Trauma ringan yang di alami Sherin beberapa tahun silam benar benar membuatnya tak bisa melupakan serangkaian kejadian mengerikan yang mengakibatkan kedua orang tua dan kakak laki lakinya meninggal dunia.
Entah kenapa bayangan kelam itu tak pernah pergi darinya. Semakin ia mencoba melupakan, semakin terngiang jelas di igatannya.
"Aku... Aku..." Bibir Sherin begitu sulit untuk mengeluarkan kata kata selain 'aku'. Tatapannya terlihat kosong, bulir bulir keringat mulai membasahi sebagian dahi dan telapak tangannya. Walau berada di dalam kamar yang lengkapi dengan fasilitas air conditioner, nyatanya tetap saja keringat itu muncul ke permukaan kulit mulus Sherin.
"Sstt... Jangan di paksakan jika kau belum siap mengatakannya." Sahut Adrian cepat sembari mengelus elus kepala Sherin yang berada di dadanya.
Kedua tangan Adrian menangkup wajah Sherin dengan lembut dan menatapnya begitu dalam. "Lihat aku Sherin." Ucapnya meminta.
Tapi Sherin masih tertunduk tanpa mengatakan apapun dengan tatapan kosongnya. Begitu sulit untuknya menaikkan pandangannya.
"Hei Sherin, lihat aku. Tatap mataku." Ucap Adrian lagi tanpa melepaskan kedua tangannya yang berada di kedua sisi wajah Sherin.
Mendengar itu, Sherin perlahan menaikkan pandangannya, hingga beradu pada manik hitam pekat milik seorang dokter ahli bedah yang tak lain juga calon suaminya itu.
Air mata mengalir dari sudut sudut mata indah Sherin, tatapannya tetap kosong bahkan saat ini ia menangis tanpa suara. Disaat bersamaan, entah kenapa Adrian merasa begitu pilu melihat keadaan Sherin yang menangis seperti itu.
'Apa sebenarnya yang telah terjadi padamu? Kenapa aku merasa terlalu banyak hal yang kau tutupi dan kau tanggung sendiri?' Batin Adrian.
"Good..." Sembari menganggkan kepalanya pelan dan tersenyum pada Sherin. "Sekarang dengarkan aku baik baik." Adrian kembali membangun komunikasi yang baik untuk menyadarkan Sherin dari bayang bayang kelam yang menyerang psikisnya.
Sherin mengangguk patuh. Matanya hanya terfokus pada pria yang ada dihadapannya itu.
"Sekarang, tarik nafas perlahan lalu hembuskan melalui mulut. Seperti ini." Adrian mempraktekkan ucapannya. "Ayo lakukan..." Ucapnya.
Sherin melakukan apa yang di perintahkan Adrian beberapa kali hingga dirinya benar benar bisa bernafas dengan baik dan perlahan menjadi lebih tenang.
"Bagaimana? Apa kau merasa sedikit lebih tenang?" Tanya Adrian sembari menyeka air mata di pipi Sherin.
Gadis malang itu mengangguk perlahan, matanya benar benar terlihat sendu. "Mm...maafkan aku..." Ucapnya dengan tatapan yang tertunduk menyesal.
Adrian tersenyum tipis, di tatapnya lekat wajah polos Sherin yang saat ini mampu menghilangkan segala kekesalannya pada kejadian beberapa jam yang lalu saat berada di kedai minuman itu. "Tidurlah, aku akan menemanimu disini."
Tiba tiba saja mata Sherin membukat sempurna, tubuhnya bergerak mundur menjauh dari Adrian sembari menarik selimut dan menutupi dadanya. "Kau... Kau mau apa? Jangan bilang kau ingin..." Semakin mengeratkan selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.
'Bocah ini? Bagaimana bisa berubah dalam waktu sekejap? Tingkah anehnya kambuh lagi.' Batin Adrian mendengus heran.
"Apa yang kau fikirkan? Kau fikir aku ingin melakukannya? Denganmu? Tsh..." Adrian berdiri dengan cepat sambil melipat kedua tangannya di depan d**a.
"Siapa yang tahu dalam hati seseorang? Bisa jadi kan?" Sherin terus memegang erat selimut di tangannya. "Ya, kecuali jika kau tidak tertarik pada perempuan alias g*y." Ucapnya pelan sembari tersenyum memalingkan wajahnya ke samping.
Tanpa di sadari perkataan gadis itu menyulut amarah Adrian. Pendengaran Adrian benar benar tajam, hanya dengan gerakan mulut saja pria itu bisa mengetahui apa yang sedang di ucapkan seseorang. Tak jarang orang orang terdekatnya memberi julukan 'si kuping gajah'.
Darah Adrian seperti mendidih mendengar ucapan Sherin, dengan cepat tubuhnya naik ke atas kasur tempat Sherin berada dan mendekati gadis itu. "Apa katamu? Coba kau ulangi sekali lagi?" Tanya Adrian dengan nafas yang memburu.
Tubuh Sherin terus mundur dengan kepala yang menggeleng, antara terkejut dan panik. "Tt...ti..dak... Aku tidak..." Ucapnya terbata bata.
"Kau bilang aku g*y? Apa kau ingin bukti jika aku sangat amat normal?" Senyuman yang mengerikan di bibir Adrian membuat Sherin semakin cemas dan gugup. Jarak keduanya sangat dekat, bahkan Sherin bisa merasakan deru nafas Adrian yang benar benar seperti ingin memburu mangsanya.
Sherin terus bergerak ke belakang menggunakan bokongnya. Beruntung tangan Adrian menahan bagian kepala belakangnya hingga tak terbentur kepala ranjang. "Kkk...kau... Maaa-"
Cup...
Tiba tiba Adrian membungkam mulut Sherin dengan bibirnya, membuat Sherin benar benar membulatkan matanya sempurna.
Berbeda dengan Sherin, Adrian terlihat sedikit lebih santai walaupun sebenarnya jantungnya berdebar hebat.
'Oh tuhan, apa ini?' Batin Sherin tak kalah berdebar.
Tak cukup lama, hanya beberapa detik bibir keduanya saling bertautan sebelum akhirnya Sherin mendorong kuat d**a Adrian hingga pria tampan itu hampir terjatuh di atas kasur.
"Kkk...kau... Kau benar benar gila." Geram Sherin lalu bergegas turun dari atas kasur dan pergi dari sana.
Melihat wajah Sherin yang berubah menjadi merona itu membuat Adrian memahat senyum smirk di wajahnya. "Itu belum seberapa." Teriak Adrian menggertak Sherin yang hampir mencapai pintu kamar.
Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang telah melihat perdebatan kecil keduanya. Dialah Lina, orang pertama yang benar benar berharap pernikahan antara Adrian dan Sherin akan menghasilkan cinta yang luar biasa untuk keduanya.
Lina selalu berangan angan untuk segera memiliki seorang cucu dari kedua anaknya itu. Wajar saja, mengingat usia Lina dan Heri yang telah pantas untuk menimang seorang cucu.
Baru saja melangkah keluar dari dalam kamar milik Adrian, Sherin kembali di kagetkan dengan kehadiran Lina yang tiba tiba tersenyum tulus padanya. "Sherin, kau mau kemana?" Tanyanya seperti tidak mengetahui apapun yang terjadi.
Sherin tertunduk, jari jarinya saling bertautan karena tak tahu harus menjawab apa. "Itu, itu ma... Aku... Kalau mama mengizinkan, aku ingin menginap di rumah sakit malam ini untuk menjaga pamanku." Akhirnya Sherin mengingat tujuan awalnya setibanya di rumah ini.
Lina tampak berfikir keras. Perempuan itu tak telah mengetahui dengan apa yang terjadi pada paman Sherin melalui Veldian yang menceritakan padanya.
"Apa kamu tidak takut jika pamanmu sadar dia akan bertindak kasar lagi padamu?" Tanya Lina mencoba meyakinkan Sherin dengan penuh hati hati.
'Kenapa semua orang yang megetahui kondisi paman semuanya kompak mengatakan hal yang sama? Padahal aku sendiri merasa baik baik saja.' Batin Sherin jengah mendengar perkataan yang berulang ulang dari mulut yang berbeda beda.
Sherin menggeleng pelan, pandangannya naik hingga kedua matanya beradu pada manik hitam pekat milik Lina. "Tidak ma, aku baik baik saja. Paman ti-"
"Aku sudah meminta seorang perawat untuk menjaga pamanmu selama dua puluh empat jam penuh. Kau tidak perlu kesana malam ini." Ucapan seseorang mengalihkan pandangan kedua perempuan yang sama sama canti di usianya masing masing.
"Maksudmu?"