Andrea baru saja keluar dari salah satu toko yang menyediakan aneka jenis kosmetik, yang ada di salah satu mall di daerah Kuta. Bersama Tata, ia membeli keperluan makeup untuk menunjang penampilan saat bekerja. Di tangannya sudah membawa satu paper bag berukuran sedang, berisi barang belanjaan. Ia memanfaatkan waktu weekend untuk pergi sekadar mencari udara segar, sebelum kembali bekerja.
Kini Andrea masuk ke toko pakaian untuk menemani Tata mencari baju. Ia sendiri juga berencana membeli baju untuk ayah dan ibu tirinya.
“Re, yang ini bagus, nggak?”
Andrea mengamati gaun hitam dengan belahan cukup turun di bagian dadanya. “Kamu beli dress ini untuk dipakai ke mana? Apa enggak terlalu seksi?”
“Pakai kencan atau mungkin kondangan?”
“Kencan sama siapa? Kamu punya pacar?”
Tata menggeleng polos. “Kan, bisa dipakai nanti kalau sudah punya pacar.”
Jawab temannya memancing tawa Andrea. “Astaga. Sampai segitunya yang kelamaan jomlo.”
“Jangan begitu dong. Jomlo bukan berarti belum laku. Tapi memilih biar nggak salah orang. Lebih baik bersusah sekarang, daripada menyesal kemudian,” jelas Tata.
Raut wajah Andrea berubah kecut. “Kamu benar. Pilih calon pasangan dengan hati-hati dan teliti. Lihat saja aku, yang berujung pisah.”
Ucapan Andrea membuat Tata merasa bersalah. Wanita itu langsung memegang tangan temannya. “Re, aku nggak ada maksud buat nyinggung kamu. Maaf ya kalau kamu jadi salah paham.”
“Nggak apa-apa Ta. Aku nggak merasa begitu. Aku Cuma nggak mau, kamu yang sudah seperti adikku, mengalami hal yang sama seperti aku.”
“Aku bisa mengerti maksud kamu, Re. Aku yakin, kebahagiaan yang sesungguhnya, akan segera datang ke hidup kamu untuk mengobati luka masa lalu.”
Andrea pun tersenyum sambil menyentuh tangan Tata. “Terima kasih.”
“Hhmm, aku mau coba dress ini ya?”
“Oke. Aku mau lihat baju untuk papa.”
Setelah selesai berbelanja di toko tersebut, kini Andrea bersama dengan Tata sedang berjalan, menuju restoran untuk membeli makan dan minum.
“Andrea!”
Merasa ada yang memanggil namanya, sontak Andrea menoleh ke belakang. Termasuk temannya juga melakukan hal yang sama. Wajah Andrea menegang saat melihat siapa yang tengah berjalan menghampirinya.
“Kamu di sini?”
“Ada apa?” tanya Andrea dingin kepada mantan suaminya.
Joshua tersenyum simpul. “Kebetulan aku mau beli sesuatu. Terus aku lihat kamu, makanya aku panggil.”
“Oh. Kalau begitu aku pergi dulu.” Andrea berbalik namun tangannya di tahan.
“Tunggu, Re.”
Tata yang merasa canggung, menjadi serba salah. “Re, aku tunggu di restoran ya.”
“Kita makan sama-sama saja. Biar aku yang traktir.” Ajak Joshua. “Aku juga nggak lagi buru-buru kok.”
“Nggak perlu. Kita mau pergi berdua saja,” jawab Andrea cepat.
Joshua nampak menghela napas pelan. “Kalau begitu, boleh kita bicara berdua saja?”
“Mau bicara apa?” tanya Andrea dengan raut wajah tidak senang.
“Aku mau berdua saja dan nggak akan lama.”
Sejenak, Andrea terdiam. Tidak lama, ia menoleh ke arah Tata. “Ta, tunggu sebentar ya.”
Tata mengangguk paham. “Iya Re. Kalau butuh bantuan, kamu bisa telpon aku.”
“Iya.”
Akhirnya Andrea menerima permintaan mantan suaminya. Kini mereka hanya berdua, bersama dalam keadaan yang canggung. Bayangkan saja, sekian lama tidak pernah bertemu, kini harus berhadapan dengan perasaan campur aduk. Terutama Andrea, tidak pernah menyukai pertemuan dengan orang dari masa lalu yang sudah menggoreskan luka cukup dalam.
“Kita bicara di sini saja.”
“Iya Re. Setidaknya kamu masih mau ngomong sama aku.”
Andrea menoleh Joshua dengan tatapan sinis. “Bukan mauku, tapi terpaksa.”
Laki-laki berperawakan tegap dengan rambut ikal tersebut merasa canggung dengan ucapan Andrea. “Aku minta maaf.”
“Kamu mau ngomong apa? Tolong cepat karena aku nggak enak ditunggu sama Tata.”
“Beberapa hari yang lalu aku telpon kamu, kenapa nggak mau dijawab? Kamu masih ingat hari ulang tahunku, kan?”
“Kita sudah nggak ada urusan, jadi aku nggak punya kewajiban untuk terima telpon dari kamu,” jawab Andrea ketus.
