"Tentu saja dia..." Sambil mengarahkan telunjuknya pada Veldian.
"Yahuy... Terbukti kan? Kau kalah telak Ad. Calon istrimu sendiri yang mengatakannya. Hahahaha..." Tertawa bahagia sambil menepuk nepuk pundak Adrian.
Adrian mendengus kesal, raut wajahnya berubah masam dengan gerakan mulut seperti orang yang ingin muntah.
"Hah, itu karena seleranya terlalu jelek. Bukan karena kau tampan," ucap Adrian ketus. "Eehh... Sebentar. Kau barusan bicara..." Sambil melebarkan matanya menatap Sherin.
Veldian yang juga baru menyadari hal itu pun tak kalah terkejut dengan Adrian. Kedua laki laki itu semakin mendekat pada Sherin.
"Benar. Kau sudah kembali normal lagi."
"Kau pikir aku gi...la Vel?" Sahut Sherin terdengar lirih.
Adrian melirik tajam pada Veldian, sebagai seorang penderita trauma psikis Sherin tentu menjadi mudah merasa sedih dan mengalami penurunan percaya diri.
Trauma psikologis bisa membuat penderitanya sulit menjalani kegiatan sehari-hari. Perasaan itu akan membuat penderitanya berkutat dengan rasa sedih, ingatan buruk dan kecemasan yang berlarut-larut. Selain itu, memiliki suatu trauma juga bisa membuat penderitanya merasa kehilangan kepercayaan terhadap orang lain, termasuk kerabat terdekat.
"Tidak tidak... Tentu saja tidak. Kenapa kau bicara seperti itu Sher? Kau itu satu satunya perempuan manis dan unik yang pernah aku temui." Veldian merasa tidak enak hati karena ucapannya yang salah di nilai oleh Sherin.
"Kau yakin bahwa dia tampan? Lihatlah, pilihanmu itu benar benar buruk dalam berbicara. Di lebih mirip seperti induk bebek yang terus berkoek koek. Seperti ini kwek kwek kwek..." Mempraktekkan cara bebek berjalan dengan suara khasnya lalu duduk di tepi kasur.
Melihat tingkah Adrian yang menyamakan rupa tampan Veldian dengan bebek membuat Sherin kembali melebarkan bibirnya.
"Sialan kau Ad." Meninju lengan Adrian kesal.
"Sher, teruslah berinteraksi dengan orang orang yang ada di dekatmu. Kau masih akan tetap menjalani beberapa kali terapi lagi, kau bersedia kan?" Tanya Adrian dengan hati hati.
Gadis itu mengangguk setuju. Kali ini Sherin lebih mudah di ajak berkomunikasi di banding sebelumnya. Matanya yang tak lagi menatap kosong serta lidahnya yang tak lagi kelu membuat Adrian sedikit di liputi rasa tenang.
"Good girl..." Sahut Adrian mengelus pucuk kepala Sherin.
"Benar Sher, kau harus semangat. Apa kau tidak ingin mendengar kabar baik dariku?" Veldian menimpali interaksi keduanya, tangannya menyilang di depan d**a menatap Sherin dengan sebelah alis yang terangkat.
"Ka..bar baik?" Sherin mengerutkan dahinya.
"Apa kau melupakan janjiku tentang pria itu?" Veldian tersenyum tipis sambil memperhatikan wajah Sherin.
Sherin terlihat berfikir, dahinya semakin berkerut karena tak kunjung mengerti kabar baik apa yang di maksud oleh Veldian.
"Gallen. Kau ingat?"
Mata Sherin seketika berbinar saat berhasil mengingat nama Gallen. Gadis itu sangat tak sabar ingin mendengar kabar baik tersebut.
"Apa kau su-"
"Eits... Kau harus mengembalikan berat badanmu seperti beberapa hari lalu dan kau harus benar benar pulih. Setelah itu aku akan memberi tahukan semuanya padamu." Veldian sengaja menyela ucapan Sherin, untuk memberinya sedikit semangat.
"Kau bohong."
"Eeh... Aku janji, aku janji..." Sambil menjulurkan jari kelingkingnya ke arah Sherin dan disambut girang oleh Sherin yang mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Veldian.
Saat keduanya tengah asik berbicara, Adrian mulai tak mengerti dengan arah pembicaraan keduanya. Pria siapa lagi yang di maksud Veldian? Adrian di buat begitu penasaran.
"Pria mana lagi yang kalian maksud? Siapa Gallen? Apa hubungannya denganmu?" Pertanyaan itu di lontarkannya untuk Sherin.
Gadis itu masih terdiam menatap Adrian yang menunggu jawaban darinya. Ada ragu di dalam benaknya untuk memberi tahukan hal yang sebenarnya belum pasti itu, bahkan Veldian saja belum mengetahui apa hubungan pria bernama Gallen itu pada Sherin.
"Dia-"
"Kau mau tahu siapa Gallen?" Veldian terlebih dahulu membuka suara.
Adrian memalingkan wajahnya malas, tangannya merapikan kerah kemejanya yang tak kusut sama sekali.
"Aku tidak bertanya padamu." Ucapnya ketus.
"Ya sudah kalau begitu, lagi pula kau tidak ada urusannya juga. Gallen dan Sherin... Mereka..." Mendramatisir keadaan dengan ucapan yang sengaja di buat menggantung.
'Kenapa? Mereka kenapa? Apa hubungan mereka sebenarnya?' Batin Adrian bertanya tanya.
"Mereka... "
"Tsh, siapa juga yang ingin tahu. Aku tidak peduli." Berjalan keluar kamar tanpa melihat Sherin dan Veldian.
Sikap Adrian sangat aneh, sulit untk di artikan. Terkadang Sherin menganggapnya seperti jelmaan bunglon yang bisa berubah dengan cepat sesuai tempatnya.
Lagi pula, untuk apa Adrian cemburu. Jelas jelas hubungan mereka karena paksaab dari tuan Heri dan Adrian juga secara terang terangan memberi tahu pada tuan Heri tentang hubungannya dengan Tiara. Walaupun di tentang, nyatanya Adrian sama sekali belum menyerah dengan hubungan itu.
"Hahaha... Adrian Adrian... Kau benar benar terjebak..." Veldian tertawa puas hingga menunjukkan deretan gigi rapi nan putih miliknya.
"Kau... Ke..napa?" Tangan Sherin memenggaruk kepalanya pelan dengan dahi yang berkerut.
"Ah tidak tidak... Hanya lucu saja." Lalu mengembalikan ekspresi wajahnya seperti biasa. "Istirahatlah, aku akan meminta Rika untuk menemanimu." Sambungnya mengelus punggung tangan Sherin.
Veldian memutar tubuhnya melangkahkan kakinya untuk meninggalkan kamar tersebut, hingga suara Sherin menghentikannya.
"Vel..."
Veldian berbalik badan menatap Sherin tersenyum, "Aku mengerti. Kau tenang saja, aku telah berjanji padamu. Oke..." Tanpa di jelaskan pun Veldian telah mengerti apa yang ingin di ucapkan oleh Sherin.
Gadis cantik nan menggemaskan itu menganggukkan kepalanya mengerti di ikuti dengan senyuman tipis di bibirnya.
*****
Langkah teratur seorang pria bertubuh atletis dengan pesona yang luar biasa mampu menghipnotis mata setiap perempuan yang melihatnya menjadi begitu terpukau.
Penampilannya yang rapi menggunakan jas putih khusus dengan segala ketenangannya membuat Adrian benar benar di gilai para wanita, terlebih para perawat maupun dokter peremuan yang bekerja di rumah sakit yang sama.
Bisik bisik pujian dari beberapa perawat yang melihat begitu terlihat jelas.
"Pagi dok..." Sapa beberapa perawat yang berpapasan dengannya.
Pria itu menganggukkan kepalanya dengan dengan wajah yang tetap tenang, walaupun terkenal dengan sikap dinginnya, Adrian juga sangat perhatian pada beberapa teman seprofesi dan juga pada pasiennya.
Langkah kaki Adrian terhenti saat melihat seorang yang masih menggunakan pakaian khusus pasien rumah sakit itu tengah berjalan tertatih tatih sembari memegang perutnya.
Wajahnya terlihat sangat pucat, tangannya sebelahnya di gunakan untuk berpegangan pada dinding agar tak terjatuh. Tetasan darah dari tangannya menandakan bahwa pasien itu berusaha melepas paksa jarum infus yang terpasang di tangannya.
Adrian melebarkan langkahnya mendekati pasien tersebut. Kedua tangannya menggapai bagian lengan pasien itu lalu mengajaknya untuk duduk.
"Pak, apa yang kau lakukan?" Tanya Adrian pada pasien pria itu.
"Lepaskan aku, aku ingin pulang." Bentaknya pada Adrian sembari melepaskan tangan Adrian dari lengannya.
Sambil tergesa gesa dengan nafas yang tak teratur, dua orang perawat perempuan mendekati Adrian dan pasien itu, "Dok... Dok... Maafkan kami, pasien ini mencoba untuk melarikan diri dan tidak ingin melanjutkan perawatannya."