Mimpi buruk

1108 Words
Suasana sore itu sungguh terasa begitu damai. Burung burung yang berterbangan seakan saling berlomba menampilkan keindahan sayapnya. Semilir angin berhembus menyapa keluarga yang sedang duduk santai di taman belakang rumah yang berukuran tak terlalu besar itu. Seorang perempuan dewasa berusia sekitar tiga puluh sembilan tahun tampak sedang menyirami bunga bunga cantik yang sedang bermekaran saling menunjukkan warna warna indahnya. Rambutnya yang tidak terlalu panjang itu di ikatnya ke atas hingga menampilkan bentuk wajah sebenarnya. Wajah cantik bak bidadari itu tersenyum berbicara lembut pada anak perempuan berusia sekitar empat belas tahun yang sedang mengekorinya dari belakang. "Kenapa mengekori mama terus?" Tanya wanita muda itu lembut. Gadis kecil itu merengek rengek dengan kaki yang sedikit menghentak hentak layaknya anak kecil yang sedang menginginkan sesuatu namun tak di izinkan untuk memilikinya. "Mama, lihatlah kakak. Aku ingin bermain piano bersamanya, tapi kakak tidak mau. Katanya permainan ku sangat buruk." Sang mama tersenyum lalu menghentikan aktifitasnya dan berbalik badan menatap sang putri yang sedang merengek merajuk. "Kakakmu benar mengatakan seperti itu?" Sambil menyelipkan rambut sang putri ke samping telinganya. Anak itu mengangguk dengan mata yang berkaca kaca. "Kakak bilang aku bukan tandingannya." "Kau memang bukan tandinganku. Weekkk..." Sambil menjulurkan lidarnya pria berusia sembilan belas tahun itu duduk di kursi lalu menyeruput minuman hangat yang telah di sediakan di meja luar di temani beberapa camilan lezat buatan tangan sendiri. "Aaaa... Kaka jahat." Tangisnya pecah, kemudian berlari ke arah kursi yang sedang di duduki oleh pria berusia empat puluh dua tahun yang sedang membaca sebuah majalah bisnis. "Papa, kakak jahat..." Sambungnya sembari menarik narik lengan pria dewasa itu. Pria dewasa itu menutup majalahnya, di lepaskannya kacamata yang menyangkut di batang hidungnya itu lalu menarik tangan sang putri untuk duduk di atas pangkuannya. "Kemari. Katakan, apa yang kakak mu katakan?" Tanyanya menenangkan sang putri. "Katanya aku tidak bisa bermain piano sepertinya. Bahkan kakak bilang aku bukan tandingannya. Dia juga tidak mau mengajakku bermain bersama." Gadis kecil itu mengadukan kekesalannya pada sang papa. "Lalu, mau kita apakan kakakmu itu? Biar papa hukum dia." Gadis kecil itu berhenti menangis, kepalanya menggeleng kuat sambil menatap kakaknya. "Tidak, jangan pa. Kakak tidak salah, apa yang di katakan kakak benar, aku memang tidak bisa bermain piano dengan baik." Seperti biasa, gadis kecil itu tidak mengizinkan siapapun menghukum saudara kandungnya itu, ia mengadukan itu semua bukan untuk menjerumuskan saudaranya agar mendapatkan masalah, melainkan agar saudaranya itu tetap terus mengajarinya untuk bermain piano. "Goodgirl..." Ucap sang kakak tiba tiba. Lalu mengeluarkan sebuah coklat berukuran besar dan menggoyang goyangkannya. "Ah, sepertinya coklat ini benar benar bukan untukku." Sambungnya mengehela nafas lesu. "Haaa... Coklat." Gadis kecil itu berlarian untuk mencapai coklat besar yang ada di tangan pria muda tampan di hadapannya. "Kau memang sangat baik kak. Aku sayang kakak..." "Kau ini... Menggemaskan sekali." Sambil mengacak acak rambut adiknya. "Kakak juga sayang kamu." Sambungnya tersenyum. Kedua orang tua itu saling bertatapan dengan senyum bahagia di wajahnya. Bagaimana tidak? Memiliki anak yang berperilaku baik menjadi kebanggan tersendiri bagi orang tua. Apalagi jika anak anak itu saling akur dan memiliki ikatan batin yang kuat. "Kalau begitu, sekarang papa ingin melihat kemampuan anak anak papa dalam bermain piano." Pria berambut tipis itu berdiri dari duduknya seakan memberi isyarat pada kedua anaknya untuk melakukan apa yang di perintahkannya. Tak butuh waktu lama bagi kedua kakak beradik itu untuk melakukan apa yang di pinta oleh