Amplop putih

1085 Words
Sebagai pelayan pribadi yang telah diminta oleh sang majikan besar, Rika terlihat sangat hati hati dalam merawat Sherin. Perempuan bertubuh gempal itu merasa jika Sherin mempunyai sinar acak, meskipun Sherin hanya seorang gadis biasa yang belum jelas asal usul keluarganya di mata Rika. Bagi Rika, Sherin sudah di anggapnya seperti anggota keluarga. Yang artinya orang yang terpenting yang harus di lindungi. Bertahun tahun mengabdikan dirinya pada keluarga Heri Darmawan, baru kali ini Rika melihat seluruh keluarga besar majikannya sangat harmonis dalam menerima orang yang akan menjadi bagian dari keluarga besar seorang konglomerat itu. Ada sedikit rasa penasaran di benak Rika tentang siapa sosok Sherin sebenarnya, perempuan yang terlihat biasa saja, bahkan mungkin dalam bertindak, nyatanya mempunyai pemikiran yang teramat luas seperti yang pernah terdidik sebelumnya.  Seperti saat ini, mata Rika terpukau pada sosok Sherin yang sedang duduk di atas kursi persegi dengan jari tangan lentiknya memainkan piano yang menghasilkan sebuah alunan melodi yang sangat romantis dan sensitif. Perlahan lahan alunan melodi itu terhenti di kepala Sherin yang tertunduk sedih. Gadis itu sudah sangat lama memainkan benda yang menjadi alat musik favoritnya. Kepingan masa lalu akan muncul begitu saja saat dirinya mulai memainkan piano. "Nona, nona ... Ada apa?" Tanya Rika mulai panik saat mendapati tubuh Sherin yang kembali lesu. Gadis itu ingin menjadi lemah, bayangan wajah pria yang ada dalam lukisan Veldian seakan sedang berdiri di dalam diri dengan binir yang menipis. Hal itu membuat Sherin tersadar dan terus membaca kabar. 'Aku harus melawan rasa takut dan cemas ini. Bagaimana pun, ini hanya lah masa lalu kelamku. Aku harus menguburnya dalam dan mencari kebenaran untuk ketenangan mereka. ' Sherin membatin. Kepalanya menggeleng menatap Rika, "T-tdak apa apa ..." "Aku akan membuatmu camilan. Ayo duduk dulu, Nona." Sambil menarik pelan tangan Sherin menuju sofa panjang yang terletak di bagian belakang ruang keluarga. Rika merekomendasikan untuk ke dapur mengambilkan camilan yang telah siapkan olehnya, sampai tangan Sherin langkahnya. "Aku mau permen, Rika mengerutkan dahinya heran, kenapa tiba tiba gadis meminta permen di saat seperti ini? Pada siang hari tadi Sherin sama sekali tidak mengisi perutnya dengan makanan apapun selain udara putih yang hanya satu gelas. "Permen? Baiklah, aku akan mengambilnya di belakang." Tanpa banyak bertanya Rika segera mengambilkan apa yang diminta oleh Sherin. Tak butuh waktu lama bagi Sherin untuk mendapatkan permen yang di inginkannya dari Rika. Sherin kembali melangkahkan kakinya menyusuri bagian rumah mewah itu tanpa di temani oleh Rika. Sampai ia melewati sebuah ruangan besar yang di penuhi oleh berbagai macam buku buku, lebih mirip seperti perpustakan. Tapi jika boleh menebak, Sherin sebagai referensi ruang kerja pribadi. 'Wah, rapi sekali. Seperti perpustakaan pribadi. ' Batinnya dengan kedua mata yang berkeliaran memandangi setiap sudut ruangan. Ada banyak jenis buku di dalamnya, bahkan Sherin bisa melihat dengan jelas barisan n****+ n****+ dari penulis penulis terhebat dari seluruh penjuru dunia. Tangan Sherin meraih satu buah n****+ bergenre romance yang selalu menjadi favoritnya. Disaat bersamaan, terlihat sebuah amplop berwarna putih terjatuh dari n****+ tersebut. "Apa ini ..." Menunduk untuk meraih amplop tersebut.  Rasa penasaran, Sherin membuka amplop putih yang bertuliskan 'Please' di dalam tim. "Sherin ... Sedang apa kau disini?" Tanya Veldian mengagetkan Sherin. "Oh Tuhan ..." Kini amplop putih itu telah berpindah tangan, Veldian yang sama bingungnya dengan isi di dalamnya segera membuka amplop tersebut. Sherin sangat penasaran, ia tak sabar lagi ingin melihatnya. "Vel, apa i-"  "Ah Sher, aku sampai lupa. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu." Veldian menarik tangan Sherin keluar dari ruangan yang masuk ke perpustakaan pribadi itu. "Tt-tapi aku be-" "Ayolah, kau pasti sangat terapkan." Veldian terus menarik tangan Sherin hingga menaiki anak tangga yang terhubung ke lantai atas. Keduanya telah tiba di dalam kamar, gadis itu kembali megerutkan dahinya tak mengerti mengapa Veldian membawanya ke dalam kamar Adrian yang kini menjadi kamar Sherin. "Apa?" tanya Sherin bingung. Veldian berdiri dengan senyum termanis yang di milikinya, "Taraaa .... Ini untukmu."  "Waah ..." Satu kata yang terucap dari mulut gadis itu, matanya terpukau hingga tak berkedip. "Kau suka?" tanya Veldian. Sherin menganggukkan kepalanya cepat. Gadis itu benar-benar tidak menyangka bahwa Veldian adalah objek utama lukisannya. Gambar dirinya sedang tersenyum menggunakan gaun panjang saat ikut hadir di acara salah satu rekan kerja Heri yang merupakan pertemuan pertama bagi memuaskan. "Ini untukmu ..." Veldian tersenyum seraya membelai rambut lembut panjang Sherin yang tergerai. "Aku kekamar ku dulu. Kau bisa beristirahat."  Sherin tersenyum ramah, kepalanya menangguk, "Terimakasih sekali Vel."  "Tidak masalah." Lalu Veldian pergi meninggalkan Sherin. Kini Veldian telah berada di dalam kamar mengawasi, memperhatikan masih memperhatikan dengan jelas selembar foto yang di ambilnya daei dalam amplop putih yang berada di dekat. Cukup lama Veldian terfokus pada selembar foto itu, kepalanya menggeleng dan perlahan menyadari sesuatu. "Tidak mungkin, ini terlihat sangat mirip. Apakah mereka orang yang sama? Lalu apa nama dengan papa? Siapa sebenarnya mereka?" Veldian meraup wajahnya kasar, di pikirannya hanya satu. Yaitu menemukan segala petunjuk yang berhubungan dengan foto itu. "Aku harus mencari tahu sendiri yang sebenarnya. Jika aku bertanya langsung dengan papa mustahil aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan." Lalu keluar dari ponsel pintar dan menghubungi seseorang. ***** "Ad ... Kau dari mana saja." tanya perempuan bertubuh sexi yang sedang duduk di kursi kerja milik Adrian. "Tiara, sejak kapan kau disana?" Adrian menjawab pertanyaan Tiara dengan bertanya. Model cantik dan juga salah satu pemegang saham di perusahaan milik ayah kandung Adrian itu berdiri berhenti Adrian yang sedang membuka jas putih dan menggantungkannya di sebuah gantungan khusus yang terletak di sudut ruangan. "Why you not memberiku kabar? Apa kau benar-benar sudah jatuh cinta pada bocah sialan itu?" Pertanyaan Tiara kali ini membuat Adrian mengangkat sudut bibirnya. "Jangan gila," sahutnya singkat. Tiara tersenyum manja sambil melingkarkan kepala di perut Adrian dari arah belakang. "Aku baru saja melihat video itu, apa yang benar-benar di katakan oleh wartawan itu?"  Adrian terdiam, seperti sedang mengingat sesuatu.  "Kau tahu sendiri bagaimana cara kerja para pemburu berita." Melepaskan tangan Tiara dari perutnya dan berbalik menatap Tiara. "Kapan kau pulang?" Sambil memegang kedua tangan Tiara. "Hari ini. Dan langsung menemuimu disini." Mendaratkan bibirnya pada pipi Adrian lalu kembali menerapkannya. "Aku merindukanmu, Ad.  Adrian mengurai senyumnya, begitu begitu menyayangi Tiara. Tak peduli dengan larangan kedua orangtuanya yang selalu meminta maaf kepada Adrian untuk menjauhi Tiara dengan berbagai alasan. "Bersabarlah, untuk saat ini aku tidak bisa mengoreksi banyak. Kau tahu sendiri papaku. Jika aku temannya saat ini, itu akan berdampak buruk bagi hubungan kita." Adrian membelai rambut Tiara degan sisi lembutnya. Tiara beruntung memiliki pasangan seperti Adrian. Selain tampan, Adrian selalu memperlakukannya dengan lembut meskipun beberapa kali Tiara melakukan kesalahan yang menyulut emosi Adrian. "Jadi kapan?" tanyanya manja. "Saat honeymoon," sahut Adrian cepat hingga membuat kedua mata Tiara terbelalak tak percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD