Kini Sherin dan Adrian sedang berdiri di balkon kamar menatap langit malam yang di hiasi bintang bintang.
Perdebatan kecil yang berujung pada kejadian yang tak sengaja itu berakhir pada terungkapnya fakta di balik cincin permata indah milik Sherin.
"Cincin ini satu satunya hal yang bisa ku ingat tentang mamaku." Sambil menengadahkan kepalanya, Sherin tersenyum menahan air matanya yang telah membendung.
Adrian yang selama ini telah salah sangka pada Sherin, merasa sangat bersalah setelah mendengar kenyataan dari mulut Sherin langsung.
"Kenapa kau berbohong?" tanya Adrian ketus.
Sherin mengurai senyum, matanya masih setia menatap hamparan langit yang begitu luas, "Aku sudah berusaha menjelaskan dengan kalian, tapi... percuma saja," sahutnya pelan. "Lagi pula, di matamu aku memang terlihat seperti itu kan?" Kali ini Sherin tersenyum getir saat mengingat tudingan yang pernah di lontarkan Adrian padanya.
Perkataan Sherin berhasil membuat hati Adrian ngilu. Menuduh gadis yang tak berdosa itu menjalani tak tik bersama sang paman untuk bisa memasuki lingkungan keluarganya merupakan kesalahan terbesar yang pernah Adrian perbuat.
"Aku tidak bermaksud begitu," ucap Adrian terdengar menyesal.
Sherin menggelengkan kepalany tertunduk, kini sorot matanya beralih pada cincin yang telah melingkar kembali di jari manisnya.
"Tidak masalah... Mungkin aku memang terlihat sangat konyol dan bodoh di mata orang banyak. Tapi, dari situ juga aku bisa melihat dan membedakan mana orang yang benar benar tulus, mana orang yang munafik."
'Kau memang konyol dan bodoh, Sher. Jika tidak, mengapa kau justru diam saja saat orang lain menyakitimu?' Batin Adrian mengumpat.
"Ad, apa aku boleh bertanya padamu?" tanya Sherin menatap Adrian yang berdiri di sampingnya.
Adrian yang masih mengenakan jas kebesarannya berwarna putih itu menganggukkan kepalanya pelan dengan sebelah alis yang terangkat menatap Sherin.
"Silahkan..." sahutnya singkat.
"Apa kau yakin untuk menerima pernikahan yang telah tuan Heri tentukan ini?" tanya Sherin serius.
Adrian terdiam sejenak, matanya beralih menatap langit sesekali tertunduk.
"Tentu saja tidak," sahutnya masih terlihat tenang.
Gadis itu tiba tiba tersenyum lebar, hingga membuatnya terlihat begitu cantik. "Kita bisa mengatakan pada tuan Heri, aku bahkan bersedia untuk bekerja sebagai pelayan dirumah ini dan mengabdikan diriku pada keluarga ini sampai aku benar benar bisa melunaskan uang yang telah di berikan tuan Heri untuk paman. Bagaimana menurutmu? Kau mau kan?" tanyanya penuh harap.
Sakit, begitulah kira kira yang Adrian rasakan saat mendengar perkataan yang terucap dari bibir Sherin. Kata kata yang sama sekali tidak ingin di dengarnya kembali. Bagaimana pun juga, Adrian merasa bahwa saat ini Sherin tetaplah calon istrinya walaupun hanya sebatas kontrak.
"Aww... Sakit..." Sherin meringis ketika jari Adrian menyentil dahinya dari arah samping. "Kau ini kenapa, Ad?" tanyanya dengan wajah yang cemberut.
"Kau fikir dengan kau mengabdikan diri sebagai pelayan di rumah ini, kau bisa dengan mudah melunaskan uang itu? Ha?" Adrian bertanya dengan sudut alis yang terangkat.
Gadis itu terdiam, matanya melirik ke kanan, kiri, atas dan bawah untuk mencari jawaban yang pas. "Eem... Satu, dua, tiga..." Menghitung jari tangannya bingung. "Sepuluh, iya sepuluh tahun mungkin," jawabnya asal.
Pria itu tersenyum tipis dengan kepala yang meggeleng pelan. "Kau tetap akan menikah denganku, hanya tiga tahun sesuai kontrak itu."
Sepertinya, memang tidak ada harapan bagi Sherin untuk bisa keluar dari rung lingkup keluarga itu. Menikah secara paksa dengan batas waktu yang di tentukan sepertinya akan menjadi takdir yang begitu berat untuk Sherin jalankan.
'Ya, karena kau hanya ingin mempermainkanku. Pernikahan itu hanya menguntungkan bagimu, bukan bagiku.' Batinnya kecewa.
Sebenarnya bukan itu yang ingin di sampaikan Adrian, mendengar Sherin ingin menjadikan dirinya sebagai pelayan di rumah itu. Tapi hanya caranya saja yang tak tepat untuk mentampaikannya.
"Baiklah. Tapi, aku ingin mengajukan satu permintaan padamu," ucap Sherin sambil menatap Adrian dari arah samping.
"Apa?"
"Setelah menikah, izinkan aku untuk kembali bekerja."
Ya, hanya itu permintaan Sherin, tidak lebih. Gadis itu merasa, dengan bekerja dirinya akan lebih jarang untuk melihat wajah Adrian yang sewaktu waktu bisa membawa membawa pasangan 'asli' kerumah mereka kelak. Sherin juga ingin menghindari perdebatan perdebatan yang pada akhirnya akan melukai perasaan keduanya.
"Alasannya?" tanya Adrian singkat.
Gadis itu tersenyum kembali, namun kali ini senyumannya terlihat sedikit miris.
"Tidak ada, aku hanya tidak ingin bergantung padamu dan menyusahkanmu. Dengan bekerja, setidaknya setelah bercerai denganmu aku masih memiliki uang untuk menanggung hidupku sendiri." Lalu menghela nafasnya menatap hamparan langit malam.
Lagi lagi Adrian merasa, perkataan Sherin sangat menusuk hingga ke batin. Kedua tangan Adrian mengepal sempurna, mata tajamnya menyoroti Sherin dengan tatapan yang tak terbaca.
"Jika aku tidak mengizinkan?" sahutnya sinis.
Sherin segera menatap Adrian dengan wajah yang cemberut, "Kau harus mengizinkan ku Ad... Lagi pula, aku tidak keberatan dengan persyaratan dan kontrak yang kau ajukan itu."
"Keputusan tetap aku yang membuatnya," sahut Adrian cepat.
"Kau jahat." Sherin menghela nafas kasar dengan wajah kesal.
Kedua tangannya mengelus elus permukaan kulit bagian lengannya akibat udara malam yang semakin menembus ke tulang.
Adrian melirik Sherin yang mulai merasa resah oleh similir angin yang semakin menebus permukaan tubuhnya.
"Istirahatlah, cuaca semakin dingin." Sambil menutupi tubuh Sherin dengan jas putih kebesarannya yang sengaja di lepasnya.
'Apa ini? Kenapa kau terlihat perhatian? Atau aku yang terlalu terbawa perasaan saja?' Batin Sherin.
Sherin tersenyum tipis, "Terimakasih..." ucapnya. "Kau tidur saja di sini, aku akan tidur di kamar tamu." Lalu berjalan meninggalkan Adrian yang masih berdiri menatapnya.
Menyadari bahwa gadis itu akan menempati kamar tamu, Adrian melebarkan langkahnya mengikuti Sherin yang telah berada di dalam kamar.
Sherin melepaskan jas putih Adrian dan menggantungkannya di sebuah gantungan baju khusus. Lalu beralih pada koper yang berisikan baju miliknya yang di bawanya dari kediaman sang paman satu minggu yang lalu.
"Memangnya siapa yang mengizinkan mu tidur di kamar tamu?" tanya Adrian dengan sikap dinginnya.
"Oh, kalau begitu aku tidur di paviliun belakang di dekat kamar Rika saja. Kalau tidak salah ada satu yang kosong kan?" sahut Sherin tanpa melihat Adrian dan berjalan begitu saja untuk keluar dari dalam kamar mewah dan besar milik Adrian.
'Kau... Dasar bocah, memangnya kau siapa sesuka hatimu saja.' Batin Adrian dengan kekesalannya.
"Kau tetap disini, tidak ada yang mengizinkanmu untuk tidur di sana." Perkatasn itu berhasil membuat Sherin menghentikan langkahnya.
"Tapi aku sudah meminta izin pada Nyonya Lina. Dan dia mengizinkanku..." Sherin sangat lelah untuk kembali berdebat dengan pria itu.
Sherin kembali melangkahkan kakinya hingga di ambang pintu. Tangannya bersiap untk membuka pintu, tapi sayangnya tangan Adrian telah terlebih dahulu menariknya hingga membuat Sherin kembali menghentikan niatnya.
"Lepaskan Ad, sakit." Menggerakkan tangannya yang di cengkeram kuat oleh Adrian agar terlepas.
"Kau berani mengabaikan perkataan ku." Tatap Adrian penuh amarah.
"Mana aku berani, aku sadar aku ini siapa. Aku ha-"
Adrian menarik kembali tangan Sherin hingga mendekat dengannya. Kedua bibir mereka hampir beradu kembali jika saja tangan Sherin yang sengaja di tempelkannya di bibir tak dengan cepat menjadi penghalang.
"Kau mau apa?" Mendorong Adrian menjauh darinya. "Jangan curi kesempatan lagi dariku... Bibirku ini masih suci, aku tidak ingin kau selalu mengambil kesempatan untuk mencicipinya," ucapnya begitu polos.
Adrian salah tingkah, berulang kali tangannya mengelus elus kuduknya sendiri dengan sebelah tangan lagi yang berkecak pinggang.
"Aku... Aku... S-siapa yang mencuri kesempatan? Kau terlalu percaya diri."