Lukisan

1027 Words
"Maksudmu?" Tanya Sherin pada Adrian yang berdiri tepat di belakangnya sambil membalikkan tubuhnya dengan cepat hingga hampir saja menabrak tubuh Adrian. Laki laki itu dengan santainya berdiri dengan kedua tangan yang bersembunyi di dalam saku celana pendeknya. Dari jarak yang begitu dekat Sherin bisa melihat ketampanan nyaris sempurna yang dimiliki oleh Adrian. Postur tubuh yang atletis dengan tinggi yang tidak main main, alisnya yang tebal dengan sorot mata yang tajam, hidung mancung tak berlebihan, tak lupa bibir sedikit bervolume serta rahang yang tegas di lengkapi tatanan rambut pendek yang tersisir rapi menjadikan penampilan Adrian benar benar idaman hampir setiap perempuan. Apalagi profesinya sebagai dokter muda yang sukses sungguh benar benar sempurna. Karena alasan itulah Sherin segera mundur menjauh dari hadapan pria itu. Tak mungkin baginya untuk mengharap sesuatu yang lebih dari pria yang ada di hadapannya itu. Bisa di perlakukan dengan wajar saja sudah sangat cukup bagi Sherin. Adrian menaikkan sebelah sudut alisnya ketika mendapati perubahan mimik wajah Sherin.  "Tetaplah di sini. Kau akan mendapat masalah jika melanggar perintahku ini." Lalu berjalan meninggalkan Sherin dan Lina. Lina hanya menghela nafas pelan, entah apa yang sedang terjadi sebelumnya antara Sherin dan Adrian hingga keduanya terlihat benar benar tidak akur. "Istirahatlah. Kau tidak perlu khawatir, Adrian pasti bertanggungcjawab dengan ucapannya." Perempuan paruh baya itu mengelus pundak Sherin dengan begitu lembut. Jika sudah seperti ini, apalagi yang bisa di lakukan Sherin selain mengangguk patuh. Sungguh terkekang rasanya menjadi Sherin yang sekarang. Jika dulu ia harus menjadi mesin atm berjalan sang paman, saat ini ia seperti menjadi robot yang telah di atur untuk paruh pada sang tuan. "Emm... Veldian dimana ma?" Tanya Sherin sembari mengedarkan matanya keseluruh bagian ruangan lantai dua yang terlihat begitu luas itu. "Setelah pulang bersamamu tadi, setau mama dia ada di kamar. Bahkan sejak tadi dia belum turun. Mama sudah mencoba mengajaknya turun, tapi dia bilang hanya ingin sendiri." Lina menjelaskan dengan detail tanpa ada yang kurang. Perasaan bersalah seketika menyelimuti benak Sherin. Kejadian sore itu bersama Kevin sepertinya benar benar membuat Veldian muak. "Sher... Sherin..." Panggil Lina sambil menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Sherin yang terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. "Emm.. Iya ma.." Sahutnya tersadar. "Apa ada masalah dengan kalian berdua?" Tanya Lina penasaran. Sherin menggeleng pelan. "Ma, apa aku boleh melihat Veldian di kamarnya?" Menatap Lina penuh harap. Lina tentu memberi izin pada Sherin. Tak ada alasan untuk melarang gadis itu menemui Veldian yang sedang mengurung dirinya itu. Mengingat, Sherin lebih terlihat akur dengan putra bungsunya itu dibanding putra sulungnya. Senyum manis Sherin terlukis jelas di wajahnya, tanpa menunggu lama ia bergegas menuju kamar Veldian yang juga berada di lantai yang sama dengan kamar Adrian yang di tempatinya. ♧ Flashback On ♧ "Sherin." Panggil Kevin sebelum Sherin menutup pintu mobil. Sontak saja Veldian dan Sherin menoleh pada Kevin secara bersamaan. "Aku akan menunggumu sampai kontrak pernikahanmu selesai. Kembalilah kepadaku segera."  "Maksudmu?" Ucap Veldian tiba tiba. Tak cukup waktu lama bagi Veldian mencerna kata kata yang keluar dari mulut pria yang belum di kenalnya itu. "Kurang ajar..." Geramnya lalu berjalan memutar bagian depan mobil berlogo kuda jingkrak itu. Veldian membuka pintu mobil, tangannya segera menarik bagian leher baju yang di kenakan Kevin dengan sorot mata yang benar benar mengetikan.  "Kau, beraninya kau mengatakan hal seperti itu. Siapa kau? Katakan..." Ucap Veldian dengan penuh kekesalan. Tanpa rasa takut sedikitpun, Kevin justru tertawa sinis pada Veldian. "Oh, jadi kau tidak mengenali ku?" Tanyanya santai. "Kasihan sekali. Perkenalkan, aku satu satunya pria yang bersedia menikah dengan Sherin tanpa persyaratan apapun. Bahkan aku bersedia menunggunya hingga menjan-"  Buuuk... Tak ingin mendengar lanjutan kata kata dari mulut kotor Kevin, Veldian segera mendaratkan satu pukulan keras di wajah pria yang mencintai Sherin dengan tulus itu tanpa melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah baju Kevin. Ah, Sherin benar benar tak habis pikir bahwa hari ini benar benar menjadi hari yang menegangkan untuknya. Di liputi perasaan cemas, Sherin berlari mendekati kedua laki laki itu. Di tariknya tangan Veldian yang mencengkeram kuat bagian kerah baju Kevin. "Vel, plis Vel stop..." Pintanya dengan suara yang benar benar rendah tanpa penekanan sedikitpun. Sherin sangat pintar membaca situasi. Veldian bukanlah tipe orang yang bisa di taklukkan dengan kekerasan. Adik kandung Adrian itu akan patuh jika di perlakukan dengan lembut. Terbukti saat ini, Veldian tak perlu menunggu Sherin mengatakan dua kali untuk mengakhiri perdebatan yang telah melukai Kevin. "Kau jawab dengan jujur. Apa yang di katakan b*****h ini benar?" Tanya Veldian sambil menunjuk Kevin yang sedang beranjak tegak. 'Bagaimana ini? Apa yang harus aku jawab? Aih, kepalaku benar benar pusing dengan pria pria ini. Bukan hanya satu, bahkan tiga pria sekaligus.' Batin Sherin mengeluh. "Kenapa diam? Jawab Sher... Apa kakakku menawarkan kontrak pernikahan denganmu?" Tanya Veldian lagi sambil menggoyangkan pelan kedua lengan Sherin. Suara tawa Kevin mengiringi perasaan Sherin yang benar benar kacau. Sambil mengusap bibir bawahnya yang terluka Kevin menatap Sherin dengan penuh arti.  "Apapun pilihanmu, aku tetap akan menungumu Sherin." Lalu bergegas masuk ke dalam mobil miliknya. Veldian yang semakin panas mendengarnya berniat untuk kembali mengejar Kevin dan menghajarnya. Tapi sayang, tangan Sherin terlebih dahulu menariknya dan mengajaknya untuk pergi dari tempat itu.  ♧ Flashback Off ♧ Tok tok tok... Tangan Sherin mengetuk pintu kamar Veldian. Tak perlu menunggu waktu lama bagi Sherin untuk melihat pintu kamar itu terbuka. "Ma, aku sudah bilang a-" Ucapan Veldian terhenti saat dirinya mendapati sosok Sherin lah yang ternyata mengetuk pintu kamarnya. Gadis itu tersenyum ceria, seakan tidak terjadi sesuatu pada keduanya. "Hai..." Ucapnya sambil menggerakkan telapak tangan kananya. Veldian kembali kedalam kamarnya dan membiarkan pintu terbuka agar Sherin bisa masuk ke dalamnya. "Ada apa lagi?" Tanya Veldian sembari melanjutkan kegiatannya. "Waah... Ternyata kau seorang pelukis?" Mata Sherin benar benar terbelalak takjub saat melihat sebuah lukisan yang hampir selesai terletak di depan Veldian. "Emm..." Sahut Veldian dengan deheman. Mata Sherin seperti sedang di manjakan dengan beberapa lukisan lukisan abstrak yang ada di sana. Entah sejak kapan lukisan itu berada di kamar Veldian, setahunya saat tidur di kamar Veldian kemarin lukisan lukisan itu tidak ada.  Sherin berjalan mendekati lukisan lukisan itu, matanya tertuju pada satu lukisan yang gambar di dalamnya tidak asing baginya. "Vel... Lukisan ini, apa kau yang melukisnya?" Suara Sherin kini terdengar lirih, matanya sama sekali tak berkedip melihat lukisan di hadapannya. Laki laki itu berbalik badan untuk melihat lukisan yang di maksudkan oleh Sherin. "Semua lukisan yang ada di sini, semuanya laryaku sendiri," sahut Veldian tersenyum bangga. "Kenapa? apa kau ingin memuji ku?" Sambungnya percaya diri. Mata Sherin berkaca kaca, tangannya bahkan bergetar saat menyentuh lukisan itu. "Lukisan ini... Apa kau..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD