11. TAWARAN UNTUK ANDREA

1798 Words
“Gimana si bos, dia masuk kerja, kan?” Tata bicara dengan suara berbisik serta pandangan mata awas. Pertanyaan yang diajukan kepada Andrea cukup sensitif, mengingat janji yang sudah dibuat keduanya. Apalagi suasana di kantin cukup ramai, sehingga Tata tidak ingin ada yang menguping percakapan mereka. “Masuk kok. Meeting juga berjalan lancar,” jawab Andrea sambil fokus mengunyah makanan. Tata pun mengangguk lega. “Syukurlah. Pulang dari antar mobil, aku sampai susah tidur karena mikirin kamu.” “Kenapa mikirin aku?” “Tiba-tiba telpon, suruh ambil mobilnya si bos dan bawa ke rumahnya. Pikiranku langsung ke mana-mana. Kok bisa si bos nelpon kamu untuk minta jemput, dia pasti punya teman, kan?” “Kamu jangan mikir terlalu jauh. Mungkin memang kebetulan namaku yang diingat dalam keadaan setengah mabuk. Atau bisa jadi teman-temannya sibuk, jadi nggak bisa bantu. Hal sederhana yang nggak perlu kamu pikirkan. Semua masih batas wajar kok,” jelas Andrea. “Iya juga sih. Di kota besar, hal seperti ini sering terjadi. Tapi yang buat aku penasaran, kenapa dia sering pergi ke klub? Atau jangan-jangan, selama di luar negeri, kerjaannya mabuk-mabukkan?” Mata Andrea menyipit, lalu menggeleng pelan. “Aku nggak tahu, Ta. Sudahlah, jangan bahas hal di luar kendali kita. Jangan ikut campur, biar nggak nambah beban hidup.” Tata menghela napas, lalu memasukkan satu suap besar makanan ke dalam mulut. “Tapi semalam aku deg-degan bawa mobilnya si bos. Enak sih, jalannya mulus banget, jarang-jarang punya kesempatan pegang setir mobil mewah.” “Makasih ya Ta karena semalam kamu sigap waktu aku minta tolong. Dan makasih juga karena kamu sudah mau jaga rahasia.” “Sama-sama. Semoga kejadian semalam nggak terjadi lagi. Aku kasian sama kamu, Re.” Andrea tertawa kecil. “Kasian?” “Ya malam-malam kamu masih diganggu sama si bos,” jawab Tata setengah berbisik. “Nggak apa-apa. Sudah terjadi, jadi lupakan.” “Oh iya, aku sampai lupa. Si bos nggak ada ngomong apa-apa sama kamu?” “Soal semalam?” “Iya. Apa dia ngomong terima kasih ke kamu atau sekadar tanya apa yang terjadi semalam?” “Enggak. Sepertinya dia lupa semuanya. Sikapnya biasa saja kok, seperti nggak terjadi apa-apa.” “Wah parah!” seru Tata hingga menarik perhatian karyawan lain. Seketika tangannya menutup mulutnya sendiri. “Tata!” “Maaf Re, nggak sengaja.” Andrea menghela napas, lalu menggeleng pelan. “Sudah, jangan banyak omong. Aku harus cepat-cepat, takut si bos perlu sesuatu.” “Ya ampun, kan kamu juga punya hak buat istirahat makan siang, Re,” gerutu Tata tidak habis pikir. *** Saat ini Andrea sedang menemani Naka melihat persiapan pesta resepsi pernikahan yang akan diadakan di ballroom hotel dua hari lagi. Pasangan yang akan melangsungkan acara tersebut berasal dari keluarga terpandang dan terkenal, sehingga semuanya harus disiapkan dengan sebaik mungkin. Baik dari karyawan hotel maupun dari pihak wedding organizer nampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kesempatan seperti ini harus dimanfaatkan dengan baik, demi mendongkrak nama baik Autumn. “Tolong pastikan tidak ada kekurangan yang bisa menimbulkan kekacauan pada acara ini. Pak Suta sudah menyerahkan tanggung jawab untuk pesta ini ke saya. Meski ada pihak wedding organizer, tetap saja kita harus sigap dan tetap berjaga-jaga. Nama baik hotel jadi taruhan kalau sampai acara ini tidak berjalan mulus.” “Baik Pak.” Andrea berjalan di sisi Naka. Sejak tadi ia memperhatikan laki-laki itu nampak gelisah dan tidak fokus. Saat Andrea kembali dari kantin dan menyiapkan makan siang untuk Naka, bosnya seperti sedang memendam sesuatu. Andrea ingin bertanya, namun merasa tidak sopan. Takut jika bosnya tersinggung dan menganggap dirinya terlalu ingin tahu apa yang sedang dirasakan oleh laki-laki itu. “Andrea.” Suara Naka membuat Andrea terkejut. Sangat jarang laki-laki di sebelahnya memanggil namanya. Bukan ingin besar kepala, tetapi terasa aneh baginya. Karena biasanya Naka memanggil namanya ketika merasa kesal atau marah. “Iya Pak Naka?” Naka menoleh singkat ke samping. Beberapa detik kemudian menggeleng, lalu meninggalkan Andrea. “Tidak jadi.” “Pak Naka kenapa? Ada yang mau dibicarakan?” “Tidak. Sepertinya tidak perlu.” Kening Andrea mengkerut karena sikap bosnya. “Oh begitu.” Tiba-tiba Naka menghentikan langkah, lalu berbalik. Tindakan tiba-tibanya membuat Andrea tidak siap dan akhirnya menabrak tubuh laki-laki itu. “Aduh! Maaf Pak Naka, saya kurang fokus.” Naka tidak peduli. “Sebenarnya apa yang terjadi semalam? Apa benar saya menelpon dan meminta kamu menjemput saya di klub?” Lagi-lagi Naka membuat Andrea terkejut. Sempat mematung beberapa detik, hingga akhirnya wanita itu mengangguk pelan. “Benar Pak. Memangnya anda tidak ingat?” “Entahlah. Apa yang terjadi semalam? Apa saya melakukan hal aneh?” cecar Naka. “Tidak ada. Saya antar anda pulang, setelah itu minta salah satu karyawan yang saya kenal, untuk bawa mobil anda pulang ke rumah. Maaf kalau lancang, tapi saya tidak tenang kalau mobil anda ditinggal di klub.” Wajah Naka memerah mendengar penjelasan Andrea. “Obat di atas meja, itu kamu yang siapkan?” “Iya. Karena saya ingat hari ini ada jadwal meeting, jadi saya tidak mau hal yang sama terjadi. Dan syukurnya anda datang tepat waktu,” jawab Andrea. “Kenapa anda terkejut, Pak? Apa Pak Naka merasa malu atau marah?” “TIDAK!” Suara Naka meninggi. “Tenang saja, saya akan bayar semua apa yang kamu lakukan semalam. Saya juga tidak tahu kenapa saya bisa telpon kamu malam-malam dan minta dijemput.” Andrea tersenyum karena gengsi Naka yang tidak bisa diturunkan. Tangannya menyentuh pelan lengan laki-laki itu. “Lupakan saja, Pak. Saya yakin itu yang anda mau. Saya tidak akan mengungkit soal semalam. Anggap saja saya melakukannya karena pekerjaan meski di luar jobdesc saya. Yang terpenting, Pak Naka baik-baik saja.” Sejenak, jabatan Andrea membuat Naka terdiam. Tentu saja rasa gengsi masih bertengger di hatinya. “Baiklah, saya memang mau melupakan apa yang terjadi semalam. Tapi kamu tenang saja, saya akan tetap membalas karena saya tidak mau berutang budi kepada kamu,” ucap Naka angkuh. Andrea menghela napas, lalu mengangguk pasrah. “Terserah Pak Naka saja. Kalau memang itu yang buat harga diri anda tidak terluka, saya bisa apa.” “Satu lagi. Kalau kamu mau mengadu kepada papa atau Mas Suta, silakan. Saya tidak peduli.” “Saya tidak akan melakukan hal itu,” gumam Andrea sambil memandang Naka yang sudah berjalan lebih dulu. *** Andrea baru saja selesai membereskan meja kerjanya. Ia sedang bersiap-siap pulang. Hari ini terasa melelahkan karena banyaknya pekerjaan. Bahkan harus pulang lewat dari waktu yang semestinya. Saat beranjak dari kursi, tiba-tiba ponsel di dalam tas berdering. Dengan malas Andrea merogoh kembali tasnya untuk mengambil benda yang terus menimbulkan suara. Saat melihat layar yang menyala terang, raut wajahnya berubah datar. Tanpa menunggu lama, Andrea segera menolak panggilan telepon tersebut. “Dia tahu nomor telponku dari siapa?” gumamnya. Tidak mau pikirannya terganggu karena telepon dari mantan suami, akhirnya Andrea segera meninggalkan ruangan tersebut untuk pulang. Hari ini memang ulang tahun Joshua – mantan suaminya. Tetapi Andrea tidak memiliki keinginan sekadar untuk memberikan ucapan. Begitu sampai di dalam mobil, Andrea segera menyalakan kendaraan kesayangannya. Tetapi ada yang aneh. Beberapa kali dicoba, mobilnya tidak mau menyala. Andrea mendesah panjang karena merasa mobilnya sedang tidak baik-baik saja. “Ada masalah apa lagi, sih? Aku capek dan aku ingin cepat sampai rumah,” keluhnya. Andrea terpaksa turun untuk mengecek mesin mobilnya. Meski tidak mengerti soal mesin, tetapi ia penasaran. Kap mobil dibuka dan wajah Andrea bingung melihat pemandangan di hadapannya. “Apanya sih yang rusak?” “Ada apa? Kenapa belum pulang?” Suara dari arah samping mengejutkan Andrea. Saat ini Naka sedang berjalan ke arahnya dengan kening nampak mengkerut. “Mobil saya tidak mau nyala, Pak. Sepertinya ada yang bermasalah.” Naka berdecak. “Kemarin bannya bocor, sekarang tidak mau nyala. Sebenarnya kamu ini pernah menyervis mobil, tidak?” “Rutin kok Pak. Tapi saya tidak tahu kenapa tiba-tiba begini.” “Terus kenapa kamu buka kap mobilnya? Memangnya kamu bisa perbaiki?” Andrea menggeleng polos. “Saya Cuma mau lihat saja Pak. Saya kurang paham soal mesin mobil.” Jawaban Andrea membuat Naka menghela napas panjang, lalu menggeleng heran. “Ya sudah, malam ini saya kasih kamu tumpangan.” “Tidak usah Pak. Saya bisa pulang naik ojek,” tolak Andrea. “Jangan geer atau merasa diperhatikan. Saya nawarin kamu karena semalam kamu jemput saya di klub. Biar impas dan saya tidak punya utang sama kamu.” Andrea kembali menggeleng. “Tidak perlu Pak. Anda tidak punya utang sama saya jadi tidak ada kewajiban kasih saya tumpangan. Atau kalau masih ngotot dan mau balas, bisa lain kali saja.” “Kamu ini cerewet sekali. Cepat masuk ke mobil saya!” Sikap memaksa Naka benar-benar membuat Andrea kewalahan. Ia bahkan sampai melihat ke sekitar karena cemas jika ada yang melihat interaksi mereka. Penolakannya sangat beralasan. Andrea ia tidak mau timbul gosip dan menyebabkan hidupnya kembali tidak tenang karena dicap sebagai janda yang sedang ingin menarik perhatian atasannya. “Mau berapa lama kamu berdiri di sana?” Teriakan Naka membuyarkan lamunan Andrea. “I-iya Pak Naka.” Pada akhirnya, dengan sangat terpaksa Andrea menerima ajakan Naka. Duduk di mobil yang sama, bersebelahan dengan laki-laki yang sikapnya cukup dingin, membuatnya tidak nyaman. Keadaan di dalam mobil begitu hening. Setelah menyebutkan alamat rumahnya, Andrea memutuskan untuk diam agar tidak salah bicara. Suara dering ponsel memecah kesunyian di dalam mobil. Andrea sebagai pemilik ponsel, segera menonaktifkan dering benda itu agar tidak mengganggu konsentrasi Naka yang sedang mengemudi. Ia menatap layar benda pipih itu, lagi-lagi dari mantan suaminya. Meski nomornya tidak tersimpan, tetapi Andrea masih ingat angka terakhir dari nomor ponsel laki-laki itu. “Kenapa tidak dijawab? Dari pacar kamu?” Kedua mata Andrea membola atas pertanyaan Naka. “Tidak Pak.” “Oh. Memangnya tidak berniat punya pasangan setelah bercerai?” Andrea tidak habis pikir, kenapa Naka mengajukan pertanyaan yang cukup sensitif. “Maaf Pak. Sepertinya saya punya hak untuk tidak jawab pertanyaan itu.” Naka tersenyum sinis. “Hanya basa-basi. Jangan terlalu percaya diri dan menganggap saya ingin ikut campur.” “Tidak. Saya tidak berpikir begitu.” Suasana kembali hening hingga mobil yang dikemudikan oleh Naka sampai di tempat tujuan. Ada rasa lega yang kini memenuhi rongga d**a Andrea. Berada di dalam mobil yang sama dengan bosnya, membuat dadanya sesak serta tubuhnya tegang. Seakan Naka memiliki aura negatif yang cukup kuat. “Terima kasih atas tumpangannya Pak Naka. Maaf merepotkan dan hati-hati di jalan.” “Ya. utang saya lunas. Jadi jangan pernah ungkit lagi.” “Iya Pak Naka. Sekali lagi terima kasih.” Tanpa berkata-kata lagi, Naka pergi bersama mobilnya. Andrea masih berdiri di depan rumah, sampai mobil bosnya menghilang. Setelah itu, Andrea bergegas masuk demi menghindar dari tetangga yang bisa saja melihat kepulangannya bersama seorang laki-laki. “Semoga saja nggak ada orang yang lihat. Aku malas sekali jadi bahan gosip mereka.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD