tidak menjawab, bersedia bergerak ke kiri dan kanan untuk mengelak dari gapaian tangan Sherin yang terus berjalan.
"Kau benar benar menggilai pria tengil itu rupanya. Sampai sampai kau tak bisa melupakannya," ucapnya ketus.
Sherin mengerutkan dahinya, tak mengerti apa yang di maksud Adrian, "Apa maksudmu?" tanyanya berdiri di depan Adrian.
Adrian sudut sudut alisnya, "Apa jadinya cincin ini aku lempar ke bawah. Apa kau akan mencarinya?"
Gadis itu benar telah kehilangan kesabaran mendengar ucapan Adrian yang ingin mencoba cincin peninggalan dari mendiang sang mama.
"Beraninya kau ingin melemparnya. Kembalikan padaku Ad, itu satu satunya kenangan yang aku miliki," bentaknya sambil menjulurkan tangan kanannya pada Adrian.
Bukan Adrian namanya jika menurut begitu saja, apalagi pada orang yang tidak masuk dalam daftar orang yang paling penting.
Adrian tersenyum sarkar menatap Sherin yang hanya seukuran dadanya, berkat masih menjulur ke atas memegang cincin permata milik Sherin. Piala
"Bagaimana ji-"
...
Bibir kehancuran tak sengaja datang saat tiba tiba di situs yang mendongak ke atas. Tangannya yang bertopang pada bahu Adrian, membuat kepala pria itu secara spontan tertunduk hingga menempel di bibir merah milik Sherin.
Tubuh Sherin hampir ambruk kebelakang karena latihan refleks tubuh Adrian yang semakin turun. Beruntung tangan Adrian dengan sigap menangkap tubuh ramping Sherin, tapi hal itu justru justru membuat bibir semakin menempel sempurna dan tak memiliki jarak saru senti pun.
Mata Sherin terbalak, jantungnya berdebar hebat, together dengan sebelah yang berhasil merebut cincin dari tangan Adrian.
Sama seperti Sherin, Adrian tak kalah terjejutnya. Jantungnya juga berdebar hebat. Untuk kedua kalinya ia merasakan kelembutan bibir Sherin.
'Apa ini? Oh tuhan, ada apa denganku sebenarnya? ' Batin Adrian gelisah.
Gadis itu membebaskan bibir dan dari bahu Adrian. Tubuhnya menjauh beberapa langkah dari hadapan Adrian.
"Kau ... B-bisa bisanya kau mengambil kesempatan dari ku." Sherin memutihkan wajah kesal sambil menyeka bibirnya yang terlihat basah.
"Apa katamu? Aku?"