Joshua menghela napas. “Sudah beberapa tahun berlalu, apa kamu belum bisa maafin aku? Apa kita nggak bisa jadi teman?”
Pertanyaan Joshua membuat wajah Andrea memerah. Kedua tangannya mengepal. Namun wanita itu nampak berusaha menyembunyikan amarahnya.
“Pertanyaan macam apa itu? Kamu berharap aku lupa semuanya?” Andrea tersenyum sinis. “Josh, sampai mati pun, aku nggak akan pernah lupa apa yang sudah kamu lakukan.”
“Aku tahu pertanyaanku sangat bodoh. Tapi aku masih punya harapan, kamu bisa maafin aku dan aku bisa memperbaiki semuanya.”
“Jangan mengharapkan hal yang sia-sia dari manusia. Aku bukan Tuhan, Josh. Aku ini manusia yang masih punya perasaan dan batas kesabaran. Dan kenapa kamu ganggu lagi hidup aku yang sudah tenang? Apa lagi yang mau kamu lakukan kepadaku, hah?” tanya Andrea dengan penuh penekanan.
Raut wajah Joshua menampakkan rasa bersalah dan menyesal. “Aku tahu, semuanya sudah terlambat. Seribu kata maaf, tidak akan mengembalikan keadaan seperti dulu kala. Aku terlalu bodoh, menyia-nyiakan kamu.”
“Aku harus pergi. Rasanya sudah cukup.”
Joshua menahan tangan Andrea. “Re.”
Tentu saja Andrea menepis, seakan tidak sudi disentuh oleh Joshua. “Apa lagi?”
“Aku berdoa dan berharap, kamu bisa hidup lebih bahagia.”
Andrea tidak menanggapi ucapan Joshua. Ia pergi dan menjauh dari orang yang membuatnya merasa muak. Segala perkataan dari laki-laki itu, terasa omong kosong baginya. Sejak memutuskan untuk berpisah, sejak saat itu juga, Joshua menjadi laki-laki yang paling ia benci di dunia ini.
“Sudah selesai?” tanya Tata begitu Andrea muncul di hadapannya.
“Sudah.”
Tata sadar kalau saat ini suasana hati Andrea sudah berubah buruk dan ia tidak akan bertanya apa-apa. “Re, beli gelato yuk.”
“Nggak jadi makan?”
“Aku pingin makan gelato, sambil nonton basket dan sunset. Gimana?”
“Hhmm, boleh.”
***
Andrea melihat ke sekitar lapangan basket yang letaknya di pinggir pantai, dekat dengan mall yang dikunjungi. Suasana cukup ramai karena sedang ada yang bermain di lapangan. Suasana sore yang teduh, ditambah angin dari pantai, tempat ini memang menjadi favorit pengunjung. Menghabiskan waktu sembari menunggu matahari terbenam.
“Ramai sekali, Ta,” ucap Andrea sambil membawa satu cup gelato rasa cokelat.
Tata menarik temannya. “Ikut aku. Ada tempat kosong.”
“Pelan-pelan.” Andrea hanya bisa pasrah saat Tata menarik tangannya.
“Nah. Di sini saja, Ra. Tempatnya strategis. Bisa nonton dan lihat sunset.”
Andrea akhirnya duduk di sebelah Tata. Sekali lagi ia melihat ke sekitar, berharap tidak bertemu dengan Joshua yang bisa saja datang ke tempat yang sama. Ia masih ingat kalau mantan suaminya juga memiliki hobi bermain basket. Namun, pandangan mata Andrea terpaku pada sosok yang ia kenal. Ada Lizzy di tempat yang tidak jauh dari tempatnya duduk.
Lamunan Andrea buyar ketika Tata menyikut lengannya. “Kenapa?”
“Re, lihat ke lapangan.”
Perintah Tata diikuti oleh Andrea. Matanya terbelalak saat melihat Naka sedang bermain basket. “Pak Naka?”
“Iya. Ternyata si bos lagi main basket. Benar-benar sebuah kebetulan.”
“Ya kalau dia di sini, memang kenapa?”
Tata menatap Andrea, lalu berdecak. “Ya nggak kenapa-kenapa. Nggak nyangka saja, kalau dia punya hobi basket selain mabuk dan dugem,” ucapnya lalu mulai menikmati gelato miliknya.
“Hati-hati kalau ngomong. Kalau dia tahu, bisa-bisa kamu dipecat, Ta.”
“Nggak mungkin juga si bos tahu. Kecuali kamu yang ngadu.”
Andrea menyenggol lengan temannya sebagai bentuk protes. “Sembarangan! Sudah, jangan ngomongin orang. Fokus makan gelato sama nikmati suasana sore.”
“Salah. Yang tepat adalah menikmati pemandangan si bos yang ganteng dan seksi. Ternyata saat olahraga dan berkeringat, si bos makin memesona.”
“Terserah kamu saja, Ta.”
Diam-diam Andrea kembali mencari keberadaan Lizzy. Akan tetapi wanita itu sudah menghilang dari tempat sebelumnya. Hal ini membuat Andrea membatin, “sepertinya Lizzy datang dengan Pak Naka.”
“ASTAGA!”
Teriakan Tata membuat Andrea kaget. Pandangan matanya tertuju ke lapangan dan melihat dua orang tengah terduduk. Beberapa orang sedang mengerumuni.
“Re, itu Pak Naka yang benturan sama temannya sampai jatuh.”
“Masa sih?” Andrea kembali mengamati dan melihat Naka keluar lapangan sambil memegang dahi.
“Ya ampun, kira-kira Pak Naka luka nggak ya?”
“Aku nggak tahu.”
Tata memegang tangan Andrea. “Re, ayo kita samperin Pak Naka. Siapa tahu dia butuh bantuan.”
“Enggak. Aku nggak mau, Ta. Dia sudah sama teman-temannya kok”
“Re, kamu nggak lihat Pak Naka duduk sendiri dan yang lain lanjut main?”
“Ya mungkin dia memang nggak kenapa-kenapa. Jangan kepo deh, Ra. Aku lagi nggak ada minat ketemu Pak Naka. Biar saja dia dengan urusannya sendiri,” jelas Andrea.
Tata menghela napas. “Iya juga sih. Tapi kok aku kasihan ya. Mungkin sikapnya menyebalkan, tapi setidaknya kita tetap punya rasa kemanusiaan. Tawarin bantuan, kalau dia nolak, ya sudah kita tinggal.”
Ucapan temannya berhasil menggoyahkan hati Andrea meski hanya sedikit. Saat ini ia memang tidak punya kewajiban untuk peduli dengan Naka karena di luar jam kerja. Tetapi saat melihat laki-laki itu terus memegang dahi dengan kepala tertunduk, ia menjadi iba.
“Baiklah, ayo kita lihat kondisinya. Tapi kamu jangan protes kalau sikapnya tidak bersahabat.”
“Nah gitu dong. Kita nggak boleh diam, kalau orang yang kita kenal sedang kesulitan.”
Andrea memutar bola matanya karena heran dengan sikap bijak temannya. “Biasanya kamu selalu berpikiran negatif soal Pak Naka. Sekarang malah tiba-tiba perhatian.”
Akhirnya keduanya pergi menghampiri Naka. Andrea merasa gugup karena takut dengan reaksi bosnya. Bahkan gelato yang masih tersisa harus ditinggalkan karena ingat laki-laki itu alergi dengan cokelat.
“Pak Naka,” panggil Andrea.
“Kamu?”
Andrea terkejut melihat dahi Naka yang nampak benjol dan memar. “Saya lihat Pak Naka sempat berbenturan dan jatuh. Apa kondisi anda baik-baik saja?”
Naka menyentuh dahinya. “Oh? Iya, saya baik-baik saja.”
“Anda perlu obat?”
“Tidak usah.”
“Loh, lututnya luka, Pak?” tanya Tata.
“Hanya sedikit. Kalian kenapa di sini?”
“Kami lagi jalan-jalan sambil nunggu sunset,” jawab Tata.
Andrea memilih duduk di sebelah Naka. “Saya bawa tisu basah. Sebaiknya lukanya dibersihkan biar tidak infeksi. Lukanya agak kotor, jadi jangan dibiarkan begitu saja.”
Naka terkejut dengan perhatian Andrea. “Tidak perlu, lukanya hanya sedikit.”
“Walaupun sedikit, tidak boleh diremehkan, Pak.” Lagi-lagi Tata menjawab tanpa rasa canggung.
“Maaf Pak, biar saya bersihkan.”
“Biar saya saja!”
Andrea tersenyum dengan penolakan Naka. “Sudah terlanjur saya pegang, jadi Pak Naka diam saja.”
Dengan hati-hati Andrea membersihkan lutut Naka. Lukanya memang tidak parah, hanya saja ada pasir halus yang harus dihilangkan.
“Sudah selesai.”
Naka berdeham dan mendadak terlihat canggung. “Saya sudah menolak tapi kamu memaksa.”
“Maksud Pak Naka?”
“Ya terima kasih.”
Seperti biasa, Naka selalu bersikap kaku dan gengsi. “Sama-sama Pak. Kalau begitu saya pergi dulu.”
“Tunggu Andrea!”
“Iya Pak?”
Lagi-lagi Naka berdeham. “Sudut bibir kamu ada noda coklat. Sepertinya kamu habis makan es krim.”
Buru-buru Andrea mengusap bibirnya. “Oh? Iya Pak, saya habis makan gelato. Maaf, saya permisi dulu Pak.”
Andrea menarik tangan Tata dan segera meninggalkan Naka. Langkahnya cepat karena malu.
“Pelan-pelan, Re. Pak Naka nggak akan gigit kamu.”
“Aku malu Re. Lagian Pak Naka paling benci sama hal yang berhubungan dengan coklat.”
“Tapi tadi aku sempat lihat, dia senyum walaupun tipis. Mungkin tahu kamu malu, jadi dia merasa lucu.”
Langkah kaki Andrea terhenti, lalu perlahan menoleh ke tempat Naka. Ia melihat laki-laki itu tengah menatap lututnya. “Syukurlah kalau suasana hatinya baik-baik saja.”