sang papa. Kini keduanya telah duduk di kursi khusus menghadap piano yang berada di ruang keluarga. Jari jari keduanya bersiap untuk memainkan sebuah simponi yang indah. Keduanya beradu tatap dengan senyum khas di wajah masing masing. "Kau siap?" Tanya sang kakak dan di jawab anggukan kepala oleh sang adik. "Mainkan dengan tulus, biarkan jiwamu melebur bersama alunan piano ini. Gunakan hatimu. Kakak yakin kau bisa." Sambungnya dengan penuh keyakinan pada sang adik. "Okee... Siap guru..." Sahut gadis kecil itu. Tiga, dua, satu dan mulailah sebuah alunan melodi romantis yang begitu terkenal di zamannya. Sebuah musik instrumental yang mereka mainkan rupanya menyimpan kenangan tersendiri untuk kedua orang tuanya. Kedua kakak beradik itu sangat menjiwai permainan piano mereka, begitu pula dengan kedua orang tua mereka yang menikmati setiap dentingan suara yang di hasilkan. Tiba tiba suara bel dari depan memaksa perempuan dewasa itu untuk meninggalkan pertunjukkan mengagumkan itu dan membuka pintu. Entah apa yang terjadi hingga suara teriakan perempuan itu membuat sang suami untuk menyusulnya. Kedua kakak beradik itu masih terus melanjutkan permainannya sampai keduanya terhenti saat suara tembakan mengalahkan suara merdu piano yang mereka mainkan. "Aaaaa..." Teriak gadis itu sambil memeluk sang kakak. "Kak, apa itu." Ucapnya panik. "Tenanglah, kau diam disini. Kakak akan memeriksanya." Sahut sang kakak sambil mengelus kepala sang adik lalu berdiri dari duduknya. "Kak, aku takut. Aku ikut..." "Kau harus bersembunyi ke tempat biasa kita bermain dulu. Disana lebih aman. Cepat." Sambungnya sembari mendorong gadis kecil itu untuk bergegas. Gadis kecil itu berlari ketakutan memasuki sebuah pintu yang tertutupi oleh lukisan indah yang hanya di ketahui oleh dia, kakak dan kedua orang tuanya. Di sana terdapat sebuah celah yang cukup panjang yang menyambungkan antara ruangan depan dan ruang keluarga yang hanya bisa di lihat dari dalam saja. Suara berisik terdengar samar samar di telinga gadis itu, rasa penasaran akhirnya membawa tubuhnya untuk mendekat pada celah tersebut. Tubuhnya bergetar, air matanya mengalir begitu deras, kedua tangannya di gunakan untuk menutupi mulutnya yang inging berteriak memanggil ketiga orang yang teramat di cintainya itu. Dor... Dor... Dor... Terlihat tiga orang bertubuh besar dengan penutup kepala dan wajah menembakkan senjata di tangannya. Beberapa peluru melesat ke bagian perut mama dan kakaknya, sementara sang papa telah terbaring bersimbah darah. "Ma... Kak, bertahanlah..." Ucapnya bergetar. Ikatan batin yang terjalin antara kakak adik itu terlihat dengan jelas saat sang kakak yang tersenyum menatap ke arahnya seperti keduanya benar benar beradu tatap. Dor... Sekali lagi, peluru itu melesat ke bagian perut sang kakak hingga dirinya benar benar tak bernyawa. "Kaaaaaaaaaak...." Teriak gadis itu lalu membuka nata dengan paksa. Detak jantungnya begitu cepat, air matanya benar benar mengalir deras hingga menyulitkannya bernafas. "Kenapa?" Adrian yang kebetulan sedang berada di kamarnya untuk mengganti pakaian pun dikejutkan oleh teriakan Sherin yang tiba tiba. "Apa kau bermimpi buruk?" Sambungnya yang telah berdiri di hadapan Sherin. Sherin terus menangis, tubuhnya bergetar, air matanya tak mampu lagi tertahan saat sepenggal kisah buruk itu kembali nenghantui dirinya. Kepalanya menggeleng geleng kuat sambil meremas ujung selimut yang ada di atas pahanya. Melihat kondisi Sherin seperti itu, membuat Adrian benar benar khawatir. Sebagai seorang dokter, tentu saja Adrian tahu cara menenangkan seseorang yang mengalami hal serupa seperti Sherin. "Tenanglah..." Adrian duduk di tepi kasur itu dan menarik tubuh Sherin perlahan lalu meletakkan kepala Sherin tepat di d**a bidang milik Adrian. "Aku... Aku..." Ucap Sherin terbata dengan tubuh yang bergetar hebat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD